Sebagai negara, Indonesia tentu memiliki seperangkat alat lengkap untuk mendeteksi dan menanggulangi berbagai ancaman negara. Seperti Badan Intelejen Strategis (BAIS) yang mendeteksi ancaman militer dari luar, BNPB yang memitigasi dan menanggulangi bencana alam, BMKG yang mendeteksi ancaman iklim dan cuaca, intelijen TNI maupun Polri yang mendeteksi ancaman konflik sosial dan disintegrasi bangsa, BNPT untuk menanggulangi bahaya terorisme, BNN menanggulangi bahaya narkoba, dan Bulog untuk mengantisipasi ancaman kekurangan pangan.
Secara formal, lembaga-lembaga tersebut memiliki peran sangat strategis dalam mendeteksi dan menanggulangi ancaman terhadap negara. Namun sebaik apapun sebuah lembaga, tetap saja sangat dipengaruhi oleh aktor-aktor yang mengisinya. “The Man Behind The Gun” begitu pepatahnya.
Sebab lembaga hanyalah sebuah nama yang dibekali seperangkat alat dan peraturan tentang hak dan kewajibannya. Namun peran lembaga tersebut sangat ditentukan oleh aktor yang menjalankan, lebih spesifik lagi figur yang memimpinnya. Hal ini dikarenakan kepemimpinan memiliki peran yang sangat besar dalam menentukan keberhasilan sebuah lembaga.
Ancaman Penyakit Masa Lalu
Melihat aspek kepemimpinan dalam lembaga-lembaga di atas, rasa-rasanya kita perlu menambah satu lagi daftar ancaman yang menghantui bangsa Indonesia. Ancaman tersebut adalah penyakit masa lalu. Kenapa begitu?
Sejarah perjalanan pemerintahan Indonesia yang pernah didominasi oleh peran TNI & Polri selama lebih dari 30 tahun tanpa disadari telah membentuk paradigma dan tabiat pemerintahan hingga saat ini. Meskipun reformasi telah mengembalikan peran TNI & Polri pada jalur profesionalismenya, namun aroma militerisme di dalam pemerintahan masih terasa kuat.
Hal itu dapat dilihat dari pos-pos kementerian dan lembaga pemerintah setingkat kementerian yang banyak diisi oleh purnawirawan maupun TNI & Polri yang sebelumnya masih aktif. Dari lembaga yang disebut diatas hanya BMKG yang tidak dipimpin oleh unsur TNI & Polri. Lebih tepatnya, belum.
Di dalam politik tentu tidak ada istilah makan siang gratis. Meskipun TNI & Polri tidak memiliki hak pilih dalam pemilu, dominasi mereka dalam pemerintahan setidaknya menunjukkan bahwa TNI & Polri masih memiliki peran yang signifikan dalam pemenangan pemilu.
Kondisi ini tentu saja menjadikan kandidat presiden yang menang dalam pemilu harus memberikan porsi kue yang besar kepada TNI & Polri. Caranya dengan melibatkan mereka menduduki jabatan strategis dalam pemerintahan.
Jika dilihat dari sudut pandang politik tentu sah-sah saja. Namun keberadaan unsur TNI & Polri yang masih dominan menggambarkan bahwa kita masih di dalam situasi yang tidak jauh berbeda dengan 50 tahun yang lalu. Kompleksitas masalah yang kini dihadapi bangsa Indonesia pun masih dikelola dengan cara lama. Sebagaimana Orde Baru mengelola pemerintahan dengan pendekatan militer.
Padahal ancaman negara yang kini dihadapai sudah jauh berbeda dengan yang dihadapi 50 tahun yang lalu. Ancaman penyebaran virus, perubahan iklim, ketahanan pangan, keamanan data merupakan sederet ancaman yang hanya bisa diantisipasi oleh para pakar di bidangnya. Mengantisipasi ancaman di atas dengan pendekatan militer justru jauh panggang dari api.
Militer Hadapi Covid-19
Saat ini pemerintah Indonesia sedang menghadapi wabah Corona Virus Desease 2019 (Covid-19). Dalam hal penanggulangan Covid-19, strategi penanganannya tentu berbeda dengan strategi perang konvensional.
Andai perang melawan Covid-19 diartikan sebagai perang biologis, pun pendekatan yang dilakukan bukan dengan pendekatan militer. Sebab musuh yang dihadapi adalah virus dengan kemampuan berlipat ganda, bermutasi, hingga menyebar dengan cepat.
Oleh sebab itu dalam penanganan wabah penyakit seperti Covid-19, yang mesti dikedepankan adalah pendekatan saintifik dengan para ilmuan kesehatan yang berada di garis depan.
Berbekal keilmuan yang matang, serta didukung dengan kemampuan teknis dan akses pada sumber daya kesehatan, keberadaan para ilmuan kesehatan agaknya lebih dapat diandalkan untuk memecahkan masalah Covid-19 ini. Sedangkan sehebat apapun seorang jenderal, tentu bukan pada porsinya menangani masalah wabah penyakit.
Selain itu, penanganan wabah Covid-19 yang diberikan kepada BNPB sebagai Gugus Tugas penanganan Covid-19, yang dibantu oleh TNI & Polri semakin menunjukkan ketidakakuratan pemerintah dalam melihat permasalahan yang dihadapi. Meskipun Covid-19 bisa dikategorikan sebagai bencana, namun penyelesaian wabah penyakit yang disebabkan oleh virus jelas berbeda dengan penanganan bencana alam seperti halnya gempa bumi, gunung meletus maupun tsunami yang memang menjadi domain kerja dari BNPB.
Di sisi lain, sumberdaya dan infrastruktur BNPB juga tidak dibentuk untuk menangani masalah kesehatan. Sehingga strategi penanganan sangat tidak selaras dengan permasalahan yang saat ini dihadapi. Hal ini pula yang menjadi sumber kegagapan pemerintah dalam menangani Covid-19.
Covid-19 Bukan Ancaman Utama
Dan, seperti kita ketahui BNPB dan Kemenkes merupakan institusi pemerintah yang keduanya sama-sama dipimpin oleh figur berlatarbelakang militer. Sebagai seorang militer, pendekatan national security terlihat lebih dominan daripada pendekatan ilmu kesehatan. Maka wajar bila dalam penanganan Covid-19 keduanya dinilai belum mampu menyentuh substansi dari masalah yang sesungguhnya.
Sebagai misal tidak adanya transparansi data. Padahal keterbukaan data sangat penting dilakukan oleh pemerintah untuk memutus rantai penyebaran Covid-19. Namun dengan dalih keamanan nasional pemerintah urung melakukannya.
Bahkan, dalam hal yang paling dasar yaitu tidak adanya publikasi jurnal ilmiah. Keberadaan jurnal ilmiah sebagai wadah berbagi informasi dengan negara-negara lain dapat mempercepat ditemukannya vaksin Covid-19.
Tentu kita tidak sedang menyalahkan institusi TNI & Polri. Lumrah bila ada individu TNI & Polri yang menjabat di pemerintahan selama itu dilatarbelakangi dengan pertimbangan meritokrasi.
Namun dominasi posisi TNI & Polri menunjukkan bahwa wabah penyakit yang sesungguhnya menjangkiti bangsa Indonesia adalah ancaman penyakit masa lalu. Bila tidak segera diobati tentu akan menjadi beban sejarah yang menyulitkan bangsa Indonesia untuk bergerak maju.
Melaju Tapi Mundur
Ibarat sebuah roda, sejatinya roda pemerintahan saat ini tidak sedang berputar ke depan, justru sebaliknya, ia berputar kebelakang. Ini terjadi lantaran pengemudi tidak memasukkan gigi satu untuk maju, namun menggerakkan tuas persneling ke belakang. Sehingga sekuat apapun pedal gas diinjak justru semakin membuat mobil bergerak mundur.
Keinginan untuk maju tentu juga harus selaras dengan kemampuan dan perangkat yang memadai. Bila kemampuan pengemudi bisa diandalkan, perangkat yang digunakan pun harus sesuai dengan medan yang akan dihadapi.
Jika dipaksakan menggunakan perangkat yang tidak kompatibel, alih-alih mampu melewati medan terjal, yang terjadi bisa-bisa malah mogok di tengah jalan.
Kita tentu tidak ingin bangsa Indonesia bergerak mundur atau mungkin mogok di tengah jalan. Banyak pelajaran berharga dalam perjalanan bangsa Indonesia yang bisa dipetik sebagai bahan evaluasi untuk melangkah maju.
Salah satu langkah yang harus diambil adalah memberikan kewenangan pada ahlinya. Bila ini dilakukan, kita optimis keberadaan para ahli dapat mendorong Indonesia melompat jauh ke depan.
Editor: Nabhan