Oleh: Yusuf Rohmat Yanuri*
Isu agama di Indonesia merupakan isu yang sangat sensitif. Survei menunjukkan bahwa agama di mata masyarakat Indonesia adalah sesuatu yang sangat penting, berbeda dengan negara-negara maju yang lain yang menganggap agama merupakan hal yang tidak terlalu penting dalam kehidupan. Maka, tak heran jika politisi kita sering menggunakan isu agama untuk meraih dukungan politis. Bahkan, lebih jauh banyak yang melakukan ‘akrobat’ dalil. Memutar atau menafsirkan makna dalil sebagai justifikasi dukungan terhadap diri dan kelompoknya.
Ada satu isu lain yang nampaknya sangat laris di Indonesia, yaitu isu identitas. Isu ini setali tiga uang dengan isu agama, karena agama juga merupakan salah satu identitas, sekalipun identitas tidak selalu agama, bisa jadi “sekte” atau “mazhab” dalam beragama. Hal ini menjadi sangat mencolok akhir-akhir ini. Bukan di pilpres, namun di dalam pergerakan mahasiswa yang menjadi kebanggaan penulis: IMM.
Lunturnya Kritisisme Kader IMM
Hari Senin, 8 Juli yang lalu, HMI mengadakan Latihan Kepemimpinan 1 (LK 1) didalam kampus Universitas Muhammadiyah Sorong. Kegiatan tersebut membuat kader-kader IMM melakukan aksi penolakan mengingat organisasi mahasiswa eksternal secara legal dilarang untuk melakukan kegiatan di kampus. Aksi penolakan tersebut dibalas oleh organisasi mahasiswa lain gabungan HMI, PMII, PMKRI, GMKI, dan GMNI. Akhirnya PC IMM Sorong pun meminta maaf secara terbuka di hadapan peserta aksi karena aksi penolakan yang dilakukan oleh kader-kader IMM.
Setidaknya begitulah kronologi yang paling dapat dipercaya, mengingat sangat minimnya jurnalistik professional yang merekam rentetan kejadian di atas. Bahkan, Sang Pencerah, website yang menjadi rujukan warga Muhammadiyah, hanya mengutip berita dari sumber lain yang juga tampak tidak terlalu kredibel. Sedangkan uraian kronologi singkat di atas adalah yang tersebar di beberapa Whatsapp Grup (WAG) IMM nasional.
Ada beberapa hal yang menarik dari kejadian diatas. Pertama, masih sangat banyak kader-kader IMM yang bersikap reaktif dalam menghadapi isu identitas. Penulis tidak ingin terlibat terlalu jauh perihal mana berita yang benar, dan mana berita yang hoaks. Di WAG, banyak sekali komentar reaktif yang tampak tidak mencerminkan kepribadian sebagai seorang “cendekiawan berpribadi” sebagaimana yang sejauh ini selalu menjadi slogan kebanggaan. Kata-kata hujatan, cacian, ancaman, dan kutukan lahir dari jempol-jempol kader IMM dengan bebas dalam menanggapi isu pembakaran & perusakan bendera IMM. Setelah beberapa jam puas dengan hujatan, cacian, ancaman, kutukan, dan lain-lain, ada klarifikasi dari kader IMM Sorong yang ternyata pembakaran dan pengrusakan bendera tersebut tidaklah benar.
Sekali lagi, benar atau tidaknya berita tersebut sangat sulit dilacak. Namun, yang jelas adalah betapa kritisisme kader IMM ini tampak telah hilang ketika menghadapi berita yang melukai identitas.
Persoalan ini mirip dengan aksi penolakan pembakaran bendera Tauhid di Garut beberapa bulan lalu. Kasus dimulai ketika ada pembakaran bendera Tauhid di Garut yang videonya viral di media sosial. Beragam komentar pun diucapkan oleh masyarakat. Pembakaran bendera tersebut membuahkan aksi penolakan di berbagai kota dengan mengibarkan sebanyak mungkin bendera tauhid sebagai perlawanan. Persoalan ini sangat simbolis bukan? Bedanya adalah pembakaran bendera Tauhid tersebut cukup mudah dilacak kebenarannya.
Kedua, minimnya narasi kebaikan di media-media (jika WAG disebut media) yang dikelola oleh kader IMM. Jika ada narasi-narasi kritis yang menyarankan agar yang lain tetap tenang sambil menunggu berita yang valid, maka dikatakan sebagai penyusup, tidak ideologis, tidak cinta pada ikatan, dan lain-lain. Ada satu dua orang tetap kritis dan merawat nalar, namun mereka sangat minoritas, atau jika banyak, tidak mau keluar, karena ruang publik sudah dikuasai oleh wacana yang tidak mereka setujui.
Sikap Keberagamaan Fanatik-Eksklusif
Hal ini kurang lebih mirip dengan keadaan keberagamaan kita dewasa ini. Narasi keagamaan yang mampu muncul di ruang publik adalah narasi keagamaan yang garang, yang konfrontatif terhadap kelompok yang berbeda baik secara ideologi, mazhab, maupun pandangan politik, yang sering disebut dengan eksklusif-konservatif. Narasi inklusif yang disuarakan oleh Buya Syafii, Quraish Shihab, Najib Burhani, dan lain-lain yang lebih akomodatif terhadap perbedaan hampir sama sekali tidak dapat diterima publik. Atau diterima, namun tidak mengakar ke akar rumput. Tanyakan kepada anak-anak muda yang sedang berada di jalan “hijrah” hari ini, apakah mereka mengenal ulama-ulama besar berkaliber Buya, Quraish Shihab, dan lain-lain itu? Narasi Islam yang damai masih sangat minim jumlahnya di ruang publik.
Ketiga–dan ini yang paling fundamental- adalah bahwa fanatisme terhadap kelompok ini telah menjadi berhala baru bagi umat Islam di seluruh muka bumi, baik Arab maupun ‘Ajam (non-Arab). Dalam surat Al-Jatsiyah ayat 23 Allah menyindir orang yang menjadikan hawa nafsu sebagai ilah (tuhan, berhala, sesembahan, panutan, idola, sekte, mazhab, identitas) mereka. Sekte, mazhab, identitas, kelompok, dan lain-lain yang fanatismenya mengalahkan rasio akan menjadi berhala baru, yang menutup pintu-pintu kebenaran dari hati manusia. Dalam hal ini Buya Syafii menjelaskan dengan sangat baik, Buya menulis:
“…dari tragedi Shiffin inilah kemudian muncul tiga fraksi besar umat yang tidak pernah berdama: Suni, Syi’ah, dan Khawarij. Suni yang muncul sebagai golongan mayoritas merasa diri selalu berada di pihak yang benar dengan mudah menuduh kelompok Syi’ah dan Khawarij sebagai pihak yang salah. Cara pandang seperti ini harus dihalau jauh-jauh dengan menjadikan Alquran sebagai hakim dan rujukan yang tertinggi. Kepentingan politik sesaat dengan dalil agama sekalipun bagi saya adalah sebuah pengkhianatan. Suni, Syi’ah, dan Khawarij adalah buah dari perpecahan politik, mengapa kemudian diberhalakan? Pemberhalaan inilah yang selama ratusan tahun telah menghancurkan persaudaraan sejati umat Islam, termasuk umat Islam yang tidak ada hubungannya dengan budaya Arab yang suka berpecah belah itu.” (Maarif: 2018)
Betapa jauh-jauh hari mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah sudah mengamanatkan kepada orang-orang di sekitarnya untuk tidak menjadikan perpecahan sebagai berhala, dan tidak menjadikan fanatisme golongan sebagai agama itu sendiri. jika terhadap sunni-syiah-khawarij yang basis teologinya sedikit lebih mapan saja masyarakat dilarang fanatik, bagaimana dengan organisasi mahasiswa yang basis teologinya terkadang masih tumpang tindih dan kurang mapan?
Menanti Karya Nyata IMM
Sebagai penutup, mari kita renungkan sudah sejauh mana derap derup langkah IMM selama ini. Bukankah IMM ini besar? Bukankah IMM ini terlampau besar untuk mengurusi hal-hal kecil-cum-simbolis seperti itu? Banyak suara-suara yang meminta DPP IMM dan PP Muhammadiyah untuk turun gunung menyelesaikan kasus di Sorong. Bagi penulis, cara terbaik menyelesaikan persoalan ini adalah dengan produktivitas dan karya nyata. Secara simbolis, IMM sudah selesai dengan semboyan Fastabiqul Khoirot (berlomba-lomba dalam kebaikan). Jika memang IMM (dianggap) yang terbaik, jangankan HMI berkegiatan di PTM, semua organisasi mahasiswa mengadakan kegiatan di PTM pun tidak akan jadi soal.
Barangkali IMM merasa harus mengamankan rumah sendiri (PTM) karena memang IMM belum siap bersaing secara bebas di dunia yang keras ini. Maka, ketika IMM mampu membuktikan bahwa dirinya adalah yang terbaik, tidak perlu repot-repot memberangus kegiatan organisasi mahasiswa yang lain. Jika IMM memang yang terbaik, maka kader-kader terbaik negeri ini tidak akan salah pilih. Mereka akan tetap bersama IMM sekalipun organisasi mahasiswa lain menduduki PTM di setiap lininya.
Sekarang tinggal dimana fokusnya kader-kader IMM. Jika IMM fokus kepada perebutan wacana dan ruang publik di PTM, mulai dari penegakan aturan statuta PTM, perebutan kursi di BEM & DPM, perebutan fasilitas-fasilitas kampus, maka semua itu yang akan didapatkan, tidak lebih. Tidak salah memang. Namun, jika IMM fokus pada produktivitas dan karya nyata, baik dari segi keilmuan, berupa banyaknya bacaan dan tulisan kader-kader IMM yang tersebar di berbagai media massa, menulis buku-buku yang ditujukan untuk kalangan luas sesuai keilmuan masing-masing, kemudian mampu mengabdi ke masyarakat sehingga muncul kegiatan-kegiatan live in, pendampingan, pemberdayaan, dan pengentasan mustadh’afin, kemudian fokus pada pembentukan politisi-politisi muda yang akan memimpin negri ini secara produktif, kemudian memakmurkan masjid di desa dan lingkungan masing-masing, memunculkan dai-dai muda yang ikhlas untuk tidak terkenal dan tidak popular.
Maka, percayalah, IMM tidak akan hanya “gagah” di PTM, karena PTM memang rumah IMM. Namun IMM akan gagah di kancah nasional. Namun, lagi-lagi tujuan IMM bukan untuk terlihat gagah, namun untuk ikhlas mengabdi kepada masyarakat, untuk membantu terwujudnya cita-cita Muhammadiyah: “mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”.
Maka, jangan sampai isu-isu identitas dan gesekan dengan sesama “umat Islam” itu mengurangi produktivitas kader. Tidak berarti hal itu tidak penting. Isu di Sorong harus tetap diselesaikan dengan menjadikan Alquran sebagai hakim yang adil untuk semua. Namun, produktivitas kader untuk menghasilkan gerakan-gerakan yang masif di kantong gerakan masing-masing tidak boleh dialihkan untuk hal-hal yang bersifat simbolis dan temporal. Wallahu a’lam.
*Kabid RPK PK IMM Pondok Hajjah Nuriyyah Shabran 2019