Dua perkara ini secara dzohir tidak tampak, hanya bisa dirasakan hati dan pikiran. Himmah dan Thulul ‘amal sering kita dengar ketika mengkaji literatur ulama salaf (Kitab Kuning-pen).
Dan kita sering mengalami dua hal yang berseberangan makna tersebut. Bahkan di kehidupan sehari-hari, kedua hal ini selalu berlalu lalang di pikran kita.
Himmah berkesan pola pikir yang baik dan dianjurkan, sedangkan thulul ‘amal merujuk keperkara buruk dan lebih baik ditinggalkan.
Dan dua perkara ini memiliki kesamaan zaman terjadinya yaitu bersifat mustaqbal, alias perkara yang akan datang.
Himmah adalah sebuah keinginan yang kuat, atau bahasa kitabnya ‘sejo ingkang luhur’, kalau di Kelas SD kita kenal dengan ‘cita-cita’, atau pebisnis menyebutnya ‘project’ yang akan datang serta pejabat menyebutnya obsesi.
Kiai kita ketika mengajar pasti sering sekali untuk menganjurkan memiliki himmah, bahkan di dalam Kitab Ta’lim Muta’alim, himmah memiliki tempat bab tersendiri, bersandingan dengan fasal المواطبة في الجد
Syech Zarnuji di dalam kitab Ta’lim-nya mengatakan:
فإن المرء يطير بهمته كالطير يطير بجناحه
“Manusia itu akan terbang dengan cita-citanya, sebagaimana terbangnya burung dengan kedua sayapanya.”
Kalau Bahasa kekinianya, “Bermimpilah setinggi angkasa, walaupun toh jatuh, jatuhnya di antara bintang”.
Dan sebaik-baiknya himmah adalah himmatul ulya, keinginan untuk membahagiakan orang tua, cita-cita Hafal Alfiyah, cita-cita tamat mondok, dan menjadi fuqoha’, misalnya. Serta cita-cita berkata ‘Qobiltu Nikahaha’ di depan orang tuanya, ehh.
Akan tetapi himmah ini harus berbanding lurus dibarengi dengan kesungguhan.
Karena cita-cita tanpa kesungguhan, akan hampa tiada hasilnya, Sedangkan kesungguhan tanpa disertai dengan cita-cita, sama saja sia-sia.
Sedangkan thulul ‘amal hampir sama, yaitu sama-sama sebuah keinginan. Nah seperti disebutkan sebelumnya, thulul ‘amal lebih ke perkara buruk.
Yaitu sebuah keinginan yang bisa dikatakan fatamorgana dan fantasi belaka dan cenderung ke perkara hubbu dunia. Padahal hubbud dunya itu ro’su kulli khoti’atin, pangkal dari segala keluputan.
Maka dalam kitab-kitab akhlak-tasawuf thulul ‘amal ini seringkali tercatat untuk dijauhi. Thulul ‘amal sering membawa otak pelajar berfantasi liar seperti burung terlepas dari sangkar. Misal pingin terkenal kayak Ronaldo, kaya raya seperti Ali Baba, cerdas seperti Einstein, dan menjadi singa podium layaknya KH Zainudin MZ.
Nah ketika terperangkap di thulul ‘amal ini, kita bisa menunda-nunda pekerjaan di depan mata yang musti diselesaikan. Dan malah nikmat terbang melayang bersama fantasi fatamorgana yang tiada tepi.
Lalu termasuk apa cita-cita kita, himmah atau thulul ‘amal-kah?
Saya yakin pasti kita pernah ngalamin dua hal ini, memiliki obsesi yang wah, cita-cita setinggi bukit, eh setinggi langit maksudnya. Dan tujuan-tujuan mulia lainya.
Untuk menentukan berada di mana pikiran kita antara himmah atau thulul ‘amal, itu semua dikembalikan kepada diri kita sendiri.
Maksudnya begini, ketika kita mempunyai angan-angan hafal 1002 nadzom Alfiyah Ibnu Malik, lalu keseharian kita hafalan terus, sehari sepuluh nadzom atau katakanlah minimal lima nadzom tapi Istiqomah dan bersungguh melakukanya, maka yang kita lakukan itu masuk kategori himmah.
***
Akan tetapi jika keseharian kita malas-malasan, tidak pernah megang nadzom, fix! Kita hanya ber-thulul ‘amal.
Contoh lagi kita pingin kaya raya, tetapi jarang shodaqoh, medit mecicil, tak pernah membaca surat waqi’ah, pola hidup boros, dan jarang salat Dhuha, sudah pasti ini fatamorgana.
Jika benar-benar ingin kaya raya, ya beramal yang bagus, rajin menabung, suka menolong, dan tidak sombong.
Ada lagi, taruh lah kita ingin dapat istri cantik dan anaknya pak kiai lagi, ya otomatis keseharian kita musti mempeng rajin ngaji, istiqomah ibadah, sering ke makam ulama, pernah ikut hafalan 1000 nadzom alfiyah, tirakat, minimal sampai tamat mondoknya lah.
Tapi jika kita keseharianya rebahan, kitab banyak yang bolong, ngopa-ngopi terus, ngajinya tidak keurus ya wallahu a’lam. Kata orang tua, “Rasah kakean empyak kurang cagak!”.
“Besar pasak daripada tiang”.
Mumpung masih muda, mari kita bersama memperbaiki diri. Dawuh-nya Mbah Yai Anwar Mansur, “Jaddidis Safinah, Fainnal Bahro ‘Amiq.”
“Perbaiki kapal kalian, karena lautan teramat luas”.
Memperbaiki diri kita, kualitas kita, baik ilmu, adab, ataupun ketakwaan kita kepada Allah SWT. Karena perjalanan masa depan hidup kita masih panjang.