Wahyudi Akmaliah
Peneliti di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI
Selama ini, proses pencegahan intoleransi selalu dilihat dari intervensi negara, struktur badan pemerintah, ormas keagamaan, dan NGO. Sementara itu, komunitas-komunitas yang tumbuh di pelbagai wilayah Indonesia jarang sekali dilihat sebagai faktor dan narasi yang dapat mempengaruh isu-isu toleransi sekaligus keberagamaan. Tentu saja, ada banyak faktor mengapa mereka dianggap kurang signifikan. Salah satu faktor tersebut adalah sifat organisasi yang relatif cair dan informal, sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan dukungan, baik secara sosial maupun finansial. Dalam memandu program baru yang diluncurkan oleh UNDP melalui program PROTECT (The Prevention of Violent Extremism through Tolerance and Respect for Diversity), dalam sesi CSO Movement's on Prevention of Violent Extremism, through the Promotion of Tolerance and Respect for Diversity pada 14 Maret 2019, saya belajar banyak dari para pembicara sekaligus peserta diskusi .
Dari mereka saya mengerti bagaimana komunitas itu menjadi bagian penting dalam membangun solidaritas di akar rumput. Selain secara organisasi lebih fleksibel, mereka juga jauh memiliki akar ke bawah. Kehadiran media sosial turut membantu bagaimana komunitas-komunitas ini tumbuh dan berkembang. Di sini, pembicara dari kanan Alissah Wahid (Jaringan Gusdurian), Rita Pranawati (Komisi Perlindungan Anak Indonesia/KPAI), Khamid Anik Khamim Tohari, (Kordinator Nasional Komunitas Bela Indonesia), dan Ayu Kartika (cofounder of SabangMerauke dan Milennial Islam) menekankan mengenai pentingnya sebuah pertemuan secara fisik kepada mereka yang dianggap berbeda.
Dengan adanya pertemuan fisik, kita tidak hanya berusaha saling mengenal, sekaligus bisa saling bertukar informasi atas mereka yang berbeda agama, ideologi politik, etnik sekaligus kelas memungkinkan untuk meruntuhkan bangunan stereotif kuat yang sebelumnya berhamburan di media sosial yang menjadi amunisi di kepala mereka. Dengan cara bertemu inilah solidaritas keindonesiaan sangat memungkinkan untuk terus dipupuk di tengah segregasi politik elektoral yang membelah masyarakat Indonesia. Dengan menciptakan ruang-ruang pertemuan yang berbeda inilah setidaknya bisa mengikis kecurigaan yang sebelumnya tumbuh begitu kuat. Pentingnya membangun ruang pertemuan kultural ini juga merupakan upaya membongkar segregasi ruang yang selama ini secara sadar dan tidak sadar terbentuk secara homogen.
Bagi masyarakat Indonesia yang lebih cenderung menyekolahkan anak-anaknya kepada basis agama yang dianut memang tidak salah. Hal itu merupakan bagian dari pilihan personal dari orangtua mereka untuk mendidik anak-anaknya sesuai dengan pemahaman agama yang diinginkan. Namun, jika tidak diantisipasi dengan interaksi orangtua di rumah sekaligus mengajarkan keterbukaan lebih jauh di sekolah dengan fondasi Pancasila sebagai titik ideologi utama, kondisi ini sebenarnya telah menciptakan imajinasi homogen di mana mereka tinggal di Indonesia seolah-olah dengan orang-orang yang sama. Ironisnya, upaya homogenisasi ini juga terjadi pada sekolah umum, khususnya Sekolah Menengah Pertama di beberapa kota. Tidak sedikit bagi mereka yang Muslim memiliki anjuran (keras) untuk mengenakan jilbab. Jika tidak mengenakan, dalam proses interaksi sesama teman-temanya akan mengalami semacam tekanan psikologis yang akhirnya mengenakan jilbab. Di sini, ruang sekolah, jika tidak diantisipasi justru menciptakan segregasi sejak dalam pikiran.
Di tengah situasi tersebut, kehadiran komunitas-komunitas di daerah menjadi bagian yang penting. Apalagi, inisiatif tumbuhnya komunitas ini dilakukan karena memang adanya kegelisahan bersama di sekitar mereka yang membuatnya resah sehingga akhirnya mau untuk bergerak dengan sifat voluntarisme. Kasus upaya pengeboman yang melibatkan anak-anak, sebagaimana diceritakan oleh Rita Pranawati (KPAI) menarik. Di saat orangtuanya meminta anaknya untuk terlibat dalam pengeboman, justru anaknya tersebut menolak dengan alasan karena pendapat teman-teman komunitasnya di luar sekolah yang melarang untuk melakukan itu. Dengan spirit ini voluntarisme ini, tanpa adanya pendanaan sekalipun, mereka mau bergerak dan berusaha untuk memperbaiki lingkungan sekitarnya serta melakukan pencegahan kekerasan ekstrimisme dalam bentuk terorisme. Spirit voluntarisme ini yang menguatkan mereka untuk bergerak dan memikirkan lingkungan sekitarnya dari ancaman intoleransi yang dialami. Apalagi, kemunculan gerakan-gerakan konservatisme agama di Indonesia juga menggunakan pola yang sama dengan menjadikan media sosial sebagai basis penggaung ikatan solidaritas keagamaan. Komunitas-komunitas toleransi yang tumbuh di pelbagai daerah merupakan bantal untuk perlawanan tersebut.
Dengan kata lain, di luar NU dan Muhammadiyah sebagai penjaga gawang titik moderat, sekaligus NGO sebagai titik penekan dan advokasi, dan pemerintah sebagai penjaga keseimbangan dan regulasi, komunitas-komunitas ini yang menjadi jangkar tumbuhnya kepercayaan kepada sesama anak bangsa melalui aktivitas yang sosial dengan ikatan solidaritas yang kuat; menjaga Indonesia untuk lebih baik dan damai. Dalam konteks ini, jaringan Gusdurian yang dikordinatori oleh Alissa Wahid membuktikan hal tersebut. Meskipun anggotanya kebanyakan memiliki latarbelakang organisasi NU, namun banyak dari mereka tidak tersekat oleh aturan organisasi tersebut sehingga memungkinkan untuk bergerak bebas dan membangun jaringan toleransi ke penjuru Indonesia. Di sisi lain, di tengah kuatnya politik elektoral yang membelah masyarakat Indonesia, komunitas-komunitas ini justru bisa menempatkan diri kepada posisi yang jauh lebih independen, mengingat basis kepentingannya adalah ide bersama untuk mengatasi persoalan yang diatasi. Karena itu, pilihan untuk menguatkan komunitas-komunitas ini tidak hanya penting tetapi sekaligus hal yang utama untuk dilibatkan di tengah orang sibuk mengejek antara cebong dan kampret.
[zombify_post]