Akikah ialah sembelihan yang disembelih karena kelahiran anak. Hukumnya sunah muakkad meskipun si ayah sedang dalam keadaan susah. Akikah telah dilakukan oleh Rasulullah saw dan para sahabat beliau.
Mengenai waktu pelaksanaan akikah, ada tuntunan dari Rasulullah saw. seperti berikut:
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى. [رواه أَبُو دَاوُدَ]
Dari Samurah bin Jundub [diriwayatkan bahwa] sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Setiap anak tergantung kepada akikahnya, disembelih atas namanya pada hari ketujuh (kelahirannya), dicukur (rambutnya) dan diberi nama” [HR. Abu Dawud].
Dari hadis ini, diketahui bahwa akikah itu dilaksanakan sebagai tanda syukur dan berbagi kebahagiaan atas kelahiran seorang anak. Akikah dilaksanakan pada hari ketujuh setelah kelahirannya. Menurut para ulama, jika tidak bisa dilakukan pada hari tersebut, maka boleh dilakukan pada hari-hari lain yang longgar.
Hanya saja waktunya dibatasi hingga anak tersebut baligh, sebagaimana diisyaratkan dalam hadis di atas dengan kata “ghulam” yang berarti anak. Jika sudah baligh, maka tidak disunahkan lagi melakukannya karena sudah jauh waktunya dari hari kelahirannya.
Oleh karena itu, jika seumpamanya ayah kita tidak melakukan akikah atas nama kita dahulu, maka kita tidak mempunyai kewajiban untuk mengakikahi diri sendiri. Dalam hal ini kita tidak perlu merasa bersalah atau berdosa bagi diri kita atau ayah kita.
Karena hukum akikah bukan wajib, tapi sunnah muakkadah. Kita tidak perlu mengakikahi diri sendiri ketika sudah dewasa karena hal itu tidak disyariatkan dan tidak disunahkan. Nabi saw, para sahabat, dan para ulama tidak melakukan hal tersebut.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Sumber: Fatwa Tarjih Muhammadiyah No.12 Tahun 2015