Wa hâdzal-baladil-amîn (dan demi negeri (Makkah) yang aman ini). Ayat ketiga surah At-Tin menjadi tamparan keras bagi realitas demokrasi di Indonesia saat ini, yang seharusnya menjadi pilar utama kesejahteraan. Apakah kita benar-benar telah mewujudkan rakyat yang hidup dalam negara yang aman dan sejahtera? Ataukah kemerdekaan dan demokrasi rakyat hanya menjadi angka statistik yang dimanfaatkan untuk survei dan alat politik saat pemilihan suara saja?
Tahun 2025 Indonesia telah merayakan 80 tahun kemerdekaan. Sebuah tonggak sejarah yang seharusnya menjadi momen refleksi mendalam dan rasa syukur atas perjalanan bangsa. Namun, di balik gegap gempita perayaan beberapa waktu lalu, kita dihadapkan pada kenyataan yang tak bisa diabaikan: kemiskinan yang masih merajalela, kekuasaan yang semakin tersentralisasi, politik dinasti yang tumbuh subur, serta suara oposisi yang kian melemah. Demokrasi yang kita bangun tampak kehilangan ruhnya, berubah menjadi panggung kekuasaan yang dipenuhi retorika tanpa etika dan pelayanan publik yang nyata.
Telah Kehilangan Ruh
Emha Ainun Nadjib, seorang budayawan dan intelektual, mengkritisi demokrasi Indonesia yang menurutnya telah kehilangan esensinya. Demokrasi tidak lagi menjadi ruang pengabdian dan pelayanan, melainkan berubah menjadi “penjara yang kita bangun sendiri” — penjara politik, ekonomi, dan budaya. Sistem yang seharusnya menjamin kebebasan rakyat justru membatasi suara mereka. Dalam bukunya Indonesia Bagian dari Desa Saya, Emha mengingatkan bahwa Indonesia adalah rumah besar yang plural dan hanya bisa dirawat dengan cinta serta pelayanan tulus. Demokrasi, menurutnya, bukan sekadar sistem politik, melainkan cara hidup yang menghargai keberagaman dan mendahulukan kepentingan rakyat kecil. Ia mengajak kita kembali ke akar budaya desa: gotong royong, musyawarah, dan pelayanan yang tulus sebagai fondasi demokrasi sejati.
Gagasan ini diperkuat oleh pemikiran tokoh-tokoh besar seperti Gus Dur dan Nurcholish Madjid. Gus Dur menolak demokrasi yang hanya bersifat prosedural dan formal. Baginya, demokrasi harus melindungi hak-hak minoritas, menjunjung tinggi pluralisme, dan menempatkan kemanusiaan sebagai inti kebijakan. Demokrasi bukan sekadar sistem politik, melainkan keberanian moral untuk melawan ketidakadilan dan diskriminasi.
Sementara itu, Cak Nur (Nurcholish Madjid) menolak politisasi agama dalam demokrasi. Melalui gagasan “Islam Yes, Partai Islam No”, ia menegaskan bahwa nilai-nilai Islam harus menjadi etika publik yang menjamin kebebasan, keadilan, dan partisipasi aktif masyarakat sipil. Demokrasi, menurut Cak Nur, bukan urusan elite politik semata, melainkan tanggung jawab semua warga negara yang sadar akan hak dan kewajibannya.
Demokrasi Belum Berpihak dengan Rakyat
Demokrasi tidak dapat berdiri kokoh tanpa fondasi ekonomi yang adil dan merata. Di sinilah pemikiran Bung Hatta menjadi sangat relevan. Bung Hatta menawarkan konsep demokrasi kerakyatan sebagai jalan tengah antara komunisme dan liberalisme. Dalam pandangannya, kedaulatan rakyat dijalankan melalui musyawarah mufakat dan tanggung jawab kolektif, bukan individualisme kapitalistik ala Barat yang tidak sesuai dengan karakter masyarakat Indonesia.
Dalam bidang ekonomi, Bung Hatta menekankan pentingnya koperasi sebagai instrumen utama pembangunan ekonomi rakyat. Koperasi bukan sekadar badan usaha, melainkan wujud kebersamaan untuk mencapai kesejahteraan kolektif. Ia percaya bahwa pembangunan ekonomi harus berorientasi pada rakyat kecil, bukan pada elite atau investor asing. Prinsip keadilan sosial, kemandirian ekonomi, dan demokrasi ekonomi menjadi pilar utama pemikirannya.
Koperasi yang hidup dan kuat akan menjadi tulang punggung ekonomi rakyat, mengurangi ketimpangan, dan memperkuat demokrasi dari akar rumput. Namun, kenyataannya koperasi di Indonesia seringkali hanya menjadi formalitas tanpa dukungan nyata dari pemerintah dan masyarakat. Oleh karena itu, revitalisasi koperasi dan pendidikan ekonomi kerakyatan harus menjadi prioritas nasional.
Inspirasi dari Singapura
Dalam konteks tata kelola dan pelayanan publik, Indonesia dapat belajar banyak dari pengalaman Singapura. Melalui buku Governing Singapore karya R.K. Vasil, kita melihat bagaimana negara kecil tersebut membangun tata kelola yang efisien dan berorientasi pada hasil. Kepemimpinan visioner, meritokrasi, penegakan hukum yang tegas, serta komitmen terhadap multikulturalisme menjadi kunci keberhasilan mereka.
Meski Singapura tidak sepenuhnya demokratis dalam pengertian liberal, pendekatan teknokratik dan profesionalisme birokrasi mereka bisa menjadi inspirasi bagi Indonesia. Efisiensi birokrasi dan pelayanan publik yang transparan dan akuntabel sangat dibutuhkan untuk memperkuat demokrasi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Di tengah tantangan demokrasi Indonesia saat ini, integrasi antara demokrasi politik, ekonomi kerakyatan, dan tata kelola yang efisien menjadi keniscayaan. Pendidikan demokrasi dan ekonomi harus ditanamkan sejak dini, terutama di desa, pesantren, dan sekolah. Masyarakat sipil dan media independen harus diperkuat agar mampu menjadi penyeimbang kekuasaan. Tradisi musyawarah perlu dihidupkan kembali sebagai bentuk demokrasi lokal yang inklusif dan partisipatif. Reforma agraria harus dijalankan secara serius agar sumber daya alam kembali ke tangan rakyat.
Etika politik berbasis agama dan budaya harus menjadi kompas moral dalam kehidupan publik, sementara birokrasi harus dibangun dengan semangat profesionalisme dan transparansi, belajar dari efisiensi Singapura.
Demokrasi Harus Berpihak dengan Rakyat
Demokrasi Indonesia tidak akan pulih hanya dengan mengganti sistem atau memperbaiki prosedur formal. Ia membutuhkan gerakan kultural yang kuat, partisipasi aktif masyarakat, dan kesadaran kolektif yang mendalam. Seperti yang dikatakan Emha Ainun Nadjib, Indonesia bukan milik elite, melainkan milik desa-desa yang sabar dan melayani. Gus Dur mengingatkan bahwa demokrasi harus melindungi yang lemah dan minoritas. Cak Nur menekankan pentingnya etika publik dan nilai-nilai moral dalam demokrasi. Bung Hatta menunjukkan bahwa demokrasi sejati harus berpijak pada ekonomi kerakyatan yang adil dan berkeadilan.
Dari Singapura, kita belajar bahwa kepemimpinan visioner dan tata kelola yang efisien adalah kunci keberhasilan pembangunan. Maka, jika kita ingin demokrasi yang hidup, demokrasi yang berkeadaban, kita harus mulai dari yang paling dasar: dari nilai-nilai luhur, dari keberanian moral, dan dari kesediaan untuk melayani sesama.
Demokrasi bukan sekadar sistem politik, melainkan cara hidup yang mengakar dalam budaya dan ekonomi rakyat. Dengan semangat itu, Indonesia dapat mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang sejati: negara yang aman, adil, dan makmur bagi seluruh rakyatnya.
Editor: Assalimi

