Review

Menghadirkan Islam yang Lebih Humanis di Indonesia

5 Mins read

Berbagai masalah sosial-budaya dan keagamaan yang kita alami hari ini semakin memperjelas dan meyakinkan kita bahwa masalah kemerosotan sosial merupakan sebuah fakta yang tak terbantahkan. Tidak berhenti di situ, persoalan megakorupsi – tidak hanya materi, juga etika –, baik di lingkaran kekuasaan ataupun kelas bawah yang terungkap akhir-akhir ini, kian menegaskan moralitas bangsa yang rapuh, bobrok dan sejenisnya.

Persoalan bobroknya moralitas sebuah bangsa – terutama di Indonesia – sebenarnya bukanlah berita surprise mengingat moralitas yang korup seakan sudah menjadi way of life elite politik kita. Ia sudah menjadi semacam – mengutip istilah Masdar Hilmy – trademark, identitas budaya yang sudah tersohor seantero jagat. Tentu saja, hal-hal tersebut mengundang pemikiran mendalam laiknya Abdurrahman Mas’ud dalam bukunya Paradigma Islam Rahmatan Lil ‘Alamin untuk mencoba menata kembali kehidupan sosial dan beragama yang lebih menyejukkan, santun, damai, integritas, dan peduli terhadap problematika sosial.

Islam sebagai Sistem Nilai dan Budaya

Realitas Islam yang berkembang di Indonesia sampai hari ini – menurut Abdurrahman Mas’ud – adalah Islam kultural. Pendapat ini bukanlah omong kosong belaka mengingat jika dirunut secara historis, hal ini tidak lepas dari pengaruh dan upaya Walisongo dalam membumikan Islam di Jawa pada abad ke-15 sampai abad ke-16. Secara konvensional, kiai yang acapkali distereotipkan sebagai ulama tradisional sering dilihat sebagai penerus Walisongo yang absah. Kiai sebagai representasi pilar sub-kultur umat Islam pribumi memiliki peran tersendiri dalam proses diseminasi, transmisi dan transformasi nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah kepada komunitasnya masing-masing, baik di pesantren maupun masyarakat sekitarnya.

Selain itu, kiai juga dianggap sebagai warasatul anbiya wal mursalin (penerus nabi dan rasul) dalam dinamika sosial islam kultural ditempatkan juga sebagai agen perubahan sosial. Dalam pengamatan Geertz yang dikutip Masdar Hilmy, kiai tersebut telah memainkan perannya sebagai cultural broker (makelar budaya) yang bertugas menyeleksi (baca: menyensor) aspek-aspek budaya dari luar untuk dikunyah, dihidangkan dan dikonsumsi oleh anggota komunitasnya. Menurut Mas’ud, peran utama kiai adalah mengemudikan pesantren dengan segudang kepemimpinan kharismatiknya serta konsistensi terhadap prinsip-prinsip yang dengan sempurna diteladani oleh para santri. Karena kelebihan yang dimiliki para kiai inilah, bahkan sering kali dilihat sebagai “agen resmi” Tuhan di bumi juga sebagai actual spiritual teacher bagi komunitas santri.

Baca Juga  Gus Dur & Gus Mus: Merawat Persahabatan, Mengabadikan Kebaikan

***

Kita telah menengok ke belakang (flash back) secara singkat sosok Nabi sebagai tokoh yang mengintrodusir kebudayaan Islam dengan sunnahnya. Kita tentu sepakat akan sebuah fakta sejarah bahwa adat jahiliah diganti oleh Nabi Saw dengan tradisi baru Islam. Cara Nabi ini kemudian diikuti Walisongo dalam penyebaran Islam di Jawa. Perlu dicatat, para Walisongo – tidak jauh berbeda dengan Nabi Saw – melakukan hal yang sama yakni mengenalkan kultur baru dengan berusaha tanpa mengusik kebudayaan lama. Dalam peradaban Jawa disebutkan, njupuk iwak ojo sampek buthek banyune (mengambil ikan tanpa memperkeruh airnya).

Dengan kata lain, baik Nabi maupun Walisongo mengenalkan perubahan dengan tetap bersandar pada potensi yang dimiliki oleh rakyat. Kesukuan, misalnya, sebelum Nabi Saw hadir arti kesukuan dimaknai secara sempit, kemudian Nabi memperluas konsep kesukuan sebagai persaudaraan universal yang kita kenal dengan tiga sistem persaudaraan; ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariyah.

Begitu pula, tradisi meminum minuman keras di kalangan orang Arab yang begitu berurat nadi dan membudaya bahkan melembaga, baru dihapus setelah iman mereka menguat sebagai ideologi utama. Di sinilah letak kearifan (baca: kebijaksanaan) dan pendekatan yang dilakukan Nabi Saw yang diterapkan juga oleh Walisongo dan perlu ditransmisikan dalam kehidupan modern dalam rangka mengenalkan value system dan budaya Islami.

Menuju Paradigma Islam Humanis

Gagasan inti buku ini adalah menuju paradigma Islam humanis. Abdurrahman Mas’ud mencoba menawarkan pandangan dasar liberalisme dalam bingkai humanisme religius Islam. Humanisme religius memang tidak bisa dipisahkan dari pandangan-pandangan liberal sehingga keduanya relevan untuk disinggung dalam buku Mas’ud.

Tanpa diduga sebelumnya, Mas’ud mencoba mewacanakan gagasan paradigma Islam humanis dalam konteks Islam Indonesia guna memecah kebuntuan sosial dan carut-marutnya problematika di negeri ini. Akan tetapi, prototipe humanisme religius, lanjut Mas’ud, disadari atau tidak, seperti gerakan Islam liberal di Indonesia, menurutnya berada dalam kategori humanisme religius sebab dalam Islam tidak ada liberalisme kecuali pasti membawa ruh Islam di dalamnya.

Baca Juga  Tenggelam atau Tidaknya Indonesia Tergantung Muhammadiyah

Guna menjustifikasi gagasannya tersebut, Mas’ud menyodorkan beberapa “punggawa” kenamaan Indonesia yang dianggapnya sebagai representasi pionir humanisme religius di Indonesia seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nurcholish Madjid (Cak Nur), Muslim Abdurrahman, MM Billah, dan sebagainya. Selain itu, jika ditilik lebih mendalam buku ini, Mas’ud dengan sengaja memilih humanisme religius sebagai tema sentral dalam rangka menjawab tantangan global sekaligus tawaran terapi bagi Indonesia, yang baginya acap kali melupakan aspek-aspek humanisme. Lantas ia mengetengahkan kehidupan pesantren yang menurutnya menunjukkan perkembangan yang signifikan.

***

Sebagai tema sentral, humanisme religius dalam pandangan Mas’ud harus dibingkai dalam format pendidikan Islam. Bagaimana dunia pendidikan Islam yang tetap dengan formatnya sebagai penerus sunnah Rasulullah Saw dan Walisongo, sekaligus siap dan sigap merespons tantangan globalisasi dan kebutuhan zaman. Upaya ini, menurutnya, harus dibarengi dengan perubahan pola pikir dan perilaku guru sebagai pendidik yang selama ini cenderung lebih menekankan “penindasan” terhadap anak didik.

Dalam amatan Mas’ud, sebagian guru acapkali mendahulukan punishment ketimbang reward. Sayangnya fenomena semacam ini hampir menjangkiti dunia pendidikan kita. Memang pada mulanya punishment diberikan guna mendisiplinkan anak didik agar mereka fokus pada tugas-tugas belajar mereka, akan tetapi pemberian punishment yang overacting menjauhkan dari esensi pendidikan itu sendiri, yakni mengembangkan potensi/ memanusiakan manusia. Padahal pendidikan yang ideal, menurut Mas’ud, adalah pendidikan yang mengedepankan reward dan apresiasi kepada anak didik serta pendampingan dan pembimbingan kepadanya dalam rangka menemani tumbuh kembangnya.

Catatan Kritis

Sebagus dan sehebat apapun sebuah karya pastilah memiliki kekurangan. Demikian pula di dalam buku karya Abdurrahman Mas’ud. Dibalik segala kelebihan dan “glorifikasi” gagasan humanisme religiusnya, ia meninggalkan sebilah kekurangan sekalipun Abdurrahman Mas’ud menjabarkan gagasan tersebut ke dalam ranah politik, pendidikan, keberagamaan, kebangsaan, ekonomi dan sosial-budaya.

Baca Juga  Melihat Kongres Syarikat Islam 3 Maret 1913 Melalui Novel Student Hidjo

Abdurrahman Mas’ud membatasi wacana relasi kekuasaan agama dengan ilmu pengetahuan pada tataran wacana non-historis seperti tatkala Albert Einstein mencatat bahwa agama tanpa ilmu itu buta/ ilmu tanpa agama itu pincang. Selain itu, persoalan lain yang menjadi perhatian publik agaknya tak cukup hanya diungkapkan dengan membedakan pendidikan Islam di Indonesia dengan pendidikan sekuler di Amerika Serikat, tetapi justru memerlukan parameter “lokal” bagaimana Indonesia “menyempurnakan” peradabannya melalui lokalitas budaya yang berurat akar di dalamnya. Persoalan semacam bagaimana akhlak manusia Indonesia dalam berekonomi, politik, sosial-budaya menyempurnakan diri dengan agamanya, serta bagaimana “liberation”, “empowerment”, “intellectualization” bangsa menyempurna dengan agama adalah hal-hal yang harus dicarikan solusi bersama.

Dengan kata lain, tanpa mengurangi kelebihan buku ini, diperlukan analisis empiris sosial-historis bagi Abdurrahman Mas’ud agar karya-karya dan gagasannya lebih membumi (down to earth) – sekira tidak normatif. Dengan demikian, peran agama dan pendidikan agama ikut terlibat dalam memecahkan masalah bangsa semisal KKN – yang sebenarnya bisa diselesaikan dalam satu kata “akhlak” – bisa tumbuh menjadi skenario historis sehingga berbagai isu seperti “Islam Liberal, politisasi agama, politik identias, Islam Yes Partai Islam No!, dan isu-isu serupa dengannya bisa disikapi secara kritis dan tidak hanya dicukupkan dengan pernyataan “Islam sempurna, tetapi tidak dengan manusianya”.

Daftar Buku

Judul Buku       : Paradigma Islam Rahmatan Lil ‘Alamin

Penulis             : Prof. Abdurrahman Mas’ud, M.A., Ph.D

Penerbit           : IRCiSoD

Tahun Terbit   : 2021

Tebal                : 382 halaman

ISBN                : 978-623-6166-66-6

Editor: Soleh

Avatar
28 posts

About author
Direktur CRIS Foundation
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *