Kebebasan sipil di Indonesia pada masa kepemimpinan Presiden Jokowi, berdasarkan data yang dirilis Freedom House (lembaga nirlaba yang berkedudukan di Washington, Amerika Serikat, mengalami penurunan dari bebas (free) mulai tahun 2006 hingga 2013 menjadi setengah bebas (partly free) pada tahun 2014. Penurunan kebebasan sipil yang dimaksud berdasarkan data dalam freedomhouse.org terkait tiga kebebasan yaitu: kebebasan pers (freedom of the press), kebebasan berpendapat (freedom in the world), dan kebebasan dalam media sosial (freedom on the net).
HAM dan Demokrasi Era Jokowi
Beberapa hal yang menyebabkan peringkat kebebasan sipil menurun di era Joko Widodo antara lain karena penerapan UU ITE yang multitafsir, kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis, gugatan terhadap akademisi dan saksi ahli kasus korupsi, penyitaan buku komunis, pembubaran organisasi masyarakat, diskriminasi kelompok minoritas, kekerasan di Papua dan Papua Barat, serta penangkapan demonstran dan aktivis. LSM bidang hukum dan HAM Lokataru melalui Deputi Bidang Riset Mufti Makarin memilih narasi ruang kebebasan sipil semakin sempit di era Jokowi.
Pengkerdilan ruang kebebasan sipil dilakukan dalam empat isu, yaitu Papua dan pendekatan keamanan, larangan demonstrasi mahasiswa menjelang pelantikan Presiden Joko Widodo untuk periode yang kedua, pembatasan kebebasan akademik, dan pemberangusan aktivitas serikat buruh (tempo.co, 2019).
Proses pengkerdilan ruang kebebasan sipil di era Jokowi ini bukan sesuatu yang tiba-tiba. Tetapi sebagai cara pandang pemerintahan dalam melihat dan merespons tiga sektor kunci dalam demokrasi, yaitu kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul, dan kebebasan berorganisasi.
Implementasi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) oleh pemerintahan Jokowi dilakukan dengan masif. Banyak masyarakat sipil yang dijerat dengan UU ITE ini berakhir pada pemidanaan. Padahal sebenarnya UU ITE ini redaksinya masih multitafsir (pasal karet). Cenderung bisa disalahgunakan penguasa untuk membungkam lawan politiknya.
Kebebasan Sipil dan Ketakutan
Penelitian Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2019 menyatakan kebebasan sipil yang merupakan fondasi demokrasi cenderung memburuk. Temuan yang mendukung kesimpulan itu: pertama, sebanyak 43% masyarakat cenderung lebih takut berbicara soal politik. Ada kecenderungan naik jika dibandingkan tahun 2014. Saat awal masa pemerintahan Jokowi, persentase ketakutannya hanya 17%.
Kedua, sebesar 38% masyarakat ketakutan terhadap penangkapan semena-mena yang dilakukan oleh aparat hukum. Naik dibandingkan tahun 2014 yang hanya 24%. Ketiga, 21% masyarakat menyatakan takut berorganisasi. Naik dibanding 2014 yang hanya 21%. Saiful Mujani Research and Consultant (SMRC) memperkuat dengan data surveinya (juga pada tahun 2019) yang menunjukkan bahwa persentase warga yang puas pada demokrasi di Indonesia turun dari 74% di bulan April menjadi hanya 66% di bulan Mei.
Begitu juga ada peningkatan kekhawatiran signifikan dalam hal pemenuhan kebebasan dan hak-hak sipil. Salah satu yang menonjol, jika pada 2014 hanya 24% masyarakat menyatakan takut pada perlakuan semena-mena aparat hukum, pada 2019 angka ini mencapai 38%.
Sesat Pikir Polri
Beberapa waktu yang lalu menjelang pelantikan Presiden Jokowi, profesionalisme Polri dalam pemahaman substansi demokrasi terkait penanganan penyampaian pendapat di muka umum diuji. Berpijak dari pengalaman (demo besar mahasiswa di seluruh Indonesia menolak RKUHP dan revisi UU KPK serta desakan kepada presiden untuk menerbitkan perpu yang menganulir revisi UU KPK) yang berakhir rusuh hingga memakan korban jiwa, Kapolri memilih melarang demo menjelang dan saat pelantikan presiden. Hal ini dilakukan dengan dengan tidak akan menerbitkan surat tanda terima pemberitahuan (STTP) penyampaian pendapat di muka umum.
Langkah Tito Karnavian (sekarang sudah tidak menjabat kapolri karena dilantik menjadi Mendagri) yang tidak akan menerbitkan STTP unjuk rasa adalah kesalahan logika berpikir (sesat pikir). Premis umumnya menyatakan bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia. Premis khususnya ada oknum-oknum yang melakukan tindakan anarkis, perusakan, bahkan pembakaran saat demo.
Kemudian Polri melalui Kapolri Tito Karnavian melarang semua demo sebelum dan saat pelantikan presiden. Konklusi yang diambil tersebut sangat gegabah karena itu sama saja dengan mengangkangi hak warga negara menyampaikan pendapat dengan dalih diskresi.
Jaminan Kebebasan Berpendapat
Jaminan kebebasan penyampaian pendapat di muka umum adalah salah satu ciri yang paling substantif dari negara demokrasi. Hal itu sejalan dengan prinsip-prinsip negara demokrasi yang ditulis oleh Al-Maududi (1988) yang kemudian dikenal dengan istilah soko guru demokrasi.
Aparatur negara, terutama pelaksana UU seperti Polri, harus benar-benar memahami filosofi negara demokrasi. Karena mereka adalah pelaksana lapangan yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Kesalahan pemahaman tentang hak dan kewajiban warga negara dapat berakibat buruk bagi perjalanan kehidupan demokrasi di masyarakat.
Sesuai dengan Pasal 1 Ayat 3 UUD Negara Republik Indonesia, Indonesia adalah negara hukum. Segala hak, kewenangan, kewajiban, dan larangan disandarkan pada hukum. Aparat tidak bisa atas nama negara melakukan tindakan-tindakan yang tidak diatur dalam undang-undang dan melanggar hak-hak asasi manusia yang jelas dijamin dalam konstitusi.
Seperti halnya juga dalam penyampaian pendapat, berserikat, dan berkumpul telah jelas dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28E Ayat 3 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Tap MPR Nomor XVII/MPR/1998 Pasal 19 juga menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Kebebasan menyampaikan pendapat secara internasional juga diatur dalam Universal Declaration of Human Rights Pasal 19 yang berbunyi “Everyone has the right to freedom of opinion and expression, this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers”.
UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum pada poin menimbang sudah jelas menyatakan:
a. bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia;
b. bahwa kemerdekaan setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum merupakan perwujudan demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
c. bahwa untuk membangun negara demokrasi yang menyelenggarakan keadilan sosial dan menjamin hak asasi manusia diperlukan adanya suasana yang aman, tertib, dan damai.
Pentingnya Literasi Hukum
Literasi hukum tentang negara demokrasi terutama pemahaman tentang pengertian, prinsip, fungsi, tata aturan, serta hak dan kewajiban warga negara dan aparatur negara sebagai subjek pelaku demokrasi mendesak untuk dipahami ulang dengan saksama. Kita sebagai warga negara yang berpendidikan harus berani mengingatkan pemerintah tentang hak dasar warga negara yang harus dilindungi dan difasilitasi tanpa diskresi.
Negara semestinya bertanggung jawab untuk bisa menciptakan atau membangun iklim dan ekosistem penyampaian pendapat di muka umum secara damai. Tidak hanya berhenti di imbauan tetapi juga harus sampai pada penyiapan infrastrukturnya. Negara harus memberi ruang yang cukup (ditinjau dari segi tempat, waktu, dan psikologis) demi terjaminnya keamanan dan kenyamanan proses penyampaian pendapat di muka umum.
Adanya gejolak masyarakat yang diekspresikan dengan demo yang serentak dan masif di seluruh Indonesia harus benar-benar ditangkap negara (presiden) dan wakil rakyat (DPR) sebagai warning dari rakyat bahwa ada dua hal yang masih bermasalah. Pertama, terjadi distorsi atau gangguan saluran komunikasi antara rakyat dengan negara dan DPR sehingga apa yang disuarakan negara dan DPR dalam implementasi kebijakan bernegara tidak sejalan dengan suara warga negara.
Kedua, filosofi fungsi negara (presiden) untuk menyejahterakan rakyat dan Polri (aparatur negara) untuk melindungi dan mengayomi masyarakat, serta DPR sebagai wakil rakyat patut dipertanyakan lagi. Karena yang terjadi ternyata adalah oligarki kekuasaan, bagi-bagi kursi, dan deal-deal yang bermuara pada hasrat kekuasaan.
***
Presiden dan DPR harus selalu ingat bahwa mereka diberi mandat oleh rakyat lewat pemilu. Mereka jangan sekali-sekali meninggalkan kata hati rakyat dengan mengumbar syahwat kekuasaannya apalagi hingga mengangkangi hak dasar rakyat. Karena kalau itu yang terjadi, rakyat pasti berontak.
Kita harus belajar banyak dari tumbangnya Soeharto dan falsafah kebangsaan yang sudah diwariskan para negarawan founding father kita. Kita besar bukan pemberian para penjajah tetapi kita besar karena perjuangan akan nilai-nilai kebangsaan.
Editor: Nabhan