Di masa lalu perang merupakan kegiatan yang dapat memakmurkan suatu bangsa dan kekuatan politik. Aset ekonomi yang kebanyakan bersifat material mungkin menjadi faktor utama yang membuat imperium-imperium tergoda untuk mendatangi suatu wilayah.
Keinginan untuk menjarah telah memotivasi berbagai imperium untuk mengembangkan para pelaut ulung. Pelaut yang paham arah mata angin, tentara-tentara yang haus darah, dan mesin-mesin pembunuh yang dipercanggih. Serta kapal-kapal yang tahan banting pada badai di lautan lepas.
Pada tahun 1519 Hernan Cortez berserta pasukan penakluknya dari Spanyol menginvasi Meksiko. Kedatangan mereka ke sana bukan untuk berlibur menonton tarian Jarabe Tapatio atau La Conquista yang eksotis. Melainkan untuk menjarah emas, yang pada waktu itu, suku Aztec tidak begitu mempedulikan logam berwarna kuning tersebut.
Tidak jauh berbeda dengan Cortez, orang-orang Portugis pun datang ke kepulauan Nusantara. Bukan semata-mata senja di pantai Ancol begitu memukau, namun karena Alfonso de Albuquerque tahu betul rempah-rempah kala itu merupakan komoditas yang setara dengan emas.
Pada abad ke-18, dengan jas yang bergerak-gerak tertiup angin, mata berbinar penuh suka cita, lambaian tangan dari penduduk pesisir pantai dan sang Raja Inggris, memulai perjalan Kapten James Cook bertolak ke Australia dan Selandia Baru.
Kedatangan pelaut Inggris itu merupakan awal mimpi buruk bagi Aborigin Australia dan Maori Selandia Baru yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Satu abad setelah invasi Cook, para pemukim Eropa mendesak pribumi Tasmania keluar dari daerah-daerah yang paling kaya di pulau tersebut.
Tidak hanya menjarah kekayaan emas, rempah, dan kota, para penakluk dari Eropa juga mengimpor jutaan budak Afrika untuk bekerja sebagai kuli kasar di pertambangan minyak di California, peternakan sapi di Texas dan perkebunan jagung di Indiana.
Punahnya Model Perang “Klasik”
Beruntung pada tanggal 31 Januari 1865, Abraham Lincoln dikenang sebagai pejuang demokrasi yang menghentikan praktik perbudakan di Amerika. Namun, warisan praktik perbudakan berupa rasisme begitu terasa—setidaknya—hingga sekarang.
Kemenangan atas perang bisa mendapatkan harta kekayaan dengan menjarah kota-kota jajahan, menjual warga sipil yang tidak bersenjata di pasar budak, dan menduduki ladang gandum, lumbung padi, perkebunan kopi dan tambang emas.
Menurut Yuval Noah Harari, pada tahun 1914 saat dimulainya Perang Dunia Pertama, perang memiliki daya tarik yang besar karena negara-negara di dunia memiliki banyak justifikasi historis. Tentang bagaimana perang berkontribusi pada kemakmuran ekonomi dan kekuatan politik. Akan tetapi, kata Yuval, pada abad ke-21 perang jenis ini mungkin telah punah.
Perang di Abad 21: Bukan Untung, Tapi Buntung
Perubahan dalam teknologi militer dalam beberapa dekade terakhir ini, mungkin menjadi penyebab perang era sekarang berbeda dengan zaman para penakluk dulu. Dahulu, perang merupakan kegiatan yang rendah kerusakan dengan keuntungan yang besar.
Namun sekarang, perang hanya akan menyebabkan kerusakan yang parah dengan keuntungan yang kecil. Bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, bukan hanya menandai berakhirnya Perang Dunia Kedua. Namun juga menyadarkan umat manusia kalau bom semacam itu akan menjadi tali gantung bunuh diri bersama.
Di masa sekitar 14 abad yang lalu, tentara muslim yang dipimpin Khalid bin Walid, bisa menaklukan benteng Romawi. Tanpa sedikit pun takut rudal balistik yang dikirim dari Byzantium Timur menghantam jantung kota Madinah.
Invasi Dinasti Qing pada musim dingin tahun 1636 ke Dinasti Joseon yang berlokasi di Korea, juga tidak akan sampai membahayakan kepala Huang Taiji yang sedang duduk manis sambil meminum arak di istananya dengan roket yang ditembakan dari atas drone.
Bahkan menurut Yuval, masa-masa George W. Bush, Amerika Serikat dapat membawa dewa kehancuran ke Baghdad pada tahun 2003. Sementara, Sadam Husein tidak punya sarana untuk mendatangkan malapetaka di Washington.
Di lain sisi, Alexander yang Agung atau Shalahuddin al-Ayubi akan menyerang wilayah asing tanpa pikir panjang. Para pemimpin negara saat ini, seperti Recep Tayyip Erdogan atau Vladimir Putin, kadang hobi menunjukkan kekuatan militer. Untuk sekadar menghibur warga sebangsanya.
Tetapi mereka sangat hati-hati tentang benar-benar meluncurkan perang. Mereka nampaknya tahu persis, perang di era sekarang benar-benar hanya akan menyisakan kerugian yang sangat besar, bahkan mungkin tanpa keuntungan sekali pun.
Perang Dunia Ketiga: Kiamat Made in Human
Mari kita bayangkan, bila perang-siber benar-benar meletus, maka perang itu bisa dibawa ke Xiamen atau Shanghai dalam beberapa menit. Para Hacker Israel atau Amerika Serikat mungkin bisa dengan mudah mematikan aliran listrik di Hangzhou, menghentikan lalu lintas udara di Hong Kong, menyebabkan kereta saling bertabrakan di Yi Wu, dan mengotak-atik lampu lalu lintas di Beijing.
Melihat kawan dekatnya diluluhlantakkan Amerika, Rusia mungkin akan diam begitu saja. Bila perang jenis ini terjadi, ini merupakan kesempatan emas bagi kita menyaksikan kiamat yang sedang diciptakan manusia sendiri.
Pada awal tahun 2020, publik dunia mengalami kepanikan yang luar biasa setelah Jenderal pasukan elit Iran, Qassem Soleimani, dibunuh dengan senjata canggih tanpa awak atas permintaan Presiden Donald Trump.
Tiga hari setelah masa berkabung, Iran membalas dendam dengan menembakkan serangkaian rudal balistik di dua pangkalan Irak yang menampung pasukan AS dan memperingatkan AS serta sekutunya di wilayah tersebut untuk tidak membalas.
Kebetulan atau tidak, aksi saling serang Amerika dengan Iran ini, seperti nostalgia percikan api Perang Dunia I dan II. Pemicu Perang Dunia Pertama ditandai dari terbunuhnya Pangeran Franz Ferdinand dari Austria-Hongaria di Sarajevo pada bulan Juni 1914 oleh Gavrilo Princip yang merupakan anggota Tangan Hitam, kelompok nasionalis Serbia. Sementara Perang Dunia Kedua dipicu oleh serangan angkatan udara Jepang terhadap pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbour, 7 Desember 1941.
Meletus tidaknya Perang Dunia, tidak ada yang bisa memastikan. Semuanya serba mungkin. Sebagai bagian dari warga Bumi, saya berharap Perang Dunia Ketiga tidak benar-benar meletus. Karena seperti yang telah dipaparkan di atas, perang era ini akan benar-benar menjadi kiamat “made in human”.
.