Salah satu yang menjadi persoalan kampus Islam dalam pengembangan kapasitas akademik mahasiswa ialah pada mata kuliah Islamic Studies. Pasalnya baik dosen maupun mahasiswa mengeluhkan hal yang sama. Dosen mengeluhkan kesulitannya untuk mengajarkan studi Islam yang sifatnya abstrak dan filosofis. Sebaliknya, mahasiswa mengeluhkan sulitnya untuk menangkap materi yang diajarkan lantaran terlalu ‘njlimet’.
Artikel ini merupakan hasil dari riset kecil-kecilan yang saya buat melalui evaluasi pembelajaran dalam mata kuliah epistemologi Islam yang saya ampu pada ujian praktik mengajar beberapa waktu lalu.
Sebagai contoh dalam materi Bayani, Irfani, dan Burhani Al-Jabiri. Klasifikasi tiga kategori nalar keislaman yang telah digagas oleh Al-Jabiri tersebut merupakan fondasi yang mendasari kebanyakan pengembangan kajian dalam studi Islam. Sayangnya sampai sekarang wacana ini tidak terdesiminasi dengan baik dan masif di kalangan mahasiswa.
Dalam hemat saya, terdapat tiga tantangan bagi kampus saat ini; pertama, generation-gap antara dosen dan mahasiswa yang menuntut dosen untuk lebih adaptif dalam menjadi fasilitator di kelas. Kedua, persoalan demografis generasi sebagai penyebab sulitnya mahasiswa untuk menangkap materi yang bersifat wacana dan pemikiran. Ketiga, perlunya pembenahan budaya belajar di kampus.
Generation-Gap antara Dosen dan Mahasiswa
Saya akan mulai dengan membincangkan dari perspektif dosen. Terutama dalam materi yang menyangkut masalah filosofis pada dasarnya membutuhkan banyak instrumen dan literatur yang. Maka tak jarang diksi serta frasa yang digunakan dalam menjelaskan akan lebih banyak menggunakan bahasa asing dan ilmiah, disinilah persoalan yang dihadapi mahasiswa.
Generation-gap menurut saya menjadi istilah yang paling tepat untuk menggambarkan situasi ini. Kesenjangan tersebut disebabkan perbedaan perilaku, opini, perspektif, bahkan nilai-nilai yang dianut pada suatu generasi. Kesenjangan generasi kerap memicu semacam cross-cutting perspective antara dosen dan mahasiswa. Bahkan tak jarang generation-gap menjadi semacam ‘konflik’ antar generasi.
Contohnya babyboomers melihat millennials sebagai generasi yang suka mengeluh, selanjutnya milenials memandang generasi z sebagai generasi yang lemah dan lebay. Saya sering menjumpai keluhan dari kawan sejawat yang sedang menjadi dosen maupun asisten dosen, “susah banget ngajak mahasiswa sekarang ini biar bisa diskusi.” kurang-lebih seperti itulah pandangan mereka terhadap mahasiswa zaman sekarang.
Kebanyakan dosen mengalami kesulitan untuk mampu menjelaskan konsep-konsep filosofis kepada mahasiswa. Di sisi yang lain mahasiswa merasa bahwa pembahasan yang disampaikan terlalu ndaqiq-ndaqiq (dalam dan mengawang). Pada akhirnya, situasi ini hanya menimbulkan ‘penghakiman’ antara dosen ke mahasiswa atau sebaliknya.
Dosen dianggap tidak dapat menyampaikan materi oleh mahasiswanya. Mahasiswa dianggap tidak cukup mampu untuk sampai pada taraf pemahaman tertentu oleh dosennya. Menurut saya, persoalan ini hanya mampu diselesaikan ketika dosen memahami bahwa terdapat perubahan dan perbedaan kondisi sosio-kultur pada masa ia berkuliah dengan kondisi mahasiswa zaman sekarang.
Problem Demografis Mahasiswa Hari Ini
Selanjutnya perlu juga kita mengambil sudut pandang mahasiswa. Sebenarnya kesulitan yang dihadapi mahasiswa dalam menangkap materi yang bersifat filosofis tidak semata-mata karena problem individual. Faktor perkembangan teknologi dan pergeseran budaya menjadi penyebab yang tak bisa ditampik.
Fenomena generation-gap antara mahasiswa dan dosen disebabkan oleh tiga hal; pertama, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Perkembangan tersebut membawa perubahan konsep pertemanan, keluarga, dan pola interaksi lainnya sehingga terjadi pergeseran nilai dalam interaksi khususnya antara dosen dan mahasiswa.
Kedua, berangkat dari perkembangan teknologi, gadget pada gilirannya menjadi barang kebutuhan sehari-hari dan social media menjadi sesuatu yang tak bisa dilepaskan dari itu. Hal ini dapat dibuktikan dengan laporan yang dirilis oleh We Are Social yang berjudul “Digital 2024: The Essential Guide to The World’s Connected Behaviours”. Laporan tersebut menunjukkan bahwa rata-rata masyarakat Indonesia yang berusia 16 sampai 64 tahun menghabiskan 3 jam 11 menit dalam sehari untuk berselancar di sosial media.
Ketiga, informasi yang mampu diakses dengan mudah dan instan pada akhirnya menjadi ‘banjir informasi’. Tak jarang hal tersebut mengakibatkan merebaknya hoaks, terjadinya disinformasi dan misinformasi, dan masalah lainnya. Problem ini disebut juga sebagai infodemic.
Orientasi lalu-lintas informasi di sosial media tak lain hanya bersifat komersil. Personalisasi yang dilakukan sistem diperuntukkan agar terbentuknya segmentasi audiens yang spesifik sehingga memudahkan advertisement pemasaran produk para pelaku usaha.
Informasi yang bertebaran di sosial media tidak melalui editorialisasi sehingga wajar kemudian hoaks dan misinformasi mudah menyebar. Seringnya berselancar di sosial media mempersempit persepektif kita. Karena informasi yang disajikan hanya berdasarkan preferensi, sosial media tidak memberikan informasi yang kita ‘butuhkan’ tapi yang kita ‘inginkan’.
Situasi ini kemudian diperparah dengan fakta mengenai rendahnya tingkat literasi generasi muda kita. Wajar kemudian jika mahasiswa hari ini sulit untuk diajarkan berpikir secara abstrak dan konseptual. Karena kondisi sosio-kultur yang mereka hadapi serta lingkungan yang ada di sekitar mereka hanya mendorongnya untuk berbicara dan berpikir secara faktual.
Dengan demikian permasalahan tersebut bersifat multi-faktor, maka dapat kita simpulkan bahwa hal ini merupakan persoalan yang sifatnya demografis. Perlu dipahami oleh mahasiswa, studi Islam pada dasarnya menuntut kita agar mampu berpikir konseptual dan melakukan abstraksi. Istilah-istilah asing dan ilmiah juga tak bisa untuk dihindari.
Perlu Pembaruan Budaya Belajar
Jika diperhatikan dewasa kini pengembangan keilmuan Islam masih memiliki persoalan yang perlu diselesaikan; pertama, dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama secara diametral menghambat terbukanya pintu ijtihad terutama dalam studi Islam.
Kedua, dominasi pendekatan bayani (tekstual) yang cenderung pada taqdiisu-l-afkar ad-diniyyah (pensakralan pemikiran keagamaan) membuat peradaban Islam tidak mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan prinsip serta nilai-nilai keislaman. Ketiga, kompleksitas problem keislaman secara empirik belum memungkinkan untuk diselesaikan lantaran perangkat ilmu pengetahuan baik secara bangunan paradigma hingga pada kerangka metodologi belum cukup mumpuni.
Dominasi paradigma ilmu pengetahuan modern yang membatasi pengembangan ilmu hanya melalui penalaran rasional dan empiris pada gilirannya menjadi tantangan tersendiri bagi lembaga pendidikan tinggi untuk lebih mengenalkan Islamic Studies.
Kampus perlu membuka diri dan beradaptasi dengan perkembangan zaman beserta kondisi sosio-kultur yang berubah. Jangan sampai pemeringkatan, akreditasi, dan semua instrumen tersebut justru membuat kampus abai terhadap pemberdayaan kapasitas mahasiswanya. Pengembangan kurikulum, bahan ajar, serta metodologi dalam studi Islam harus digarap lebih serius. Bahkan jangan sampai ada kampus Islam yang tidak mengajarkan pengantar studi Islam dalam silabusnya.
Dosen dituntut agar dapat memahami ‘dunia’ generasi mahasiswa hari ini seperti apa? Bagaimana cara mereka memandang ‘dunia’ nya? Apa yang mereka butuhkan? Permasalahan apa yang mereka hadapi? Sehingga pada gilirannya, pendekatan yang digunakan dalam mengajar mampu disesuaikan dengan karakter mereka.
Mahasiswa harus paham bahwa dirinya di dalam kelas merupakan subjek yang belajar, sehingga ketika terdapat hal-hal yang sulit untuk dipahami ia mampu untuk melakukan eksplorasi secara mandiri dan diskursus di dalam kelas memungkinkan untuk tercipta. Ketimbang saling ‘menghakimi’, mulailah mencoba untuk saling ‘memahami’.
Editor: Soleh