Tafsir

Al-Quran Tidak Menempatkan Perempuan Lebih Rendah Dibanding Laki-laki

4 Mins read

Apakah Al-Quran menempatkan perempuan lebih rendah dibanding laki-laki? QS. An-Nisa’ (4) ayat 34 kerap kali dijadikan sebagai basis argumen penguatan supremasi bahwasanya kaum laki-laki lebih superior dari kaum perempuan. Sehingga kaum perempuan mengalami berbagai macam ketidakadilan seperti pelabelan negatif, subrodinasi, marginalisasi, beban ganda, dan kekerasan.

Al-Quran Menempatkan Perempuan Lebih Rendah Dibanding Laki-laki?

Terhadap kata qawwamun, semua mufasir masa klasik maupun modern mengartikannya sebagai pemimpin, penanggung jawab, penguasa, pelindung dan yang sejenisnya. Seperti Al-Zamakhsyari, Fakhr Al-Din Razi, pemikir besar Sunni, danMuhammad Al-Tahir Ibn Ashur, pemikir dengan predikat Al-‘Allamah, Al-Imam Al-Shaykh juga menganut pandangan yang sama dengan para ulama sebelumnya yang menyatakan kesuperioritasan laki-laki atas perempuan.

Argumen yang dikemukakan untuk tugas kepemimpinan laki-laki atas perempuan ini, menurut ayat tersebut adalah karena laki-laki memiliki kelebihan dibandingkan perempuan. Buya Hamka dalam kitab tafsirnya, Al-Azhar, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kelebihan dalam ayat tersebut adalah perihal tenaga dan kecerdasan.

Perlu digarisbawahi di sini bahwasanya ajaran agama dan pemahaman agama adalah dua hal yang berbeda. Ajaran agama berasal dari wahyu oleh karenanya bersifat absolut. Sedangkan pemahaman agama berasal dari penalaran manusia terhadap wahyu dan karenanya bersifat nisbi, relatif, dan bisa diubah untuk kemaslahatan. Sederhananya nash—Al-Qur’an dan hadis—adalah ajaran agama yang statis, sedangkan pemahaman akan nash adalah ajaran agama yang dinamis. Pemahaman yang menempatkan perempuan lebih rendah dibanding laki-laki sendiri ada dalam ranah penalaran manusia.

Reading as Women

Hal lainnya yang perlu dicatat adalah kenyataan bahwa metodologi yang tepat tidaklah mesti menjamin sebuah kesimpulan yang obyektif, karena cara pandang para mufasir dalam banyak hal akan berpengeruh terhadap penafsiran mereka.

Maka, dalam tulisan sederhana ini penulis berusaha untuk menyajikan analisis QS. An-Nisa’: 34 menggunakan metode linguistik dengan suatu konsep yang disebut dengan reading as women. Konsep tersebut memandang teks dengan kesadaran khusus yakni kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, teks dan kehidupan.

Baca Juga  Al-Adaby al-Ijtima'i: Model Tafsir Muhammad Abduh

Dengan mempertimbangkan hal ini, maka perwujudan-perwujudan penafsiran tersebut didasarkan pada suatu horizon penerimaan atau horizon harapan penafsir yang dengan partisipasi aktifnya ayat Al-Qur’an yang membicarakan tentang perempuan dapat hidup.

Membaca Kembali QS. An-Nisa’: 34

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”

Dalam salah satu riwayat dari Sayyidah ‘Aisyah, Surat An-Nisa’ termasuk golongan surat Madaniyyah, surat ini diturunkan setelah beliau mulai serumah dengan Rasulullah Saw. Adapun topik yang dibicarakan dalam surat ini meliputi: pembagian waris, hukum nikah, siapa saja perempuan yang disebutkan mahram yang tidak boleh dinikahi, apa kewajian laki-laki dan perempuan terhadap satu dengan lainnya. Selain itu juga membahas perihal orang-orang munafik, dasar-dasar pendirian suatu pemerintah yang adil, perang uhud serta cara mengerjakan salat ketika dalam keadaan perang.

Sedangkan, sebab nuzul ayat ini menurut suatu riwayat berkenaan dengan Sa’ad bin Rabi’ bin Amr yang berselisih dengan istrinya, Habibah binti Zaid bin Abu Zuhair. Suatu ketika Habibah, menyanggah (nusyuz) kepada Sa’ad, lalu Sa’ad menempeleng muka Habibah. Habibah mengadukan hal tersebut pada Rasulullah, serta merta Rasulullah memintanya untuk membalas pukulan suaminya itu. Dari jalan riwayat ini, dapat dilihat bahwa Rasulullah sendiri secara pribadi tidaklah menyukai tindakan memukul istri, bahkan disuruhnya istri membalas.

Baca Juga  Mengenal Tafsir Al-Burhan fi Taujih Mutasyabih Al-Qur’an Karya al-Kirmani

Namun, hal tersebut ternyata memicu keributan di antara laki-laki. Maka, Nabi menantikan wahyu, lantas beliau besabda, “Saya menghendaki satu cara, namun Allah menghendaki cara lain, maka kehendak Allah-lah yang lebih baik.

Al-Quran Tidak Menempatkan Perempuan Lebih Rendah Dibanding Laki-laki

Dari sebab nuzul ayat tersebut dapat dilihat di sini, bahwa prinsip keadilan itu diperhalus sesuai kondisi empiris yang dihadapi umat. Di mana pada masa itu masyarakat Arab adalah masyarakat yang didominasi oleh laki-laki. Membaca Al-Qur’an secara komprehensif dan tidak mengabaikan realitas empiris (konteks praktek-praktek jahiliyah), akan memperlihatkan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an tidak lebih dari sekadar revolusioner.

Lafal ar-rijal sebagai bentuk jamak dari rajul berasa dari kata ra-ja-la yang derivasinya membentuk beberapa kata, seperti rajala (mengikat), rajila (berjalan kaki), ar-rijl (telapak kaki), ar-rijlah (tumbuh-tumbuhan) dan ar-rajul (laki-laki). Ibn Manzhur memaknai kata ar-rajul sebagai laki-laki yang sudah dewasa yaitu sesudah anak-anak (fawq al-ghulam).

Dalam Tafsir al-Jalalayn pun, kata min rijalikum ditafsirkan sebagai laki-laki muslim yang akil balig dan merdeka. Sedangkan Al-Qur’an sendiri menyebut kata ar-rajul dengan segala bentuknya sebanyak 59 kali. Dalam penggunaan qur’ani ini, kita mendapati bahwa Al-Qur’an menggunakan kata ar-rajul dengan bebrapa pengertian.

Pertama, gender laki-laki seperti di dalam QS. Al-Baqarah: 228 dan 282. Kedua, merujuk pada nabi dan rasul, seperti di dalam QS. Al-Anbiya>’: 7. Ketiga, Al-Qur’an menggunakannya untuk menyebut tokoh masyarakat dalam QS. Al-A’raf: 49 dan QS. Ya>si>n: 20. Keempat, lafal ar-rajul digunakan dalam QS. Az-Zumar: 29 untuk menunjuk budak.

Dari penelusuran ayat-ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwasanya term ar-rijal sebagai bentuk plural dari ar-rajul digunakan untuk menggambarkan kualitas moral seseorang. Kata ar-rajul menuntut sejumlah kriteria tertentu, bukan hanya mengacu pada jenis kelamin, melainkan juga kualifikasi budaya tertentu, terutama sifat-sifat kejantanan. Kata ar-rajul di dalam Al-Qur’an pun tidak digunakan untuk spesies lain selain manusia.

Baca Juga  Surat Al-Waqiah: Kaitan Hari Kiamat dengan Rezeki

Laki-laki Tidak Selalu menjadi Pemimpin Kaum Perempuan

Selanjutnya lafal qawwamun. Lafal qawwamun adalah bentuk jamak dari kata qawwam, yang terambil dari kata qama. Seseorang yang melaksanakan tugas atau apa yang diharapkan darinya disebut qa’im. Kalau dia melaksanakan tugas itu sesempurna mungkin, berkesinambungan dan berulang-ulang, dia dinamai qawwam.

Maka, mengartikan qawwamun sebagai pemimpin agaknya belum menggambarkan makna secara keseluruhan, walau harus diakui bahwasanya kepemimpinan merupakan salah satu aspek yang dikandungnya. Atau dengan kata lain dalam pengertian kepemimpinan tercakup pemenuhan kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan dan pembinaan.

Dengan demikian, hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam ayat ini ditetapkan berdasarkan dua hal, yakni “pelebihan” seperti apa yang diberikan dan “apa yang mereka belanjakan dari harta mereka (untuk menafkahi perempuan)”. Apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka laki-laki tidak qawwam atas perempuan.

Terlepas dari hal itu, perhatian utama ayat ini menurut hemat penulis adalah kebaikan bersama menyangkut hubungan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Baik laki-laki maupun perempuan adalah anggota dari institusi terpenting masyarakat, yakni keluarga. Keluarga dimulai dari perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Di dalam keluarga, tiap-tiap anggota mempunyai tanggung jawab tertentu. Dan berdasarkan alasan biologis yang jelas, tanggung jawab utama perempuan adalah melahirkan anak.

Sementara tanggung jawab ini tidak bisa diganggu gugat karena berkenaan dengan fungsi biologisnya, sangat jelas dan penting, lalu apa tanggung jawab laki-laki di dalam keluarga dan masyarakat secara lebih umum? Demi keseimbangan dan keadilan penciptaan dan untuk menghindari penindasan, kewajiban laki-laki harus sama pentingnya bagi kelestarian ras manusia. Al-Qur’an menegaskan kewajiban laki-laki sebagai qiwaamah: menjaga agar perempuan tidak terbebani kewajiban tambahan yang dapat membahayakan kewajiban utamanya yang berat dan hanya dapat dipenuhi olehnya.

Editor: Nabhan

Related posts
Tafsir

Tafsir at-Tanwir: Relasi Antar Umat Beragama

4 Mins read
Relasi antar umat beragama merupakan diskursus yang selalu menarik untuk dikaji. Khususnya di negara kita, hubungan antar umat beragama mengalami pasang surut….
Tafsir

Puasa itu Alamiah bagi Manusia: Menilik Kembali Kata Kutiba pada Surah Al-Baqarah 183

3 Mins read
Salah satu ayat yang amat ikonik tatkala Ramadhan tiba adalah Surah Al-Baqarah ayat 183. Kendati pernyataan itu terbilang asumtif, sebab saya pribadi…
Tafsir

Surah Al-Alaq Ayat 1-5: Perintah Tuhan untuk Membaca

2 Mins read
Dewasa ini, masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, tampaknya memiliki minat baca yang sangat rendah. Tidak mengherankan jika banyak orang terpengaruh oleh banyak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *