IBTimes.ID, Hotel Arosa, Jakarta, Selasa, 19 Juli 2022 – Semakin memburuk atau membaiknya regresi demokrasi di Indonesia tergantung pada bagaimana kita menyikapinya. Upaya untuk memperbaiki demokrasi yang sedang mundur dapat dilakukan melalui jalur institusional, ruang publik, kepartaian, hingga keadilan hukum. Namun ketika semua hal tersebut menunjukkan indikasi pada kecenderungan tertentu, maka harapan lain dari situasi ini adalah penguatan masyarakat sipil.
Berkaca dari kaleidoskop demokrasi di Indonesia selama dua puluh tahun terakhir, faktor-faktor yang disebutkan di atas sebenarnya terjadi secara historis. Pada permulaan milenium, atau era pasca-Reformasi, Indonesia mewarisi jejaring lama oligarki yang telah mereorganisasi diri. Di tingkat sipil, umat Islam mengalami musim semi. Organisasi-organisasi Islam tumbuh sebagai dampak dari perluasan hak berkumpul dan berserikat yang dulu terepresi di rezim Orde Baru.
Pertumbuhan ekonomi dari program pembangunan di masa Orde Baru juga telah menciptakan kelas menengah muslim pada intensitas yang memikat bagi pelaku politik, yang selanjutnya di masa depan akan digunakan dalam politik identitas. Di era pasca-Reformasi jugalah, sebagaimana yang dijelaskan oleh Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, “gerakan perempuan bersemi dari pengalaman kelam tragedi 1998 yang banyak menelan korban perkosaan, khususnya di kalangan perempuan-perempuan Tionghoa.”
Dinamika lanjutan dari warisan-warisan tersebut muncul secara mencolok pada momen elektoral di tahun 2019, dalam bentuk permainan sentimen agama, baik untuk menyerang kompetitor calon presiden, ideologi tertentu, ataupun wacana perempuan progresif yang dinilai melampaui doktrin-doktrin salah satu agama. Yang paling mendasar pada tahun 2019 adalah, terjadinya sedimentasi emosi dan polarisasi di lubuk pemilih.
Di tengah aneka tantangan tersebut, Khorunnisa Nur Agustyati melihat, “setidaknya intitusi elektoral di Indonesia telah cukup mapan dengan adanya mandat konstitusional bahwa penyelenggara pemilu haruslah independen. Selain itu, isu partai politik di Indonesia juga penting. Partai politik jelas membutuhkan uang, namun klientilisme antar tokoh dan antar parpol harus jadi kekhawatiran bersama.”
***
Khoirunnisa juga melihat, “selain potensi retas muncul dari klientilisme, yang umumnya terjadi secara desentralis, potensi retas juga muncul dari gerakan-gerakan ekstra-parlementer hasil dari pantikan emosi dan polarisasi massa.” Demonstrasi sekelompok massa di depan Bawaslu pada tahun 2019 lalu adalah salah satu contoh ikonik bagaimana populisme bisa menjadi jalur alternatif untuk meretas demokrasi. “Tren populisme dan kemunduran demokrasi,” kata William J. Dobson, “terjadi di mana-mana.” “Filipina baru-baru ini memenangkan pemimpin dari keluarga diktator lama.”
Akan tetapi, pekerjaan rumah yang sebenarnya dekat di kehidupan sehari-hari berada pada masalah keterwakilan perempuan dalam parlemen. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Siti Aminah Tardi, “mandat keterwakilan perempuan memang sudah ada, meskipun implementasinya masih meninggalkan catatan.” Perempuan mungkin telah diberikan kuota, namun sejauh apa perspektif mereka memengaruhi corak kebijakan yang dibuat. Beberapa studi misalnya menunjukkan, meskipun perempuan sudah terwakil diparlemen, namun sering kali mereka mengulang kebijakan yang bercorak patriarkal.
Berkaca pada tantangan-tantangan tersebut, Direktur Politik dan Komunikasi Bappenas, Wariki Sutikno mengajukan empat rekomendasi atas situasi yang dihadapi. Pertama, penataan regulasi agar demokrasi beserta institusi ataupun upacara penopangnya dapat dikelola sesuai dengan prinsip-prinsip mendasar. Kedua, penataan biaya politik. “Biaya politik di Indonesia saat ini terlalu tinggi. Hal ini tidak boleh diteruskan ke generasi penerus kita. Anggaran untuk parpol dari APBN kita kurang dari 6 triliun. Ini kecil sekali,” kata Wariki.
Ketiga, penguatan pengawasan. “Integritas pengawasan dengan Bawaslu senantiasa dipertahankan. Pengawasan bukan hanya di Bawaslu, bukan hanya di Pemilu, namun di kegiatan sehari-hari. Peran pelayanan CSO dan independensi jurnalis (pers) juga turut menjaga keberlangsungan demokrasi. UU Pendanaan Abadi CSO,” jelas Wariki. Keempat, penguatan pendidikan politik integratif yang melibatkan beragam pihak, khususnya untuk menyemai kesadaran memilih (voting) dan etika berdemokrasi.
Reporter: Ayunda N. Fikri & Tim INFID
Editor: Yahya FR