Opini

Apakah Korupsi Jadi Cerminan Sikap Pragmatisme Masyarakat Indonesia?

3 Mins read

Publik kembali terperangah dengan peristiwa Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap salah satu pejabat negara, yaitu Wakil Menteri Tenaga Kerja Immanuel Ebenezer, yang diduga menyalahgunakan kewenangan untuk memperkaya diri melalui tuduhan pemerasan dalam proses penerbitan sertifikat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Kasus korupsi seolah tak pernah habis, terus terungkap, dan menghiasi berita serta ruang media sosial di Indonesia. Sebagai bentuk penyelewengan kekuasaan (abuse of power), korupsi harus diperangi dan ditumpas hingga ke akarnya karena menghambat pembangunan ekonomi Indonesia. Melihat maraknya fenomena korupsi di Indonesia, penulis menyebutnya sebagai gejala atau simbol pragmatisme kolektif. Tulisan singkat ini bertujuan untuk mengurai fenomena korupsi dari sudut pandang pragmatis.

Pragmatisme Kolektif dalam Korupsi

Sebagai makhluk sosial, manusia sering bersikap pragmatis dalam kehidupannya. Pragmatisme, secara singkat, dimaknai sebagai tindakan situasional dan jangka pendek dalam merespons suatu keadaan atau peluang. Realitasnya, rentetan peristiwa atau kasus yang terjadi sering kali diamplifikasi atau diimitasi oleh peristiwa serupa. Gejala inilah yang disebut sebagai pragmatisme kolektif. Budaya korupsi di Indonesia merupakan simbol nyata pragmatisme kolektif yang akan terus berlangsung selama efek hukuman terhadap perilaku korupsi tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak pejabat publik. Atau birokrat yang korup hanya dikenai hukuman ringan atau tidak setimpal dengan kerugian yang ditimbulkan. Sehingga seolah-olah korupsi bukanlah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang membahayakan.

Sikap pragmatis yang dilakukan kolektif dalam perilaku korupsi muncul dari persepsi umum bahwa korupsi bukan lagi hal yang memalukan, amoral, menyimpang secara sosial, atau anomali kepribadian. Contoh sederhana adalah eksposur wajah para pelaku korupsi oleh KPK atau di persidangan hukum. Yang sering kali menunjukkan ekspresi tersenyum sumringah seolah tidak bersalah. Serta gestur tubuh yang tidak mencerminkan penyesalan atas penyelewengan kewenangan sebagai pejabat publik.

Baca Juga  Ketika Agama Jadi Bencana Kemanusiaan

Budaya korupsi lahir dari simbol pragmatisme kolektif masyarakat atau komunitas sosial yang menganggap korupsi sebagai hal biasa. Efek hukuman yang belum cukup preventif dan kuratif semakin memperparah budaya korupsi. Di negara lain, seperti Jepang, pejabat yang terlibat korupsi biasanya mengundurkan diri setelah kasusnya terungkap, sebuah tindakan yang sangat langka di Indonesia. Hal ini diperparah oleh konsekuensi hukuman ringan yang tidak memberikan efek jera.

Menurut penulis, budaya korupsi sebagai penyakit sosial tidak akan berkurang atau hilang tanpa adanya gerakan bersama (collective action) dari masyarakat untuk terus menyuarakan bahaya korupsi. Sambil mendorong pemerintah menegakkan hukum tanpa pandang bulu pada setiap perkara korupsi. Korupsi harus terus dikampanyekan sebagai tindakan menyimpang, dan diperlukan upaya bersama untuk mencegah serta menghapus budaya korupsi. Para akademisi menilai bahwa kegagalan gerakan antikorupsi disebabkan oleh pendekatan kontrol individu dari atas ke bawah, bukan gerakan bersama untuk mencegah korupsi.

Berkoalisi dengan Pemerintah dan Swasta

Kasus-kasus korupsi yang merugikan negara dalam jumlah besar, bahkan mencapai miliaran hingga triliunan rupiah, dianggap biasa karena telah menjadi budaya. Perilaku korupsi juga muncul karena persepsi pelaku bahwa hukuman tidak cukup menimbulkan efek jera. “Tidak apa-apa melakukan korupsi besar-besaran, toh pelaku yang tertangkap tidak dihukum berat dan bisa bebas.” Itulah efek cermin (mirroring) dari para koruptor yang tidak belajar dari efek jera korupsi.

Fenomena korupsi harus dilawan dengan gerakan bersama (collective action) dari seluruh lapisan masyarakat, berkoalisi dengan pemerintah dan swasta, baik dalam skala lokal, nasional, maupun internasional. Sikap pragmatis pejabat negara atau birokrat harus direduksi melalui upaya bersama dalam pencegahan korupsi. Kata kunci dari wacana pencegahan dan penindakan korupsi adalah efek jera serta sistem hukuman yang lebih kuat dan berdampak secara psikologis, baik individu maupun sosial.

Baca Juga  Nasib Antar Generasi di Indonesia di Bawah Rezim Ekstraktif

Perbuatan korupsi individu tidak lebih berbahaya dibandingkan perbuatan kolektif yang timbul akibat pembiaran terhadap budaya korupsi dalam birokrasi atau pemerintahan. Menurut Aristoteles, korupsi bahkan dianggap sebagai tindakan yang menghancurkan harapan dan masa depan. Ketika seseorang mencuri uang rakyat, mereka sama saja mencuri harapan, mimpi, dan masa depan masyarakat.

Korupsi harus tertanam dalam ingatan kolektif masyarakat (collective memory) sebagai perilaku yang memalukan, menyimpang, dan merusak tatanan sosial serta harapan akan masa depan pembangunan bangsa yang lebih baik. Semoga pragmatisme kolektif dalam korupsi terus meredup dan akhirnya hilang. Digantikan oleh kesadaran kolektif untuk menghindari perbuatan korupsi sejak dini. Terutama oleh mereka yang diamanahi jabatan publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Editor: Assalimi

7 posts

About author
Rudi Haryono adalah seorang akademisi dan dosen di STKIP Muhammadiyah Bogor. Saat ini sedang menyelesaikan disertasi di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta program studi Linguistik Terapan Bahasa Inggris. Adapun peminatan kajiannya adalah Ilmu Pragmatik (Pragmatics), Pragmatik Lintas Budaya (Intercultural Pragmatics), Bahasa dan Politik (Language and Politics), dan Isu terkait Kepemudaan (Youth Issues). Saat ini juga penulis aktif sebagai Ketua PD Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Bogor serta merintis dan mengembangkan SMK Muhammadiyah 9 Nanggung (Muhammadiyah Boarding School/MBS) di Kabupaten Bogor.
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *