Beberapa hari yang lalu saya menonton cuplikan video ceramah. Bukan ceramah yang meledak-ledak atau yang bikin urat saraf mengeras. Justru ini beda dengan yang lain. Cara dia menyampaikan begitu tenang dan bijak bestari bagai sufi.
Dengan ratusan ribu viewers, nampaknya ia sukses membawa para penyimaknya terbius menikmati setiap tutur katanya yang indah tertata, sekaligus menyingkap tabir kepalsuan dunia.
Bagian yang paling kusukai dari ceramahnya adalah kalimat ini, “Betapapun suramnya situasimu, itulah dunia: tempat paling rendah,” katanya sambil bersungut-sungut.
Ia melanjutkan, “Akan kuberi saran untuk semua dan diri saya: demi Allah, tempat ini (dunia), didesain untuk menghancurkan hatimu. Kalau kau mencari bahagia di dunia, kau di tempat yang salah.”
Semua orang pasti diuji. Karena itulah sifat dunia. Tidak ada satu pun orang yang hidupnya bahagia dan indah secara stabil. Kalau pun ada, itu hanya ada di dongeng fantasi. Di dunia nyata, sekalipun Rafatar bin Raffi Ahmad, gejolak kegelisahan itu pasti hadir.
Ketenangan batin akan terus diusik oleh letupan masalah. Aspek terpenting dalam menghadapi setiap nestapa dunia adalah dengan sabar dan tawakal. Sampai pada bahasan ini saya sepakat, hingga ia, si penceramah itu, mengatakan sesuatu yang menurut saya sangat aneh.
Derita adalah benih keimanan dan ketakwaan. Dengan tersenyum dan tatapan tajam, ia menegaskan, “Kita harus terus hidup dalam penderitaan!” waduh, batinku.
Apakah Orang Beriman itu Harus Menderita?
Memang tidak semua, tapi rerata orang-orang yang terobsesi dengan ajaran-ajaran sufistik biasanya begitu. Mereka suka dengan ulasan-ulasan soal penyendirian, pertapaan untuk menyatu dengan Tuhan, menganggap dunia ini kotor, dan membiarkan diri tenggelam dalam nestapa. Tidak heran bila gambaran umum kita tentang sosok sufi selalu didominasi oleh ringkihan pengemis tua berpakaian compang-camping.
Kesan penderitaan sebagai alat ukur kualitas keimanan dalam perkembangannya membuahkan sikap keagamaan yang cenderung aneh. Rasa-rasanya semakin menderita semakin dekat dengan Tuhan.
Akhirnya, beberapa orang malah kadang membuat-buat penderitaan dalam laku beragama. Misalnya, dengan memberatkan diri sendiri. Bahkan ada yang sampai pada level yang tidak masuk akal. Pengalaman ini tentu saja pernah saya temui beberapa hari yang lalu.
Saat saya berselancar di Twitter, kolom beranda saya tetiba muncul tautan berita tentang seorang perempuan salat subuh di gerbong kereta. Memang salat di kereta bukan sesuatu yang spesial, namun yang bikin netizen heboh dengan perempuan tersebut adalah ia mengenakan mukena lengkap dengan sajadahnya, bahkan dengan gerakan salat yang sempurna! MasyaAllah tabarakallah!
Ada beberapa orang yang menilai cara salat seperti itu terlalu berlebihan. Para ulama telah menyediakan gerakan salat alternatif saat dalam perjalanan. Tapi tidak sedikit netizen yang kagum dengan ketaatan yang “keras kepala” dari perempuan tersebut. Di tengah ruangan yang tidak kondusif, melaksanakan ibadah secara sempurna memang terasa begitu heroik sekaligus mengharukan. Tapi itu hanya ilusi spiritual, kita tertipu oleh kaidah bahwa semakin memberatkan semakin dekat dengan Tuhan. Sialnya lagi, saya pernah merasakannya.
***
Pada bulan Ramadan tahun lalu, saya tidak mau batal. Padahal waktu itu dalam perjalanan mudik dari Yogyakarta ke Garut. Saya pikir apa yang saya lakukan adalah tanda kesalehan, namun ternyata sebuah kesalahan. Awalnya terlihat religius sekali memang, apalagi menyaksikan beberapa orang dengan santainya minum antimo di siang hari. Tapi selang beberapa menit saya tak kuasa menahan pening. Usus 12 jari saya seperti berjoget-joget. Nasi telor padang, tempe bacem, jeruk nipis, rasa-rasanya mereka berontak ingin keluar lewat mulut.
Akhirnya saya muntah. Banyak sekali. Pria yang duduk di samping saya kena cipratannya. Baunya begitu busuk. Seisi bis mungkin menciumnya. Ingin sekali saya membersihkan muntahan itu. Tapi kepala saya pusing sekali. Saat pusing itu mencapai titik kulminasi, akhirnya saya merenung dan mendapati satu pencerahan bahwa tidak perlu memaksakan diri untuk melaksanakan ajaran agama, jika hal tersebut di luar batas kemampuan kita. Sebab ketaatan yang keras kepala ini sesungguhnya tidak ada hubungannya dengan kualitas keimanan.
***
Saat saya menyimak paparan Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Syamsul Anwar, saya semakin tercerahkan. Menurutnya, Islam tidak mengajarkan pencapaian prestasi spiritual melalui penderitaan. Memang pelaksanaan kewajiban agama itu ada yang memberatkan, namun kesukarannya berada dalam kewajaran manusiawi. Apabila terdapat kesukaran yang di luar batas manusiawi, maka terdapat kaidah-kaidah dan asas-asas yang memayungi kemudian memberi keringanan.
Nabi Saw pernah menegur para sahabat yang beribadah secara berlebih-lebihan. Kisah yang direkam ‘Aisyah ini menceritakan tiga orang sahabat yang mengaku menjalankan agamanya dengan baik. Masing-masing dari ketiga sahabat itu mengaku rajin berpuasa dan tidak berbuka; selalu salat malam dan tidak pernah tidur; dan tidak menikah lantaran takut mengganggu ibadah. Rasulullah saat itu menegaskan bahwa ‘aku yang terbaik di antara kalian’. Karena Nabi berpuasa dan berbuka, salat malam dan tidur, dan menikah.
Nabi Saw sadar bahwa tujuan utama diutus adalah untuk menyempurnakan akhlak bukan untuk memberikan penderitaan kepada orang-orang beriman. Dalam QS. al-Anbiya ayat 107 ditegaskan bahwa “Tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta”. Kalau pun diberikan sedikit penderitaan, Allah telah pastikan dalam QS. al-Baqarah ayat 286 bahwa laa yukallifullahu nafsan illa wus’aha, Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.