Fenomena Aisyiyah Salafi (ASLAFI) menandai perubahan penting dalam lanskap keberagamaan perempuan Muslim Indonesia. Ia bukan sekadar soal busana atau simbol kesalehan, melainkan hibriditas identitas yang lahir dari perjumpaan antara tradisi Islam Berkemajuan dan arus Salafisme yang menguat di ruang digital.
Tulisan ini berangkat dari esai KH Nurbani Yusuf berjudul “Salafisme: Model Perempuan di Simpang Jalan” yang dimuat di majelistabligh.id pada 19 Desember 2025. Dalam esai tersebut, KH Nurbani memotret perbedaan identitas perempuan Salafi dan perempuan Muhammadiyah (‘Aisyiyah) terutama pada level simbolik. Namun, fenomena ASLAFI menuntut pembacaan yang lebih mendalam menyangkut perubahan perilaku sosial-keagamaan dan pergeseran otoritas religius perempuan Muhammadiyah.
Pembacaan ini merupakan pembacaan sosio-fenomenologis yang hanya sekeder memotret dan memahami makna perubahan prilaku sosial keagamasn warga Aisyiah, bukan pada wilayah menilai salah benar, sehingga masih bisa diberdepatkan.
Proses Terbangungnya Kesadaran ASLAFI
ASLAFI bukanlah anomali yang hadir tiba-tiba. Ia merupakan gejala sosial dari perjumpaan dua arus besar: Islam Berkemajuan sebagai fondasi ideologis ‘Aisyiyah dan ekspresi keberagamaan Salafi yang skriptural, puritan, serta berorientasi pada pemurnian akidah. Dari perjumpaan inilah muncul hibriditas identitas: secara struktural dan kultural, sebagian perempuan tetap aktif dalam kegiatan ‘Aisyiyah pendidikan, filantropi, dan penguatan keluarga namun secara teologis dan simbolik mulai mengadopsi manhaj Salafi.
Hibriditas ASLAFI tampak pada perubahan cara beragama: penekanan pada dalil literal, sikap kritis terhadap praktik keagamaan lokal yang dianggap bid‘ah, serta transformasi simbol visual seperti niqab dan gamis hitam longgar. Namun membaca ASLAFI semata sebagai pergeseran simbol jelas tidak memadai. Yang lebih penting adalah memahami proses ideologis yang bekerja perlahan di balik perubahan tersebut.
ASLAFI Lahir dari Infiltrasi Ideologi Salafisme
Infiltrasi ideologi Salafi berlangsung lama dan halus. Ia tidak hadir sebagai proyek ideologis terbuka, melainkan merembes melalui ruang-ruang keseharian: kajian daring, konten parenting Islami, grup WhatsApp keluarga, hingga ceramah singkat di media sosial. Seperti air yang merembes ke dalam tanah, ideologi ini tidak merobohkan bangunan lama, tetapi mengubah struktur dari dalam.
Banyak perempuan tidak merasa sedang berpindah ideologi; mereka justru merasa sedang menjadi Muslimah yang lebih taat dan berhati-hati.
Pada titik inilah pembenaran terhadap manhaj Salafi terjadi bukan sebagai pilihan ideologis yang disadari, melainkan sebagai praktik keseharian. Standar “kesunnahan” perlahan menjadi ukuran tunggal kebenaran.
Transformasi ini hidup dalam kebiasaan, selera berpakaian, pilihan guru agama, dan cara memandang tradisi Islam lain. ASLAFI, dengan demikian, merupakan hasil pengendapan makna keagamaan yang terus direproduksi dan dinormalisasi.
Dampak Infiltrasi Ideologi ASLAFI
Fenomena ini juga menandai pergeseran otoritas keagamaan perempuan. Jika ‘Aisyiyah klasik menekankan kolektivitas, musyawarah, dan otoritas organisasi, ASLAFI cenderung memindahkan rujukan ke ustaz-ustaz Salafi di ruang digital.
Otoritas keagamaan tidak lagi bersumber dari struktur persyarikatan, melainkan dari figur dakwah yang dianggap paling “sesuai sunnah”.
Menariknya, ASLAFI tidak sepenuhnya menolak agenda pemberdayaan perempuan. Mereka tetap aktif dalam pendidikan anak, amal sosial, dan ketahanan keluarga, tetapi membingkainya dengan narasi domestik dan kepatuhan gender yang lebih ketat. Emansipasi dimaknai sebagai kesalehan peran, bukan kesetaraan struktural.
Dari perspektif Islam Berkemajuan, sebagaimana ditegaskan Haedar Nashir, keberagamaan tidak diukur dari kekakuan simbol dan literalitas dalil, melainkan dari daya etiknya dalam memuliakan akal, kemanusiaan, dan keadaban publik. Amin Abdullah menekankan dialog antara teks, akal, dan konteks sosial, sementara Kuntowijoyo mengingatkan pentingnya objektifikasi Islam agar nilai-nilainya hadir sebagai kekuatan rasional dan membebaskan.
Merubah Strategi Dakwah Aisyiah di Era Digital
ASLAFI patut dibaca sebagai cermin reflektif bagi ‘Aisyiyah dan Muhammadiyah. Tantangannya bukan sekadar meluruskan, melainkan memperbarui dakwah Islam Berkemajuan agar hadir sebagai pengalaman keagamaan yang hidup menyentuh batin, membimbing nalar, dan relevan dengan problem perempuan Muslim masa kini.
Beragama secara berkemajuan bukan berarti kurang taat, melainkan berani menghadirkan Islam sebagai rahmat yang berpikir, berempati, dan berkeadaban.
Semoga tulisan ini menggugah kesadaran baru gerakan Aisyiah lebih maju-adaptif dan tetap lembut seperti Nyai Walidah.
(FI)

