Inspiring

Sudibyo Markus, Sang Mediator Konflik Internasional

5 Mins read

Suatu hari kala muda, Sudibyo Markus berjumpa beberapa bule asal Amrik. Ia jadi narasumber riset antropologi legendaris: Modjokuto Project. Itu pengalaman pertama Sudibyo berjumpa dengan “Barat” tulis James L. Peacock (2019). Di Pare, Kediri, Jawa Timur, ia dilahirkan pada 24 Oktober 1941. Berlatar lulusan Fakultas Kedokteran UGM, Sudibyo justru mencurahkan seluruh pikiran dan waktunya untuk isu perdamaian internasional, hubungan antar agama, dan aktivisme kemanusiaan kontemporer serta mitigasi kebencanaan. Sudibyo adalah mediator rekonsiliasi konflik di Mindanao-Manila. Bersama Din Syamsudin, ia adalah tulang punggung aktivisme humanitarian internasional di Muhammadiyah.

Keluarga dan Masa Muda

Sudibyo tumbuh besar dalam keberagaman. Ia punya saudara kandung beragama Kristen hingga kejawen. Sudibyo sendiri kemudian masuk Islam dan aktif di Muhammadiyah. Pengalaman tumbuh dalam keluarga berlatar agama dan spiritual beragam, membuat Sudibyo paham makna penting hubungan kemanusiaan. Tapi sebelum sampai pada suatu titik utuh visi kemanusiaan universal, Sudibyo punya cerita unik. Sebagaimana kita tahu, bersama Djazman Al Kindi, Amin Rais, Rosyad Sholeh, Yahya Muhaimin, Sudibyo adalah pendiri IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah). Ia kemudian aktif di DPP IMM sekaligus jadi anggota Majelis Pendidikan Kader PP Muhammadiyah. Sebagai aktivis muda, ia kerap diminta presentasi mengenai hubungan antara Islam dan Barat-Kristen.

Suatu waktu pada 1970, bersama Amin Rais, Sudibyo jadi instruktur Darul Arqom yang diselenggarakan di Pesantren Kiai Badruzaman. Pada kuliah subuh di Wisma Sieradj dalam rangka pendidikan kader tersebut, Sudibyo membahas westernisasi, sekularisasi, dan kristenisasi. James L. Peacock yang kebetulan sedang riset tentang Muhammadiyah ada di sana turut mendengar. Selepas ceramah, ketika perjalanan pulang menuju pemondokan, Peacock bertanya dengan nada tidak enak pada Sudibyo. “Pak Markus, kenapa waktu ceramah tadi banyak membicarakan Barat, padahal tak ada orang Barat kecuali saya di sana. Apa maksudnya?” Amin Rais menimpali, “Rasakno Dib, Pak Peacock marah.

Pengalaman “dimarahi” Peacock masih terkenang oleh Sudibyo. Dan mungkin itu adalah pengalaman kedua ia berjumpa dengan “Barat.” Bagi seorang intelektual muda yang sangat bersemangat, hubungan persahabatan dengan Peacock adalah wajah relasi nyata antara Islam dan Barat. Barangkali, dalam kerangka tertentu, mengubah arti “Barat” di benaknya.

Baca Juga  Yang Tetap dan Yang Berubah dari Buya Syafii

Satu hal yang pasti, Sudibyo semakin yakin bahwa modal sosial antar peradaban sebetulnya sudah ada. Ia lahir dari keberagaman yang penuh kehangatan dan bersahabat dengan orang dari “Barat.” Dua kenyataan masa kecil dan masa muda yang membuatnya bertanya-tanya mengapa peradaban manusia harus terus bersitegang dan saling merusak?

Merintis Humanitarian Muhammadiyah

Kini banyak aktivis Muhammadiyah terlibat dalam isu-isu kemanusiaan. Tapi Sudibyo bisa disebut sebagai perintis pertama. Pada 1998, ia bergabung dengan UNDP (United Nations Development Programme), anggota ICVA (International Council of Voluntary) di Geneva dan IFNGO (Civicus International of NGO). Sudibyo punya pengetahuan ensiklopedik tentang sejarah konflik global kontemporer.

Sudibyo tidak sekedar paham bahwa relasi politik dunia global hari ini adalah imbas peperangan abad pertengahan dan perpecahan politik identitas pasca perang dingin. Tapi mendayagunakan modal sosial global yang sudah ada menjadi kekuatan rekonsiliasi internasional. Ia punya pergaulan internasional yang luas. Pada tahun 2006, turut mendirikan Humanitarian Forum International di London. Kemudian pada 2008 mendirikan Humanitarian Forum Indonesia.

Sudibyo bukan aktivis kemanusiaan di belakang meja. Bagi banyak aktivis Muhammadiyah yang menekuni isu humanitarian, ia dianggap sebagai “guru” atau “sepuh.” Maka pada Januari 2020, Ia diberi penghargaan Lifetime Achievement Award oleh MDMC PP Muhammadiyah. Bukti ia adalah suluh bagi aktivis humanitarian di Muhammadiyah.

Penghargaan itu sangat layak untuk Sudibyo. Sebab Ia dikenal tidak pilih tempat berbagi ilmu dan pengalaman. Banyak aktivis Muhammadiyah pernah bertemu dan merasakan betapa bersemangatnya Sudibyo bicara tentang masa depan kebaikan bagi umat manusia. Meski tidak lagi muda, ia penuh energi “turun gunung” mendampingi proses belajar aktivis Muhammadiyah.

Sudibyo punya empat gagasan pokok mengenai pengembangan Muhammadiyah. Pertama, Muhammadiyah harus mampu keluar dari hambatan kultural berupa tarik menarik antara political disengagement dan civic engagement. Kedua, Muhammadiyah harus terampil mendayagunakan dan mengelola struktur besar organisasi untuk memperantarai kekuatan dan daya ubah sosial. Ketiga, Muhammadiyah harus mampu mengoperasionalisasikan atau menghubungkan secara konseptual dan praktis khazanah teologis berupa “kekhalifaan”, “rahmatan lil ‘alamin”, dan “risalah” ke dalam kerangka kerja humanitarian. Keempat, Muhammadiyah perlu menempuh “pendekatan ummah” supaya tidak tercerabut dari realitas sosial. “Supaya Muhammadiyah tidak saja menjadi pengrajin amal usaha, melahirkan pulau-pulau yang kurang tanggap terhadap problem lingkungan” ungkap Sudibyo.

Baca Juga  Mengenal Cita-Cita Hidup Muhammadiyah

Menyelamatkan Islam dari Simpang Jalan

Sudibyo adalah seorang pemikir dalam tindakan. Mungkin posisi itu adalah konsekuensi khas bagi seorang aktivis Muhammadiyah tulen. Seorang pemikir yang tidak dapat meninggalkan pengubahan kenyataan. Sejak muda, Sudibyo berupaya merumuskan cara “menyelamatkan” Islam dari “simpang jalan.” Menurutnya, Islam punya modal sosial, politik, dan kebudayaan untuk terus menerus relevan. Sangatlah aneh jika Islam gagal tampil sebagai kekuatan sosial untuk problem kemanusiaan global saat ini.

Sudibyo yakin, Islam punya bekal sejarah dan inisiasi modern untuk tampil di panggung. Terutama dalam mengatasi masalah-masalah kemanusiaan dan ekologi. Maka ia berupaya memperluas makna “agama” dalam menyelesaikan problem umat manusia. Bila menelusuri pada berbagai tulisan, banyak pembaca akan melihat tiga kegelisahan utama yang melatarbelakangi pemikiran Sudibyo.

Pertama, Sudibyo berupaya mengurai mengapa Islam berada dalam posisi dilematis. Berkali-kali ia mengkritik tesis benturan peradaban Samuel Huntington dalam buku The Clash of Civilizations (1996). Sudibyo tidak sepakat Islam adalah ancaman laten. Hubungan renggang antara Islam dan Barat harus dicermati secara menyeluruh. Islam tampil sebagai “ancaman” bukan karena kebangkitan sayap politik Islam di Timur Tengah atau gerilya dan milisi Islam. Hubungan Islam dan Barat diwarnai oleh sejarah perang antar imperium, kolonialisme, ekspansi kapitalisme Eropa, dan politik pengawasan Amerika.

Kedua, Sudibyo Markus percaya Islam adalah kekuatan sipil terpenting. Islam punya doktrin mengenai kesetaraan (egaliter), kemanusiaan (humanity), dan aktivisme sosial. Sudibyo mencontohkan pada era Nabi Muhammad. Islam pada waktu itu punya kesadaran kewargaan yang tinggi ketika merumuskan piagam Madinah.

***

Begitu juga ketika Nabi Muhammad membangun hubungan diplomasi dengan imperium Kristen. Tindakan Nabi Muhammad memperlihatkan bahwa Islam terbuka dan fleksibel. Bentuk hubungan canggung dan kaku antara Islam dan dunia Barat lebih banyak dibentuk oleh polarisasi pasca perang Salib. Kemudian terus menerus membekas pada masa kebangkitan imperialisme Eropa hingga politik luar negeri Amerika.

Baca Juga  Inilah Wartawan Pertama Muhammadiyah yang Tersandung Delik Pers

Ketiga, dalam berbagai kesempatan, Sudibyo Markus selalu menekankan pada pentingnya kesatuan tindakan (common action) dan kesatuan visi besar (common word) sebagai kerangka mewujudkan kemanusiaan universal. Baginya, keberhasilan agenda humanitarian perlu dirancang melalui tata kelola modal sosial. Artinya, tindakan-tindakan kolaboratif, inovatif, dan integratif antar kekuatan sipil adalah kunci menghadapi kekerasan global kontemporer.


Sudibyo Markus memberi contoh langsung ketika ia mewakili Muhammadiyah sebagai pendamping dalam perundingan perdamaian antara pemerintah Filipina dengan Moro Islamic Liberation Front (MILF) pada 2009. Begitu pula ketika ia ditugaskan Kemenlu untuk presentasi mewakili Pemerintah RI pada Asia Pasific Interfaith Dialogue di Cebu, Filipina (2006) dan di Perth, Australia (2010).

Persahabatan dan Kemanusiaan

Amin Rais kaget melihat nama James L. Peacock tertera di sampul buku Dunia Barat dan Islam (2019) karangan Sudibyo. Bukan apa-apa. Amin Rais masih ingat betul peristiwa lima puluh tahun silam ketika Sudibyo dimarahi Peacock. Tapi lain lagi bagi Sudibyo. Nama Peacock di situ bukti bahwa ia bisa menebus kesalahpahaman.

Ia sendiri mempraktikkan betapa pentingnya hubungan sosial yang dilakoni atas nama hubungan antar manusia. Sudibyo percaya, keimanan tertinggi seseorang adalah hasil keterpaduan harmonis hubungan manusia dengan Tuhan, dan hubungan manusia dengan sesamanya. Berawal dari sanalah, kehidupan lebih baik dapat dibangun dan diperjuangkan. Dan berawal dari sana pula, segala problem umat manusia hari ini berasal.

Sudibyo Markus mungkin adalah representasi aktivis Muhammadiyah yang berupaya memperluas misi kemanusiaan dalam beragam bentuk. Misi kemanusiaan itu tidak berhenti pada tindakan-tindakan bantuan dan filantropis, melainkan juga rekonsiliasi konflik, perdamaian dunia hingga mitigasi kebencanaan. Merentang dari problem sosial, ekonomi, politik hingga ekologi. Ia adalah aktor kunci untuk memahami mengapa dan bagaimana Muhammadiyah menapaki abad baru dengan misi-misi kemanusiaan.

Sumbangan terpenting semacam itu sudah dirintis dan dipertahankannya sejak lama. Semakin kelihatan ketika ia menjadi Ketua Majelis Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat Muhammadiyah (2000-2005), Ketua PP Muhammadiyah (2005-2010) dan Wakil Ketua Hubla PP Muhammadiyah (2010-2020). Sudibyo adalah seorang figur penuh suluh sejak pikiran, tindakan, dan komitmen. Atas nama kemanusiaan, dan atas nama kebaikan bagi peradaban manusia.

Editor: Yahya FR

Avatar
50 posts

About author
Penggiat Rumah Baca Komunitas (RBK), Yogyakarta. Mahasiswa Program Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *