Falsafah

Auguste Comte: Konflik atas Nama Agama, Bukti Masyarakatnya Mogok

3 Mins read

Agama dan budaya tidak mungkin bisa dipisahkan. Keduanya berbaur dan menciptakan karakter agama sesuai dengan perkembangan peradaban yang ada. Agama menjadi salah satu kunci bagi eksistensi masyarakat, begitupula sebaliknya.

Adanya masyarakat memberikan varian baru, serta corak epistemologis, ontologis, dan aksiologis baru dalam ranah pengetahuan keagamaan. Auguste Comte, merupakan seorang tokoh yang konsen terhadap kajian kemasyarakatan.

Dalam salah satu pemikirannya, agama menjadi objek kajiannya yang ia kaitkan dengan suatu konstruk kemasyarakatn. Lantas, bagaimana wajah Islam di Indonesia jika ditelisik dari sudut pandang tokoh Auguste Comte? Mari kita simak.

Biografi Auguste Comte

Auguste Comte merupakan seorang yang berkebangsaan Paris dan memiliki nama panjang Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte. Ia dilahirkan dari keluarga bangsawan Katolik pada tanggal 17 Januari 1798, tepatnya di Kota Montpellier. Kota Montpellier terletak di bagian selatan negara Perancis.

Pendidikan Comte diawali dari sebuah kota kecil di bagian barat daya dari negara Perancis. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Ecole Polytechnique di Paris, lalu ia beralih ke pendidikan kedokteran di Montpellier (Adi Santoso, dkk, Biografi Tokoh-Tokoh Sosiologi Klasik Sampai Modern, 4).

Comte juga sempat bertemu dan menjalin hubungan intelektual bersama Saint-Simon, dan berpisah karena ketidakcocokkan antar keduanya. Setelah itu, Comte berniat melakukan penelitian terhadap masyarakat di daerahnya. Setelah, ia melakukan penelitan dan akan mempublikasikan karyanya, ia terhalang karena tidak mendapatkan kedudukan akademik pada masanya.

Pemikiran Auguste Comte

Auguste Comte merupakan seorang ahli dalam bidang sosiologi dan memusatan pemikirannya pada ranah kemasyarakatan. Ia mengkonstruksikan bahwa masyarakat berkembang secara evolusioner.

Dalam penelitiannya, ia mengemukakan tahapan perkembangan masyarakat, yaitu teologis, dimana karakteristik dari masyarakat adalah primitif. Kemudian metafisik, yaitu keadaan masyarakat yang mulai bersikap skeptis terhadap kemurniaan kepercayaan mereka. Terakhir yaitu saintifik, yang terjadi revolusi pemikiran sehingga memunculkan temuan-temuan ilmiah (Sindung Haryanto, Sosiologi Agama Dari Klasik Hingga Modern, 56).

Baca Juga  Mabadi’ ‘Asyarah Ilmu Filsafat Intelijen

Bagi Auguste Comte agama memiliki peran vital dalam hubungan kemasyarakatan, yaitu sebagai perekat umat (social glue). Era agama yang sifatnya supranatural atau erat mempercayai objek-objek mistik telah digantikan dnegan era positivistik, yang menitikberatkan pada objek empiris.

Dengan itu, Comte mengemukakan bahwa pada era supranatural, agama memainkan peran utama dalam meningkatkan solidaritas sosial. Akan tetapi, setelah era positivisme muncul, individualisme muncul sehingga nilai moral yang dihasilkan oleh agama mulai hilang. Akhirnya, pada masa ini tantangan yang dihadapi oleh masyarakat muslim adalah mempromosikan altruism dan solidaritas sosial (Sindung Haryanto, Sosiologi Agama Dari Klasik Hingga Modern, 57).

Agama Sebagai Perekat Umat

Kepercayaan manusia terhadap kekuatan supranatural di balik seluruh aktivitas manusia, menjadi satu hal yang bersifat generatif. Kepercayaan paling tua yaitu aliran dinamisme dan animisme, dimana mereka menaruh kepercayaan terhadap ruh-ruh yang terdapat dalam benda-benda, mati maupun hidup. Bahkan, animisme dan dinamisme menjadi inti kebudayaan yang mewarnai kehidupan masyarakat masa itu (Simuh, Sufisme Jawa: Transformasi Tasawwwuf Islam ke Mistik Jawa, 110).

Agama merupakan fenomena universal manusia. meskipun terjadi perubahan sosial di segala aspek kehidupan, agama tidak pernah mati sebagai objek kajian. Pelaku keagaamaan yang menyebar di seluruh dunia memiliki keyakinan bahwa agama memiliki fungsi bagi dirinya secara pribadi maupun sosial.

Salah satunya adalah memberikan petunjuk di dunia sehingga mendapatkan keselamatan di dunia maupun di akhirat. Selain itu, agama mengajarkan perihal kedamaia dan kasih sayang terhadap sesame manusia.

Auguste Comte menegaskan bahwa salah satu fungsi agama dalam masyarakat adalah sebagai perekat. Hal itu juga selaras jika dianalisis dari aspek teologis maupun sosiologis, yaitu sebagai instrumen untuk memahami dunia. Dalam Al-Qur’an sendiri, terdapat terma “huda” yang artinya sebagai petunjuk. Tidak hanya tuntunan syariat, melainkan juga panduan bagi seluruh diskursus aktifitas manusia, seperti sosial, budaya, ekonomi, maupun politik (M. Yusuf Wibowo, Sosiologi Agama, 57).

Baca Juga  Pemikiran Kosmologi Sufistik Ibnu Arabi

Kesalahan dalam Beragama

Indonesia dengan kekayaan budayanya, menjadi tantangan sendiri bagi masyarakat. Enam agama yang terkumpul di Indonesia, yang mana pada masing-masing agama masih terbagi menjadi beberapa sekte menegaskan bahwa pelaku keagamaan di Indonesia perlu memiliki kekuatan sosial yang tinggi. Hal itu diperuntukkan tidak terjadinya saling singgung antar agama, maupun budaya.

Dalam agama Islam sendiri terdapat beberapa organisasi yang mewarnai corak keagaamaan. Setiap organisasi memiliki ideologi yang harus diperjuangkan dan dipertahankan. Hal itu, berpotensi memunculkan satu konflik jika terdapat kesalahpahaman atau miskomunikasi antar organisasi.

Bagi Comte, adanya konflik yang mengatasnamakan agama merupakan representasi kemogokkan masyarakat dalam beragama. Karena, agama yang diaplikasikan secara baik adalah agama yang mampu memberikan kedamaian dan kesejahteraan di masyarakat.

Kesimpulan

Auguste Comte merupakan tokoh yang memiliki ketertarikan besar kepada masyarakat. Sedangkan agama menjadi instrumen penting terbentuknya masyarakat. Hal itu, agama tidak lepas dari objek kajian Auguste Comte. Hubungan masyarakat dengan agama sangatlah erat. Fungsi intinya adalah sebagai perekat umat, penjaga stabilitas masyarakat, dan meningkatkan solidaritas. Untuk itu, bisa dikatakan gagal dalam memerankan agama adalah jika masih mempertahakan konflik yang mengatasnamakan agama, maupun organisasi dalam agama.

Editor: Yahya

Mahfudhin
13 posts

About author
Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Al-Quran dan Sains Al Ishlah Sendangagung Paciran Lamongan
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds