Fikih

Aurat: Bukan Perkara Halal/Haram, Tapi Rasa Malu

3 Mins read

Bagi perempuan berhijab, bukan berarti tidak dapat bersaing dengan dunia fashion. Saat ini, baju crop top sedang menjadi tren fashion di kalangan perempuan. Baju yang identik dengan konotasi baju seksi ini, ternyata boleh dipakai oleh muslimah jika sesuai dengan gaya yang benar.

Menutup aurat merupakan kewajiban bagi semua manusia. Maka tak heran jika dampak perkembangan ini harus selalu disesuaikan dengan norma Islam. Salah satunya adalah tren baju crop top di kalangan muslimah.

Menyikapi persoalan perkembangan fashion sekarang ini terdapat perbedaan pandangan yang berkaitan dengan batasan aurat pada perempuan. Lantas, apa itu aurat dan bagaimana batasannya?

Kali ini penulis akan meninjau dari teori batas Muhammad Syahrur. Karena, teori ini memiliki dua pandangan yang fleksibel mengenai batasan aurat, yaitu batas minimal dan maksimal.

Definisi Aurat

Syahrur mendefinisikan kata aurat adalah segala sesuatu yang jika diperlihatkan, maka seseorang akan merasa malu. Baginya, kata aurat tidak terkait dengan masalah halal dan haram, melainkan rasa malu yang bersifat relatif, tidak mutlak, dan mengikuti adat kebiasaan setempat.

Jadi, bagi perempuan yang merasa gendut adalah kejelekan, maka ia akan malu mengenakan baju crop top, karena ia tidak merasa percaya diri terlihat perut buncitnya.

Jika dahulu gendut adalah simbol kesejahteraan, sekarang body slim adalah simbol kecantikan.

Perintah Menutup al-Ziynah dan al-Juyub

Perintah menutup al-ziynah dan al-juyub merupakan batas minimal menutup aurat, Allah telah menjelaskan dalam firman-Nya:

Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (al-ziynah), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya,…” (QS. An-Nur [24]: 31)

Baca Juga  Suara Perempuan Bukan Aurat

Ayat  tersebut (QS. An-Nur [24]: 31) menjelaskan pertama-tama, Allah memerintahkan perempuan untuk menjaga pandangan dan kemaluannya.

Kemudian, Allah memerintahkan kepada perempuan untuk tidak menampakkan perhiasannya (al-ziynah), kecuali yang biasa tampak darinya. Kata ziynah dalam ayat tersebut (QS. An-Nur [24]: 31), terbagi menjadi tiga jenis, adalah sebagai berikut:

Pertama, perhiasan berwujud benda (ziynah al-asya’). Yakni perhiasan berupa penambahan suatu perhiasan ke benda lain. Contohnya, dekorasi dalam ruangan dan perhiasan perempuan.

Kedua, perhiasan tempat (al-ziynah al-makaniyah). Yakni perhiasan yang menambahkannya untuk kebutuhan yang bersifat alami. Contohnya, taman publik yang berisi pepohonan dan bunga-bunga.

Ketiga, perhiasan tempat dan kebendaan bersamaan (al-ziynah wa al-makaniyah ma’an). Yakni sesuatu yang berbentuk utuh nampak seperti bersifat alami, bukan sekedar kalung, gelang, dan sejenisnya, tetapi seluruh tubuh perempuan.

Pada penjelasan selanjutnya, Allah memerintahkan perempuan untuk menutup al-juyub menggunakan al-khumur. Apa yang dimaksud dengan al-juyub dan al-khumur ini?

Al-juyub berasal dari kata ja-ya-ba yang berarti lubang di leher baju. Al-juyub disebut sebagai bagian tubuh yang disembunyikan oleh Allah dalam bentuk susunan tubuh perempuan.

Al-juyub ini memiliki dua tingkatan sekaligus sebuah lubang berupa: tingkatatas, yakni bagian antara payudara dan bawah payudara. Sedangkan tingkatbawah, yakni bawah ketiak, kemaluan, dan pantat.

Adapun arti al-khumur merupakan bentuk jamak dari kata al-khimar yang berasal dari kata kha-ma-ra berarti tutup. Istilah ini bukan hanya berlaku pada pengertian penutup kepala saja, tetapi semua bentuk penutup.

Allah memerintahkan perempuan mukminah untuk menutup bagian tubuh yang termasuk dalam kategori al-juyub ini.

Perintah Menutup Seluruh Badan Kecuali Wajah dan Telapak Tangan

Perintah mengenakan jilbab ke seluruh tubuh merupakan batas maksimal menutup aurat, Allah telah menjelaskan sebagaimana firman-Nya

Baca Juga  Fikih Haji Lansia: Jangan Fokus Ngejar Sunah, Tapi Lupa yang Wajib

Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (QS. Al-Ahzab [33]: Ayat 59).

Perintah menutupkan jilbab ke seluruh tubuh pada ayat tersebut (QS. Al-Ahzab [33]: 59), bukanlah sebagai bentuk kewajiban syariat, melainkan sebagai bentuk pengajaran bagi perempuan. Karena, pada ayat ini diawali dengan redaksi yaa ayyuhan nabiyang bersifat sebagai nubuwwah bukan risalah.

Karena pada dasarnya, substansi dari ayat di atas adalah perintah untuk menutup bagian tertentu yang apabila ditampakkan dapat menyebabkan adanya gangguan baik sosial maupun geografis, maka diwajibkan menutupinya.

Terkait hadis Nabi, “Seluruh tubuh perempuan adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangannya”bukanlah dipahami sebagai batas maksimal berpakaian perempuan.

Hadis menjelaskan tentang kebolehan perempuan untuk menutup tubuhnya sebagai batas maksimal, kecuali wajah dan telapak tangannya.

Kesimpulan tentang Aurat

Berdasarkan dari penjelasan di atas, bahwa batas minimal berpakaian bagi perempuan adalah menutupkan kain apa saja asalkan dapat menutupi kedua al-juyub perempuan.

Namun, jika memahami QS. Al-Ahzab ayat 59  hanya berfungsi sebagai pengajaran untuk menghindari gangguan dan penjelasan tentang penyempurnaan model pakaian. Tidaklah mengapa jika belum bisa menutup aurat secara sempurna.

Karena, bagi yang memahami QS. An-Nur ayat 31 sebagai syariat aturan batas minimal menutup aurat, hendaknya berpegang teguh pada ayat tersebut. Namun, bukan berarti aturan batas minimal pada ayat itu yang harus diberlakukan dalam interaksi sosial.

Sedangkan bagi yang memahami QS. Al-Ahzab ayat 59 sebagai aturan batas maksimal pakaian perempuan sebagai syariat, hendaknya berpegang teguh pada ayat tersebut.

Baca Juga  Metode Istidlal Syaddzudz Dzariah dan Klasifikasinya

Karena pada prinsipnya, terkait larangan pusar dan lutut adalah pemahaman fikih sosial yang bersifat lokal-temporal.

Oleh karena itu, jangan khawatir bagi muslimah yang merasa malu ketika memakai baju crop top. Karena, baju ini  juga bisa dikombinasikan dengan lengan panjang dan dikombinasikan dengan celana panjang.

Namun, bagi muslimah yang tidak malu memakainya atau belum menutup aurat secara sempurna, semuanya dikembalikan pada norma sosial setempat.

Akan tetapi, hendaklah seorang muslimah mengenakan pakaian aktivitas luarnya sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakatnya  agar tidak menimbulkan gangguan sosial.

Sumber

Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an, terj. Sahiron Syamsuddin, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam, Yogyakarta:  Kalimedia, 2018.

Muhammad Syahrur, Nawh Ushul Jadidah Li al-Fiqih al-Islami, terj. Sahiron Syamsuddin, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer,  Yogyakarta: Kalimedia, 2015.

Editor: Yahya FR

Jiwo Prasojo
2 posts

About author
Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo semarang. Tertarik terhadap kajian hukum Islam Kontemporer. Beralamat di Instagram: @jisojo_
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *