Penafsiran Al-Qur’an
Ayat Mutasyabihat | Dalam Islam, keberadaan Al-Qur’an menempati posisi sentral sebagai sumber hukum yang paling utama. Ketinggian posisi Al-Qur’an itu menempatkannya menjadi suatu pandangan hidup yang harus dijadikan sebagai parameter dalam setiap aktivitas kehidupan umat Islam.
Dalam kedudukannya sebagai pandangan hidup, Al-Qur’an mutlak harus bisa dipahami. Sebab, jika Al-Qur’an susah dipahami, umat Islam tak akan berhasil mengamalkan pesan-pesan yang dikandungnya secara utuh dan benar.
Memahami Ayat-Ayat Al-Qur’an
Dalam kaitannya dengan masalah pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an al-Tabataba’i berasumsi bahwa seluruh ayat Al-Qur’an, tanpa kecuali, bisa dipahami.
Al-Qur’an yang adalah hudan li al-‘alamin bukanlah sebuah kitab suci yang sia-sia kehadirannya. Sebagai hudan li al-‘alamin, tak satu pun di antara ayat-ayat Al-Qur’an yang maknanya tak bisa diketahui.
Dalam pandangan al-Tabataba’i, Al-Qur’an berbicara kepada manusia dengan bahasa yang sederhana dan jelas. Bukti bahwa Al-Qur’an itu sederhana dan jelas bahwa setiap orang yang memahami bahasa Arab, dapat mengetahui makna ayat-ayatnya persis sebagaimana ia mengetahui perkataan Arab.
Setiap Ayat Al-Qur’an itu Bisa Dipahami
Bahwa setiap ayat Al-Qur’an bisa dipahami, dalam pandangan al-Tabataba’i, juga mendapatkan penegasan dari Al-Qur’an sendiri.
Di antara ayat-ayat yang oleh al-Tabataba’i dianggap mendukung hal tersebut adalah: afala yatadabbarun Al-Qur’an am ala qulub aqfaluha, afala yatadabbarun Al-Qur’an walaw kana min indi ghair Allah lawajadu fihi ikhtilaf kasira.
Kedua ayat tersebut, menurut al-Tabataba’i, bukti bahwa keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an bisa dipahami. Ditegaskannya, perintah untuk memahami Al-Qur’an sebagaimana dapat dipahami dari kedua ayat di atas, justru akan menjadi sia-sia manakala ada ayat-ayat yang tidak bisa dipahami maksudnya.
Terdapatnya ayat-ayat yang menantang manusia untuk membuat yang sepadan dengan Al-Qur’an bila tidak mempercayainya sebagai firman Allah swt (QS. al-Isra’ [17]: 88, Hud [11]:13, al-Baqarah [2]: 23, al-Nisa’ [4]: 82) juga menunjukkan bahwa seluruh ayat Al-Qur’an dapat dipahami.
Dalam pada itu, al-Tabataba’i juga menangkap bahwa kedua ayat di atas menunjukkan keharusan merenungkan ayat-ayat Al-Qur’an secara mendalam. Guna memperoleh pemahaman atas pesan-pesan yang disampaikan Al-Qur’an.
Perenungan atas ayat-ayat Al-Qur’an secara mendalam itu akan menyampaikan kepada pemahaman yang sempurna. Dengan perenungan yang mendalam pula, terdapat kesan kontradiksi yang acapkali tampak secara tekstual dalam beberapa bagian ayat Al-Qur’an akan bisa hilang.
Memahami Mutasyabihat
Pandangan al-Tabataba’i mengenai dapat dipahaminya ayat-ayat Al-Qur’an itu menyangkut keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an. Tak terkecuali terhadap ayat-ayat yang selama ini dinilai oleh kalangan ahli tafsir sebagai ayat-ayat mutasyabihat.
Di kalangan sementara mufassirin, ayat-ayat mutasyabihat sering dipahami dan diposisikan secara diametral terhadap ayat-ayat muhkamat dengan merujuk legitimasi pada ayat:
Artinya: Dia-lah yang menurunkan Al–Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: Kami beriman kepada ayatayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (dari padanya) melainkan orang-orang yang berakal.
Sebagian kalangan ahli tafsir memahami ayat muhkamat sebagai ayat-ayat yang maknanya telah jelas dan tegas. Sedangkan, ayat mutasyabihat dipahami sebagai ayat-ayat yang pengertiannya samar dan tersembunyi. Ayat muhkamat merupakan bagian Al-Qur’an yang harus diamalkan. Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat cukup diimani saja, tidak wajib diamalkan.
Secara umum, kalangan ahli tafsir berbeda pendapat mengenai dapat dipahami atau tidaknya ayat-ayat yang termasuk mutasyabihat. Di samping tentu saja mereka juga tidak sepakat dalam mengkatagorikan mana ayat-ayat yang termasuk muhkamat dan mana ayat-ayat yang mutasyabihat.
Polemik mengenai dapat tidaknya ayat-ayat mustasyabihat itu dipahami, juga dilatarbelakangi oleh perbedaan para ulama mengenai cara baca ayat di atas. Mereka yang berhenti (waqf) pada kata Allah (la ya’lamuha illa Allah) berpendapat bahwa hanya Allah saja yang dapat memahami ayat-ayat semacam itu.
Tetapi mereka yang melakukan waqf pada kata wa al-rasikhun fi al-ilm menilai bahwa orang-orang yang mendalam ilmunya (al-rasikhun fi al-ilm) juga bisa mengetahui makna ayat-ayat mutasyabihat semacam itu.
Tanggapan atas Ayat Mutasyabihat
Sehubungan dengan ayat-ayat mutasyabihat tersebut, kalangan ulama Sunni, dalam kajian atas kitab-kitab tafsir Sunni-Syiah-nya, menyikapi ayat-ayat tersebut dengan tiga cara.
Pertama, dalam prinsip-prinsip akidah, selalu berpegang pada arti-arti lahiriah. Tanpa menjelaskannya secara rinci mengenai perkara yang boleh dinisbatkan kepada Allah dan yang tidak.
Kedua, mengenai lafaz yang lahirnya tidak sesuai dengan kesucian zat dan sifat Allah. Maka wajib memalingkannya dari arti lahiriahnya dan berkeyakinan bahwa arti lahiriah itu bukanlah yang dikehendaki oleh Allah.
Ketiga, apabila ayat-ayat ini memiliki satu takwil, maka wajib dikemukakan secara ijma’. Jika lebih dari satu takwil, ada yang berusaha menakwilkannya (kelompok Mu’awwilah) dan ada yang menyerahkan maknanya kepada Allah swt (Mafawwidah).
Berbeda dengan pendapat di atas al-Tabataba’i tetap menilai semua ayat mutasyabihat dapat dipahami. Ia mempertanyakan, bagaimana mungkin perenungan terhadap Al-Qur’an bisa menghilangkan pertentangan bila di dalamnya terdapat ayat-ayat mutasyabihat yang tidak mungkin diketahui maknanya?
***
Sehubungan dengan ayat mutasyabihat ini, salah seorang murid al-Tabataba’i yang sangat dikaguminya, Murtadha Mutahhari, menyatakan bahwa, menganggap ada ayat-ayat yang tidak bisa dipahami maksudnya berarti mempertentangkan perkataan Al-Qur’an sendiri yang telah mengklaim diri sebagai cahaya dan prtunjuk.
Lebih jauh dikatakannya, bahwa munculnya isu tidak bisa dipahaminya ayat-ayat mutasyabihat adalah karena miskinnya bahasa manusia untuk mengemas pesan-pesan spiritual yang lembut yang ingin dikemukakan Allah Swt.
Karena pesan-pesan spiritual (yang demikian) itu harus bisa dipahami. Sedangkan untuk memahami hal-hal yang seperti itu, manusia tidak cukup memiliki kekayaan variasi bahasa.
Maka dengan bahasa manusialah, pesan-pesan tersebut dikemukakan. Dari inilah, muncul firman-firman Allah yang seringkali dirasakan tidak masuk akal. Yang kemudian dikenal sebagai ayat-ayat mutasyabihat tersebut.
Ayat Mutasyabihat Menurut Kalangan Syiah
Dalam pandangan Syiah, ayat-ayat yang diidentifikasi sebagai mutasyabihat itu bisa dipahami dengan merujukkan ayat-ayat tersebut kepada ayat-ayat lain yang termasuk dalam katagori muhkamat.
Suatu ayat dikatakan muhkamat manakala ia merupakan ayat-ayat usul yang pemahamannya bisa diperoleh tanpa melibatkan ayat lain. Sedangkan, suatu ayat dikatakan mutasyabihat manakala pengertian ayat tersebut hanya menjadi jelas dengan perantaraan ayat-ayat usul tersebut.
Dengan demikian, suatu ayat mutasyabihat menjadi muhkamat dengan perantaraan ayat-ayat muhkamat. Sedangkan, ayat muhkamat menjadi muhkamat dengan sendirinya. Inilah yang dalam Syiah dipahami sebagai ketergantungan ayat-ayat mutasyabihat terhadap ayat-ayat muhkamat.
Editor: Yahya FR