Wafatnya Profesor Azyumardi Azra di Selangor Malaysia pada 18 September 2022 membuat duka yang mendalam dan shock bagi masyarakat Indonesia, terutama komunitas akademiknya. Mengapa ia meninggal begitu cepat? Kenapa mendadak sekali? Mengapa pergi ke Malaysia? Setumpuk pertanyaan dan kekagetan mendengar meninggalnya Ketua Dewan Pers 2022-2025 ini.
Setelah wafatnya Buya Ahmad Syafii Maarif pada 27 Mei 2022, Azra dianggap sebagai referensi moral dan akademik yang membimbing perjalanan bangsa ini. Secara kepribadian, AA adalah orang berintegritas, beradi, berdedikasi, dan sederhana.
Ia tak takut melontarkan kritik kepada siapapun, termasuk presiden dan para pimpinan negara. Dalam hal ini, ia seperti Syafii Maarif yang sudah kehilangan “urat takut” dalam dirinya. Karena itu, wafatnya Azra pada usia 67 tahun (lahir 1955) sangat mengejutkan. Jika mengikuti usia Maarif, ia masih bisa menjadi lentera bagi bangsa ini hingga 20 tahun mendatang.
Akademisi Paripurna
Identitas yang paling dikenal dan melekat lama pada diri Azra adalah Guru Besar Sejarah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia adalah seorang akademisi paripurna, dihormati secara global dengar karya-karya pentingnya. Namun ia tidak hanya menulis di jurnal ilmiah bereputasi dan buku-buku yang diterbitkan penerbit internasional ternama, ia juga rutin menulis kolom dan analisa pendek di koran nasional, terutama Kompas dan Republika. Tulisan-tulisan pendeknya selalu muncul hampir tiap dua minggu sekali.
Sebagai cendekiawan, Azra tidak hanya menjadi pembicara di forum ilmiah dunia, tapi aktif juga menyampaikan pemikirannya di berbagai forum nasional dan bahkan lokal. Ia sering tampil di televisi, radio, dan diskusi-diskusi kecil yang diselenggarakan mahasiswa.
Ia juga beberapa kali terlihat sebagai khatib dalam khutbah Jum’at di masjid-masjid di Indonesia. Pendeknya, ia bersedia membagi ilmunya di masa saja tanpa pandang bulu. Kalau jadwalnya memungkinkan, ia akan memenuhi undangan berdiskusi dan berbagai ilmu dengan kelompok manapun.
Hal yang sangat istimewa dari Azra dalam berbagai kegiatan akademik adalah bahwa ia selalu hadir dengan makalah. Ini sesuatu yang luar biasa karena kebanyakan akademisi sesibuk Azra hanya hadir menyampaikan paparan secara lisan atau hanya menggunakan Power Point Presentations (PPT) yang kadang merupakan reproduksi dari forum-forum yang diikuti sebelumnya. Dalam hal ini, Azra hampir tidak memiliki tandingan.
Suatu hari penulis bertanya kepada Azra tentang rahasia bagaimana ia bisa sangat produktif di tengah jadwalnya yang begitu padat untuk mengajar, menjadi pembicara di berbagai forum, dan aktivitas lainnya. “Saya bangun jam 3.00 pagi dan menulis hingga jam 7.00 pagi. Setelah itu berangkat mengajar atau pergi ke kegiatan lain,” jawab Azra. Tentu perlu didekasi, komitmen, dan kedisiplinan yang kuat untuk terus konsisten seperti itu dan Azra bisa menjalaninya.
***
Di tengah kegilaan pada Scopus yang sedang menjangkiti akademisi Indonesia, Azra adalah model sarjana yang tak terjebak pada pengakuan intelektualis semu. Kalau melihat indeks Scopus dari Azra, ia berindeks 7. Namun siapa yang berani meragukan kadar intelektualitasnya? Masyarakat akademik dunia mengakui kehebatan dan kontribusi akademiknya yang tinggi melalui berbagai karya-karyanya.
Pengakuan akademik yang sebenarnya adalah berasal dari sirkuit pengetahuan dan simpul-simpul komunitas dalam disiplin-disiplin ilmu pengetahuan. Azra mendapatkan tempat yang sangat terhormat dalam hal ini. Sementara Scopus yang sekarang menjadi dewa para akademisi kita hanyalah kuantifikasi dari jumlah dan pengaruh publikasi di antaranya didasarkan pada sitasi. Angka ini bisa saja menipu atau tak menunjukkan pengaruh akademik seseorang karena bisa direkayasa.
Kisah-kisah pengakuan akan posisi akademik Azra sudah sering dijumpai dari profesor ternama dari berbagai belahan dunia, seperti Australia dan Amerika Serikat. Ini di antaranya ditulis oleh Fachry Ali dalam “Intelektual Merdeka” (Kompas, 19/9/2022) dan Sukidi dalam “Azyumardi Azra, Duta Islam Indonesia di Barat” (Kompas, 19/9.2022).
Tulisan ini hanya menambahkan satu contoh lagi dari ISEAS Yusof Ishak Institute, Singapura, tempat penulis menjadi fellow selama lima tahun. Setiap tahun ISEAS mengadakan seminar, konferensi, dan workshop tentang Indonesia.
Tiap kali membuat daftar pembicara, nama Azra selalu muncul di deretan pertama. Sampai muncul pertanyaan, “Do we have any other name?”. Ketika Azra tidak diundang di sebuah acara, bukan karena ia tak pantas dihadirkan. Itu semata karena panitia hanya ingin menampilkan nama lain saja.
Transformasi IAIN Menjadi UIN
Azyumardi Azra adalah tokoh yang identik dengan UIN Jakarta dan bahkan dialah tokoh yang pertama kali mentransformasikan IAIN menjadi UIN. Transformasi ini sangat penting untuk meng-upgrade peluang kerja bagi lulusan kampus ini.
Transformasi itu juga menempatkan kampus ini mendekati kampus negeri ternama yang ada di sekitarnya, seperti UI, ITB, dan IPB. Lebih dari itu, transformasi ini juga bermakna bagi pengembangan orientasi keilmuwan para santri yang sebelumnya lebih terfokus pada studi-studi agama saja.
Dulu IAIN itu sering diledek dengan panggilan “ang-ing-eng” dan dipandang sebelah mata. Ia adalah kampus pinggiran dan kelas bawah. Selain secara geografis tempatnya memang ada di pinggiran Jakarta, para mahasiswanya banyak berasal dari keluarga yang baru pertama kali mengenal perguruan tinggi.
Di tangan Azra, IAIN tidak hanya berubah menjadi UIN. Ia menjadi kampus yang disegani dunia. Ia memiliki jurnal Studia Islamika yang bereputasi tinggi dan menjadi outlet bagi ilmuwan-ilmuwan besar untuk menerbitkan karya-karyanya.
Jurnal ini dilahirkan oleh Azra tahun 1993. Studi agama juga bukan lagi ilmu yang tak punya gengsi dan bersifat normatif atau doktriner semata. Ia menjadi “scientific study of religion” dan sejajar dengan ilmu-ilmu lain.
Ia tidak hanya melihat agama sebagai doktrin, tapi juga sebagai fakta sosial dan sesuatu yang bersifat historis. Murid-murid Azra di UIN lantas mampu berkompetisi secara global dan bahkan menjadi pengajar di berbagai kampus di luar negeri, seperti Nadirsyah Hosen (Melbourne) dan Muhamad Ali (Riverside).
***
Meski IAIN telah bertransformasi menjadi UIN, satu hal yang menjadi kebanggaan IAIN sebagai “Kampus Pembaharu” tetap terjaga di tangan Azyumardi Azra. Kampus ini terus melahirkan pemikir-pemikir Islam yang progresif dan menjadi rujukan dalam studi dan praktik Islam di Indonesia. Bisa dikatakan bahwa UIN adalah pilar penting dari moderatisme Islam di Indonesia.
Jika selama ini hanya Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) yang sering disebut sebagai pilar moderasi beragama, maka sesungguhnya UIN adalah pilar ketiganya. Di sinilah lahir Harun Nasution, Nurcholish Madjid, Komaruddin Hidayat, Syafiq Hasyim, dan tentu saja Azyumardi Azra sendiri.
Berbagai peran intelektual, keagamaan, dan kebangsaan di atas lantas membawa Azra mendapat berbagai penghargaan, baik nasional maupun internasional. Dua di antara penghargaannya dari luar negeri adalah The Commander of the Order of British Empire (CBE) dari Ratu Elizabeth II, Kerajaan Inggris tahun 2010 dan The Order of the Rising Sun: Gold and Silver dari Kaisar Akihito, Jepang, tahun 2017. Sementara yang dari dalam negeri diantaranya adalah Sarwono Award yang diberikan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada peringatan 50 tahun lembaga ini tahun 2017.
Perbedaan Pandangan
Peran Azra di berbagai aspek kehidupan itu menjadi semakin terasa ketika ia meninggal dunia. Bangsa ini kehilangan “juru bicara Islam Indonesia” di kancah internasional, ditinggal oleh cendekiawan yang konsisten memberikan kritik-kritik konstruktif, tak lagi memiliki ilmuwan super-produktif dalam menulis dan berbagi ilmu.
Pada ulang tahunnya yang ke-66 pada 4 Maret 2021 yang lalu para murid dan koleganya menghadiahkan buku Karsa untuk Bangsa: 66 Tahun Sir Azyumardi Azra, CBE yang diedit oleh Muhamad Ali dan David Krisna Alka dan diterbitkan Kompas. Rupanya Azra meninggal sekitar setahun kemudian, usianya tidak mencapai 68 tahun.
Pada 5 Februari 2022 lalu, saya menulis status di Facebook terkait kontribusi saya untuk buku di atas yang berjudul “Ketika ‘Urat Saraf Takut’ Sudah Putus” (h. 179-184) dan mengaitkannya dengan sikap Azra terhadap pendirian Badan Riset dan Inovasi Sosial (BRIN):
“Terkait BRIN, posisi saya berbeda dari Pak Azyumardi Azra. Tapi itu tentu tak mengurangi sedikitpun hormat saya kepada beliau. Kritik-kritik yang disampaikannya sangat berharga untuk kebaikan bangsa ini. Mungkin kita di BRIN belum berkesempatan bersilaturahmi dan mengklarifikasi beberapa hal, sehingga terjadi perbedaan pandangan. Di buku ini saya bercerita tentang perjumpaan, kerjasama, rekomendasi, dan bimbingan yang diberikan Prof Azyumardi Azra dalam hidup dan karir saya. Yang terakhir tentu saja dalam proses professorship saya di LIPI Agustus 2020 lalu. Pak Azra adalah sosok yang terus memberi inspirasi dan menjadi model bagi akademisi. Meski telah memasuki usia 66 tahun, produktivitasnya tak menyurut. Ia bukanlah ilmuwan yg menjadikan disertasinya sebagai karya terakhir. Justru sebaliknya, ia semakin banyak melahirkan karya-karya baru seusai S3. Panjang umur dan sehat selalu, Pak! Terus menginspirasi bagi kita semua!”
***
Status di atas lantas direspon oleh Azra di Facebook Fanpage-nya pada 6 Februari 2022 sebagai berikut: “Perbedaan pendapat saya dengan Najib dan banyak lagi biasa saja karena didasari cara pandang, kecenderungan intelektual, pengalaman dan posisi yang berbeda. Mengambil posisi berbeda, biasanya saya tidak menjadikannya sebagai masalah personal di antara kita, kawan, karib kerabat atau senior-yunior”.
Selain terkait BRIN, ada perbedaan gradasi optmisme antara saya dan Azyumardi Azra dalam melihat perkembangan keagamaan di Indonesia. Pada 27 Oktober 2015 lalu, saya mendampingi Azra untuk menemui Bima Arya, Walikota Bogor. Kunjungan atasnama Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) itu terjadi setalah pelarangan peringatan Asyuro oleh komunitas Syiah di kota tersebut. Di sini dan di beberapa kesempatan lain menjadi terlihat bahwa Azra masih lebih optimis dalam melihat masa depan kerukunan agama di Indonesia.
Dalam berbagai forum Internasional, ia juga menjadi orang yang gigih menunjukkan bahwa Indonesia merupakan model dari toleransi beragama. Bagi saya, selama persoalan minoritas masih bermunculan, selama isu Syiah dan Ahmadiyah belum terselesaikan, maka masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan masyarakat dan pemerintah Indonesia. Selama persoalan Syiah Sampang, Ahmadiyah Transito, dan kasus-kasus minoritas lain belum terselesaikan, maka keberagamaan kita tak bisa disebut ideal. Ini yang mengurangi optimisme saya.
Meski ada perbedaan, hormat saya kepada Azra tak surut sedikit pun. Untuk mengenang dan melajutkan legacy dari Azyumardi Azra, perlu ada konferensi besar tentangnya. Perlu pencantuman namanya menjadi nama gedung utama di UIN Jakarta. Perlu menjadikan namanya sebagai nama jalan di sekitar UIN Jakarta.
Pertemuan Terakhir
Pagi itu (20/9) jam 3.30 pagi
Alhamdulillah masih berkesempatan mengunjungi guruku, Prof Azyumardi Azra
Bertemu secara fisik
Tapi aku tak bisa lagi mencium tanganmu
Tak bisa mendengarkan nasihatmu
Tak bisa menceritakan tentang keluargaku dan perkembangan anak-anakku
Meski aku duduk di depanmu, tak bisa kutatap wajahmu
Aku berdiam, membaca yasin, berdoa
Aku pandangi fotomu yang dipasang di samping keranda
Aku tak tahan untuk tak menangis
Aku tak sanggup menahan duka
Aku sholat jenazah dua kali
Ketika tiba di rumahmu dan ketika hendak pergi
Sebagai ganti salam dan mencium tanganmu
Ini terakhir aku bisa berjumpa dengan dirimu
Sebelum engkau dibawa ke taman pahlawan
Sebelum jasadmu diistirahatkan di sana
Sebelum aku tak bisa lagi melihatmu
Istirahatlah guruku
Engkau tak harus bangun jam tiga pagi lagi
Untuk menulis sebelum berangkat mengajar
Tugasmu sudah usai
Kami akan berusaha melanjutkan
Al-fatihah!
Editor: Yahya FR