Yogyakarta-IBTimes.ID-Pengajian Ramadhan Pimpinan Pusat Muhammadiyah sesi ketiga (11/5), membahas topik “Risalah Pencerahan: Aktualisasi dalam Kehidupan Kebangsaan”. Pada sesi kali ini menghadirkan Azyumardi Azra, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Salah satu peserta pengajian mengajukan pertanyaan tentang bagaimana konsep dan tradisi demokrasi berdasarkan “Permusyawaratan Perwakilan” yang sangat baik diterapkan di Muhammadiyah dapat menjadi alternatif perbaikan demokrasi Indonesia.
Menurut Azra, sistem politik yang diterapkan di Indonesia, memang bukanlah sistem yang sempurna, namun juga memiliki kelebihan. “Kita perlu menegaskan bahwa sistem politik demokrasi bukanlah sistem yang sempurna. Ada kelemahannya, ada batas-batasnya, tetapi sistem politik demokrasi merupakan sistem yang paling sedikit mudharatnya dibanding sistem politik yang lain misalnya teokrasi atau kediktatoran. Oleh karena itu, perlu konsolidasi terus-menerus” ulas Azra.
Untuk mengembalikan pada demokrasi ala Pancasila sila keempat, Azra menyatakan “saya kira beberapa tahun yang lalu di masa Presiden SBY ada upaya untuk mengambalikan pemilihan Kepala Daerah (Bupati dan Walikota) ke DPRD dan Gubernur diangkat oleh Presiden. Sehingga kemudian politik transaksional pada tingkat Bupati, Walikota serta Gubernur menjadi berkurang. Paling nanti kalau ada money politic-nya itu hanya terjadi di tingkat DPRD masing-masing yang lebih terbatas. Sudah disetujui oleh DPR undang-undangnya, tetapi kemudian dibatalkan oleh Presiden SBY, diganti oleh Perppu yang kemudian mengembalikan ke Pilkada. Dan itulah yang menimbulkan kekacauan-kekacauan seperti meluasnya politik uang, transaksional dan lain sebagainya. Oleh karena itu, perlu ada upaya pengembalian kepada sila keempat tentang “permusyawaratan perwakilan” saya kira itu lebih baik”.
Akan tetapi, Azra menekankan hal penting bahwa kita memang tetap perlu berkeluh kesah, tetapi pada saat yang sama kita harus bisa memperbaiki. “Walaupun dalam proses-proses demokrasi, Muhammadiyah belum mengambil manfaat dari itu” tambahnya.
Konsekuensi ini tidak bisa dielakkan dari pilihan gerakan Muhammadiyah yang cenderung non-politik, a-politis atau netral dalam politik, berbeda dengan NU. Jika dilihat dalam pileg yang baru ini, menurut sementara catatan dari KPU, NU mengalami kenaikan hampir mencapai 9 persen. Sementara, partai yang selalu diasosiasikan dengan Muhammadiyah, meskipun tidak sepenuhnya benar, PAN Misalnya, mengalami kemerosostan yang menurutnya perlu dikaji kembali.
“Menurut saya, langkah Muhammadiyah untuk memilih tidak berpolitik (politic disengagement) merupakan pilihan yang benar. Karena dengan itu kemudian Muhammadiyah bebas dalam melakukan upaya-upaya pencerahan dan menyampaikan risalah pencerahan, tidak tertarik dan tidak terpecah pada tarikan-tarikan politik yang ada. Muhammadiyah harus mencari cara baru untuk menyuarakan kepentingan-kepentingan politik Muhammadiyah, mungkin tidak cukup lagi melalui partai, DPD , DPR RI atau melalui jalur-jalur politik formal. Melainkan, melalui jalur informal. Hal ini mungkin bisa menjadi tema pembahasan pada muktamar tahun depan” ulas Azra.
Jika dilihat dari konteks keindonesiaan, dari sisi negatifnya, tentu sangatlah banyak. Kalau dalam pemilu, mungkin juga terdapat kecurangan dan banyak anggota KPPS yang meninggal yang mana itu merupakan sisi negatifnya. Tapi jangan lupa, saat melihat sisi negatif, kita juga tidak lupa untuk bersyukur banyak-banyak bahwa pemilu itu berjalan dengan lancar, aman, tidak ada kerusuhan tidak ada perkelahian dan tidak ada huru-hara.
“Ini perlu disyukuri, karena Indonesia itu, menurut saya, ialah satu-satunya negara muslim yang masih damai. Cobalah lihat negara muslim lain, tidak ada yang damai, misal, di Timur Tengah. Yaitu, Aljazair Tunisia, Libya, Mesir, Yaman, Arab Saudi semuanya mengalami krisis politik. Oleh karena itu kewajiban kita yaitu Muhammadiyah untuk menjaga dan memelihara Indonesia. Jika Indonesia kacau dalam skala yang luas, maka yang rugi ialah umat Islam” pungkasnya.
Hal itu disebabkan jika umat Islam ingin mengungsi dan mencari suaka, maka tidaklah mudah. Karena negara seperti Australia, Amerika atau negara Eropa lain hanya menerima suaka dari kelompok minoritas (non-muslim). Apalagi model negara yang islamophobic.
“Jadi umat Islam di Indonesia ini, kalau terjadi kekacauan, maka akan menerima mudharat yang paling banyak, pun sebaliknya. Meskipun ada pemincangan atau kemiskinan di Indonesia ,kita juga patut untuk bersyukur juga” tambah Azra.
Kita berhak mengeluh, kita berhak komplain. Namun, jangan lupa kita juga bersyukur. Jika kita hanya mengeluh, maka yang terlihat di depan hanya gelap saja tidak ada masa depan. Kita perlu menanamkan rasa syukur dan kebanggaan. Kita boleh mengeluh, tapi jangan mengeluh dalam waktu yang lama. Selain itu, jangan terus pikiran kita dikuasai oleh teori-teori yang konspiratif, seolah olah semua orang berusaha menghancurkan kita. “Jika kita belajar di Timur Tengah, masalah-masalah yang dihadapi oleh umat islam ialah karena ketidakmampuan mereka menyelesaikan masalah secara damai, lihat saja Negara Arab Saudi bermusuhan dengan Qatar, Arab dengan Yaman. Juga Afghanistan yang setengah abad tidak selesai-selesai perang” tandasnya.
Kembali ke Nash dan Akal Sehat
Setelah Pilpres berakhir, seyogyanya kita harus kembali kepada nalar pada akal sehat, jangan terlalu banyak dipenuhi oleh pikiran-pikiran konspiratif, jika ada masalah mari diselesaikan bersama-sama supaya aset umat Islam yang begitu kaya atau Muhammadiyah akan terjaga. “Tugas kita yaitu bagaimana membangun pribadi-pribadi yang berintegritas” imbuh Azra.
Menurut Azra sejatinya, makna pencerahan ialah pencerahan yang membebaskan umat dari belenggu-belenggu masa silam/lampau.
Dalam Islam, terdapat perintah untuk selalu kembali kepada Alquran dan As-Sunnah (ar-ruju’ ila Al-Qur’an dan Assunnah), namun harus diiringi dengan imajinasi kreatif di dalamnya. “Saya kira itu (ar-ruju’ ila Al-Qur’an dan Assunnah) yang harus diperkuat. Muhammadiyah juga berorientasi ke belakang (ar-ruju’ ila Al-Qur’an dan Assunnah)” ungkap Azra. Menurutnya kembali ke masa silam tanpa diiringi imajinasi kreatif tidak bisa membawa kerangka berkemajuan. Maka implikasinya, model Islam yang hadir ialah Islam yang restriktif (kaku/kolot).
Sebaliknya, konsep (ar-ruju’ ila Al-Qur’an dan Assunnah) versi Muhammadiyah justru memantik ide kreatif. “Ar-ruju’ ila Al-Qur’an dan Assunnah Muhammadiyah justru memantik tafsiran-tafsiran yang menghasilkan banyak institusi, kampus UAD,UMY, UMM dan UNISA itu buktinya. Anggapan bahwa ar-ruju’ ila Al-Qur’an dan Assunnah yang dianggap sebagian orang hanya berbicara Islam yang murni atau bersih dari TBC (Tahayyul, Bid’ah dan Churafat), justru membebaskan dan memunculkan Islam berkemajuan” ujarnya.
Ada kelompok yang ingin kembali ke masa-masa awal Islam, namun malah membuat mereka tak bisa bergerak, seperti menolak modernisme, ilmu-ilmu sains dan teknologi. Jika ar-ruju’ ila Al-Qur’an dan Assunnah, maka sangatlah literal-minded (sempit pikir). Maka, risalah pencerahan tidak akan muncul.
Azra beranggapan bahwa risalah pencerahan Muhammadiyah memiliki tantangan yang signifikan. “Praksis Muhammadiyah dulu, pada tahun 1980-an, tidaklah berat seperti sekarang. Dulu, risalah pencerahan tidak terlalu menghadapi tantangan. Sekarang, ada tantangan post truth. Kita dengan keterbukaan pada dunia digital, tidak mengetahui lagi mana yang benar dan mana yang salah” kata Azra.
Menurutnya, disrupsi sudah terjadi di berbagai bidang. Mulai dari bidang dakwah dan pendidikan. Mahasiswa tidak lagi memiliki pemahaman yang lengkap dan menyeluruh mengenai risalah pencerahan Muhammadiyah dan Islam berkemajuan. Maka dari itu, Muhammadiyah harus mengadakan konsolidasi risalah pencerahan.“Saya kira, ini memerlukan konsolidasi yang tidak bersifat fisik, namun konsolidasi dalam risalah pencerahan pikiran” pungkasnya.