Oleh: Abdul Rasyid*
Dewasa ini, suasana kehidupan berbangsa dan bernegara semakin mencekam. Padahal sesama warga negara, hanya saja berlainan keyakinan kemudian kisruh hanya karena ada oknum yang sengaja mem-viral-kan video potongan. Sebenarnya, video tersebut tidak bermaksud menghina agama tertentu.
Kemudian konflik antar sesama umat Islam karena perbedaan sikap politik dan ideologi, membuat suasana menjadi lebih keruh. Ditambah dengan munculnya NKRI Syariah yang seolah-olah negara ini jauh dari nilai-nilai agama.
Tampak ukhuwah wathoniyah antar warga negara sudah mulai tergeroti. Oleh karena itu, perlu upaya untuk menambalnya agar perpecahan dapat terhindarkan.
Faktor Penyebab
Persoalan tersebut muncul karena disebabkan oleh setidaknya dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang menyebabkan terjadi gejolak di tengah-tengah masyarakat beragama adalah kegagalan dalam memahami sejarah bangsa dan negara ini.
Boleh jadi sama sekali tidak mengetahui akar sejarah dari bangsa dan negara ini sehingga missed. Adapun faktor eksternalnya yaitu boleh jadi ada pihak yang sengaja ingin memecah belah persatuan dan kesatuan antar umat beragama.
Oleh karena itu, isu tentang agama seringkali dijadikan sebagai senjata paling ampuh untuk meretakkan hubungan antar umat beragama.
Misalnya terkait isu radikalisme. Menurut Prof Amin Abdullah (2019) proyek meredam radikalisme agama santer dipropagandakan akhir-akhir ini. Paham Wahhabi yang mengusung semangat puritanisme (pemurnian) Islam dituduh sebagai sumber paham radikalisme.
Dengan karakteristik yang radikal, paham Wahhabi, disinyalir menjadi salah satu sumber inspirasi gerakan terorisme di tanah air. Memahami permasalahan ini sebenarnya sangat kompleks.
Satu faktor tidak bisa dijadikan sebagai sumber untuk memberikan penilaian. Persoalan ini melibatkan banyak faktor, seperti faktor politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Persoalan bermuara pada keadilan.
Jika problem ini belum ada solusi atau keadilan belum dapat ditegakkan, orang akan dengan mudah menjadikan agama sebagai legitimasi untuk meruntuhkan rezim.
Suasana keberagamaan di Indonesia semakin menjadi-jadi semenjak adanya hajatan politik seperti pemilihan presiden dan legislatif. Ketika agama dijadikan sebagai alat politik tentu akan memperkeruh suasana keberagamaan yang telah terjalin dengan baik.
Kemudian disusul dengan munculnya gerakan Aksi 212 yang bernuansa politis. Menurut Prof Amin, lahirnya Aksi 212 sebenarnya tidak lepas dari pengaruh peristiwa Reformasi 1998 yang telah membuka kran demokrasi Indonesia.
Ketika aspirasi umat Islam lewat organisasi-organisasi Islam maupun Partai-partai Islam tidak terakomodasi dan tersalurkan, maka lahirlah gelombang massa oposisi. Yang mana, memiliki kepentingan politik tertentu di luar organisasi-organisasi Islam maupun Partai-partai Islam yang telah mapan.
Berbagai Macam Wajah Islam
Gejala yang demikian itu memang dampak dari worldview dalam demokrasi. Karena setiap individu memang dijamin kebebasan untuk berpendapat dan manyalurkan apsirasi. Dalam konteks semacam ini, menurut Prof Amin, kita tidak bisa melihat Islam secara monolitik.
Wajah Islam itu bermacam-macam. Di dalam negeri saja, hitungannya sudah tidak cukup menggunakan jari-jari. Kita sebut saja Muhammadiyah, NU, Persis, Perti, Nahdatul Wathan, HTI, FPI, Laskar Jundullah, Mujahidin, dan lain-lain.
Meskipun banyak dan beragam, situasi di Indonesia tidak ada kejadian brutal seperti di Timur Tengah. Nilai-nilai keindonesiaan perlu dirawat secara terus-menerus.
Pada prinsipnya, manusia adalah makhluk sosial dan tidak hidup sendiri. Terlebih-lebih pada era modern seperti sekarang ini, kita semua hidup sebagai “warga dunia” world citizen. Kemudian kenyataan bahwa bangsa Indonesia dari dahulu hingga sekarang hidup di tengah keberagamaan suku, ras, dan agama.
Umat Islam dan Kesadaran Baru
Dengan demikian, baik umat Islam dan seluruh umat beragama lainnya membutuhkan kesadaran baru. Yaitu, kesadaran bahwa kita sedang hidup bersama dengan orang lain. mereka memiliki latar belakang kewarganegaraan, agama, sosial, budaya, dan politik yang berbeda-beda.
Fatalnya seringkali antar umat beragama tidak memahami hal tersebut. Kita hidup di Indonesia sebagai “warga negara Indonesia” dengan kenyataan bahwa bangsa Indonesia beragam agama, suku, ras, etnis, organisasi keagamaannya. Bahkan berbeda pilihan politiknya. Ketika satu sama lain tidak saling memahami, akhirnya ketika ada gesekan sedikit kita mudah terpecah belah.
Apabila kita menengok sejarah ke belakang, kejadian-kejadian hari ini yang sarat politis dan membentur-benturkan antara agama, suku, dan ras tentunya sangat menyedihkan. Bagaimana tidak? Para pendiri bangsa dan negara ini telah berusaha untuk menghindari pertumpahan darah. Juga perbedaan yang ada dengan menurunkan egonya demi persatuan dan kesatuan antar bangsa dan negara.
Sumpah Pemuda 1928 yang mampu menyatukan pemuda-pemudi dari berbagai wilayah, suku, dan agama telah membuktikan bahwa perbedaan bukanlah suatu penghambat tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Babak Baru Umat Islam Indonesia: Meneladani Pendahulu
Suasana semakin mencekam ketika penentuan 7 kata dalam Pembukaan UUD (Piagam Jakarta) “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang telah diperjuangkan dengan susah payah oleh wakil Islam melalui perdebatan yang tidak ringan, tapi Indonesia bagian timur (golongan Protestan dan Katolik) lepas dari Republik.
Atau, menerima penghapusan 7 kata itu dan Indonesia yang baru merdeka tidak akan terbelah. Waktunya sangat singkat (15 menit) untuk sebuah keputusan berat dan besar.
Dalam waktu kurang 15 menit Ki Bagus Hadikusumo memberikan jawaban menerima pencoretan kata Islami dalam Piagam Jakarta. Demi keutuhan dan persatuan bangsa dengan syarat kata-kata setelah Ketuhanan diganti dengan Yang Maha Esa. Sehingga menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, usul ini diterima.
Ketika Prawoto bertanya tentang arti Ketuhanan Yang Maha Esa ini, Ki Bagus menjawab “Tauhid.” Itulah sebabnya Projokusumo mengatakan bahwa kunci Pancasila sebetulnya ada di tangan Ki Bagus.
Meskipun secara pribadi kecewa, akan tetapi Ki Bagus tetap tampil sebagai seorang pemimpin Muslim patriot dan nasionalis yang sederhana dan tangguh. Ia telah memberikan sumbangan politik dan konstitusional yang sangat besar bagi bangsa.
Rasanya sejarah tentang awal berdirinya bangsa dan negara ini diabaikan begitu saja. Hal inilah yang menyebabkan missed (gagal paham). Kemudian menyebabkan terjadi perpecahan, konflik yang berujung pada meradangnya kondisi antar anak bangsa dan umat beragama.
Padahal sudah jelas bahwa para pendahulu kita sudah mencontohkan dengan keteladanan yang luar biasa. Mengutamakan persatuan bangsa daripada kepentingan golongannya. Islam telah menjadi ruh bangsa dan negara ini meskipun tidak dengan simbol-simbol Islam.
Jadi tidak perlu ada istilah NKRI Syariah, sebab sejak awal berdirinya negara ini sudah sesuai dengan prinsip-prinsip agama sebagaimana yang tertuang dalam Pancasila. Mari kita rawat bersama-sama negara ini dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika, berbeda namun tetap satu, Indonesia.
*Komite Nasional Kader Hijau Muhammadiyah