Mendalami Al-Qur’an dengan pendekatan psikologi merupakan suatu proses yang cukup menyenangkan. Bagaimana tidak, sejatinya belajar psikologi ialah belajar tentang diri sendiri, kemudian mengaitkannya berdasarkan apa yang telah disebutkan oleh Al-Qur’an.
Meski Al-Qur’an bukanlah kitab psikologi, namun telah disebutkan dalam Al-Qur’an bagaimana watak dan karakteristik manusia. Salah satunya karakteristik manusia ialah memiliki harapan.
Kebanyakan dari setiap manusia pasti memiliki harapan, namun tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian yang lain kehilangan harapan. Harapan merupakan suatu tingkat optimisme menuju kepada suatu perubahan yang lebih baik.
Harapan dalam Al-Qur’an disebut dengan lafal rajaa yang berarti mengharapkan. Lafal rajaa disebutkan sebanyak 26 kali dengan berbagai macam derivasi kata.
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ
Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan salat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.
Penjelasan dalam Tafsir Ibn Asyur
Dalam tafsirnya, Ibn Asyur menjelaskan maksud atau penafsiran dari إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ ialah bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang menerima kitab ialah mereka para ulama yang senantiasa memiliki rasa takut kepada Allah Swt. Selain itu, para ulama ialah mereka yang memiliki keinginan atau ketertarikan terhadap ilmu-ilmu syariat yang terdiri dari ilmu aqidah, akhlak, dan ilmu hukum syariat.
Pemakaian fi’il mudhari’ pada lafal yatluu tersebut menjelaskan bahwa ketika Al-Qur’an diturunkan, mereka mengenalinya dan mempelajarinya. Kemudian, kata selanjutnya diikuti dengan kalimat وَأَقَامُوا الصَّلاةَ menunjukkan bahwa tanda diterimanya iman dan ilmu mereka. Mendirikan shalat merupakan amal yang mulia di antara amaliyah badaniyah. Kemudian selanjutnya diikuti dengan kalimat وَأَنْفَقُوا yang menunjukkan amaliyah batiniyah yaitu infaq. Infaq ialah shadaqah yang disukai oleh Allah.
Penggunaan fi’il madhi dalam perintah shalat dan infaq menjelaskan bahwa perintah shalat dan infaq sudah ada sejak dulu dan bukan merupakan sesuatu yang baru. Pada kalimat مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ menjelaskan bahwa infaq merupakan tanda syukur atas nikmat Allah yang berupa rezeki yang telah Ia berikan keoada hambanya.
Mereka mendermakan harta mereka kepada mereka yang memiliki kehendak. Baik mereka menginfakkan secara diam-diam maupun terang-terangan. Isyarat berinfak secara diam-diam maupun terang-ternagan memiliki maksud tersendiri.
***
Menginfakkan harta secara diam-diam bermaksud bahwa cara tersebut merupakan cara yang paling afdhol untuk menepis adanya rasa riya’. Serta isyarat menginfakkan harta secara terang-terangan bermaksud bahwa infak tersebut merupakan salah satu aspek pantauan yang bisa dilakukan oleh seorang mukmin kepada orang kafir yang telah menyatakan bahwa dirinya telah beriman.
Orang mukmin dengan segala proses penghambaan yang telah dilakukan mengharap setiap amalan yang mereka lakukan diibaratkan sebagai suatu perdagangan yang tidak akan pernah rugi.
Dalam ayat tersebut dapat kita ketahui bahwa harapan dalam Islam tidak serta merta hanya sebuah harapan kosong tanpa adanya suatu usaha atau amal. Harapan dalam Islam lebih menekankan kepada usaha, di mana setelah seseorang melakukan seluruh amaliyah baru ia berharap. Berharap bukanlah kepada makhluk, melainkan berharap kepada Sang Pencipta.
Penjelasan dalam Tafsir Al-Munir
Dalam tafsir Al-Munir dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ ialah mereka yang senantiasa berulang-ulang dalam tilawah Al-Qur’an. وَأَقَامُوا الصَّلاةَ ialah mereka yang senantiasa mengistiqomahkan untuk menunaikan shalat pada waktunya dengan kesempurnaan rukun-rukunnya dan berdzikir kepada-Nya. وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلانِيَةً mereka yang menginfakkan hartanya baik secara diam-diam maupun terang-terangan.
Namun, diam-diam merupakan cara yang lebih utama. يَرْجُونَ تِجَارَةً yang dimaksud ialah mendapatkan hasil dari ketaatan yang telah mereka lakukan. Berharap kepada Allah merupakan salah satu tanda keikhlasan.
Apabila kita munasabahkan dengan ayat setelah nya, yaitu surat Fathir: 30 berbunyi:
لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ
Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.
Memaknai Harapan
Dari ayat tersebut dapat kita ketahui bahwa seorang mukmin dengan segala ketaatan yang dilakukannya, ia mengharapkan pengampunan, dan penyempurnaan pahala dan tambahan karunia dari Allah Swt.
Dalam psikologi, harapan merupakan keseluruhan dari kemampuan yang dimiliki individu untuk menghasilkan jalur untuk mencapai tujuan yang dinginkan. Harapan ialah suatu keadaan termotovasi yang positif didasarkan pada hubungan interkatif antara energi yang mengarah pada tujuan dan rencana untuk mencapai tujuan tersebut.
Dengan konsep ini, maka harapan akan menjadi lebih kuat kemungkinannya untuk dicapai apabila disertai dengan adanya tujuan yang bernilai yang memiliki kemungkinan untuk dapat dicapai.
Dalam sebuah harapan yang disertai dengan usaha untuk mencapai tujuan, terdapat beberapa faktor yang akan mempengaruhi harapan tersebut, yaitu:
- Seberapa bernilainya tujuan atau hasil yang ingin dicapai.
- Seberapa penting kontribusi dari jalur yang digunakan dalam mencapai harapan dengan tujuan dari harapan itu sendiri.
- Seberapa efektif dan berpotensinya individu dalam mengikuti jalur yang digunakan untuk mencapau tujuan tersebut.
Dalam teori, harapan terdapat tiga penekanan yang memiliki peran yang cukup besar, yaitu hambatan, stressor, dan emosi. Ketika bertemu dengan hambatan yang menghalangi sebuah pencapaian dari tujuan yang diingankan, seorang individu menilainya bahwa dalam kondisi tersebut dirinya berada pada kondisi stress.
Maka dari penjelasan tersebut, hal lain yang akan terjadi ialah munculnya emosi. Emosi terbagi menjadi dua, yaitu emosi positif dan emosi negatif. Emosi positif berkaitan dengan persepsi akan keberhasilan dalam pencapaian tujuan. Sedangkan, emosi negatif akan memunculkan persepsi kegagalan akan tujuan yang ingin dicapai.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa harapan ialah suatu kemampuan seseorang untuk menghasilkan motivasi atau dorongan serta suatu cara tersendiri dalam mencapai tujuan yang diinginkan.
Beberapa Aspek yang Harus Diperhatikan
Menurut Snyder, seorang psikolog alam, sebuah harapan terdapat aspek-aspek yang harus diperhatikan, yaitu:
- Tujuan (goal), tujuan dalam sebuah harapan yang ingin dicapai bisa berupa tujuan jangka pendek maupun tujuan jangka panjang. Namun hal terpenting yang harus diperhatikan ialah tujuan yang ingin dicapai harus memiliki nilai yang cukup tinggi untuk melahirkan sebuah dorongan motivasi.
- Cara untuk mencapai tujuan (pathway thinking), proses seseorang dalam mencapai tujuan yang diinginkan, maka seorang individu harus memiliki rasa kepercayaan diri bahwa dirinya mampu untuk menggunakan cara tersebut dan mengembangkannya untuk mencapai tujuan. Cara tersebut harus penuh dengan pertimbangan untuk menentukan mana cara yang terbaik yang akan ditempuh.
- Kemampuan untuk menggunakan jalur yang dipilih (Agency Thinking), seorang individu harus mengetahui kapasitas dan kemampuan diri yang disertai dengan motivasi yang cukup dalam melewati jalur yang digunakan untuk mencapai sebuah harapan.
***
Ketika melakukan analisa untuk mencari pemahaman baru melalui teori harapan Snyder pada surat Fathir: 29 bahwa:
- Tujuan (goal)
لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ
Mereka mengharapkan ampunan karena Allah adalah dzat yang maha pengampun, serta mengharapkan penyempurnaan pahala dan tambahan karunia yang akan diberikan oleh Allah Swt.
- Cara untuk mencapai tujuan (pathway thinking)
يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ
Cara yang mereka tempuh untuk memperoleh semua harapan yang telah ia harapkan ialah dengan menerima (mempelajari) Al-Qur’an, mendirikan shalat, dan berinfak atas apa yang telah Allah berikan.
- Kemampuan untuk menggunakan jalur yang dipilih (Agency Thinking)
Kemampuan serta motuvasi yang cukup terhadap cara yang telah dipilih dengan tujuan untuk mendapatkan apa yang diharapkannya. Maka dapat kita lihat dari penafsiran Wahbah Zuhaili dalam tafsir Al-Munir bahwa yang dimaksud dengan “mereka yang menerima Al-Qur’an” ialah mereka yang melakukan tilawah Al-Qur’an secara berulang-ulang.
Maksud dari “mereka yang telah menunaikan shalat” ialah mereka yang beristiqomah untuk menunaikan shalat pada waktunya, dengan kesempurnaan rukun-rukunnya dan berdzikir ke pada-Nya. Dan yang dimaksud dengan “berinfak” ialah mereka yang menginfakkan hartanya secara diam-diam.
Boleh saya minta sumber penjelasan QS. Fathir menurut Al Munir untuk skripsi saya?