Tentu pada setiap usaha penjabaran suatu objek, sebelumnya diperlukan pendefinisian atas objek itu. Tidak terkecuali bagi eksistensi—atau katakanlah–wujud jika menggunakan terma yang umum dalam filsafat Islam. Definisi memiliki fungsi penting yakni agar peneliti dapat membatasi objek kajiannya.
Dengan memiliki definisi, usaha memahami objek itu dapat secara akurat dan sistematis dilakukan. Definisi juga membantu mengantisipasi diskusi berubah menjadi perdebatan yang pada akhirnya tidak akan menemukan titik temu atau ujung. Perhatikan, bagaimana debat kusir seringnya terjadi karena sejak mulanya definisi dari suatu objek diskusi tidak selaras satu sama lain.
Dalam filsafat Islam, perihal wujud mendapat perhatian yang paling serius. Beberapa ilmuan seperti Alparslan Acikgenc dan S.M.N. Alattas mengetengahkan pandangan bahwa khazanah filsafat Islam didominasi persoalan ontologis. Dari berbagai isu ontologi, eksistensi adalah satu di antara yang paling banyak dikaji para filsuf muslim.
Bukan main-main pula, filsuf-filsuf yang pernah mendiskusikan persoalan eksistensi termasuk yang paling disegani, seperti, Ibnu Sina, Suhrawardi, hingga Mulla Sadra. Maka tak heran bila dalam kajian filsafat Islam paling terkini, masalah wujud (eksistensi) terus mengemuka.
Persoalan wujud itu tentu meliputi definisi atau makna wujud. Serta, bagaimana cara manusia dapat memahami atau mengenal wujud.
Manusia Memahami Wujud Secara Intuitif
Menariknya, pasal pertama dalam persoalan wujud menyatakan bahwa makna atau konsep dari wujud itu dapat langsung dipahami oleh manusia. Tidak perlu penalaran yang muluk-muluk dan panjang. Semua orang dapat mengerti secara otomatis apa itu wujud atau eksistensi.
Argumentasi untuk tesis ini turut ditopang oleh sistem pengetahuan Islam. Berdasarkan epistemologi Islam terdapat dua jenis pengetahuan. Pengetahuan pertama adalah yang dicapai melalui proses penginputan indrawi dan pengolahan mental. Sedangkan, pengetahuan jenis kedua adalah pengetahuan yang ‘dihadirkan’ dalam jiwa.
Nama orang, konsep pagi dan malam, bahasa yang kita gunakan untuk berkomunikasi, adalah berbagai hal yang memerlukan pembelajaran individu terhadap lingkungan. Bagian inilah yang disebut sebagai pengetahuan kehasilan (husuli).
Sedangkan satu jenis pengetahuan lain disebut sebagai pengetahuan kehadiran (huduri) yaitu pengetahuan yang ‘tiba dalam jiwa’. Pengetahuan jenis ini juga kadang disebut pengetahuan intuitif mengingat bahwa intuisi itu sering disebut sebagai elemen jiwa yang menerima datangnya ilmu huduri.
Pengetahuan mengenai konsep dasar wujud adalah pengetahuan huduri. Setiap manusia dapat mengerti begitu saja apa yang dimaksud dengan wujud atau eksistensi.
Anak kecil, misalnya. Mereka tahu bahwa ayah dan ibu mereka memiliki eksistensi atau ‘Ada’. Tanpa perlu mengklarifikasi definisi ‘Ada’, si anak mengerti yang dimaksud dengan ‘Ada’.
Begitupun saya, Anda, mereka, benda-benda langit, dan hewan-hewan, semuanya ‘Ada’. Di sinilah ‘Ada’ atau eksistensi merupakan pengetahuan yang dihadirkan Tuhan dalam jiwa, sehingga kita tidak perlu repot-repot ‘mencari maknanya’. Kita mengerti makna ‘Ada’ begitu saja.
Demikianlah, jika kita mengutip perkataan Mizbah Yazdi, bahwa wujud adalah ‘salah satu konsep yang paling swanyata (jelas dengan sendirinya) yang diabstraksikan oleh akal dari segala sesuatu’. Bukti lainnya, kata beliau, bahwa pengetahuan yang paling dasar pun kita bentuk dengan predikat ‘Ada’ (contoh: Saya Ada, Tuhan Ada, Jokowi Ada).
Tanpa pengakuan kita kepada wujud (eksistensi) atau tanpa kehadiran pengetahuan ‘keadakahan sederhana’ itu, maka pengetahuan lain yang lebih kompleks akan jadi mustahil untuk kita adakan. Jelaslah disini bahwa wujud, eksistensi atau ‘Ada’ merupakan konsep yang niscaya (badihi) kita miliki dalam benak kita.
Kemustahilan Definisi Wujud
Maka berikutnya kita akan masuk kepada pasal kedua soalan wujud (eksistensi) dalam filsafat Islam. Bahwa wujud adalah hal yang mustahil untuk didefinisikan.
Salah satu argumentasi yang diajukan adalah bahwa definisi merupakan usaha untuk menghasilkan pernyataan yang menjelaskan objek pendefinisian. Percuma melakukan pendefinisian jika definisi yang akan dimunculkan itu tidak lebih jelas dari kata yang hendak didefinisikan.
Adapun wujud telah dapat kita ‘rasakan’ secara sangat jelas atau gamblang dalam benak kita. Bahwa kita mengerti sesuatu sebagai wujud dan itu mustahil didefinisikan dengan kata-kata secara lebih lengkap dan lebih jelas dari apa yang kita rasakan.
Filsuf menambahkan pula jika membuat definisi wujud adalah mustahil karena tidak mungkin diproduksi definisi yang meliputi kesegenapan wujud. Bukankah semuanya wujud (eksis/ada)?.
Manusia, hewan, tumbuhan, matahari, bulan dan perangkat yang kita gunakan semuanya wujud (ada/eksis). Apakah yang ada diluar wujud? Hanya ketiadaan! Ketiadaan adalah kontradiksi dari wujud itu juga.
Nah, sama halnya dengan wujud atau ada, kita dapat mengenal makna dari ketiadaan. Bahwa keduanya adalah kontradiksi secara makna. Anak kecil, hingga tua dapat mengerti secara intuitif antara ‘Ada’ dan ‘Tidak ada’.
Berikutnya pula kita dapat mendukung tesis kemustahilan definisi wujud dengan menggunakan prinsip definisi dalam logika. Definisi memerlukan genus dan diferensia. Misalkan saja manusia, biasanya kita definisikan sebagai hewan yang berakal. ‘Hewan’ adalah genus bagi manusia, sedangkan ‘berakal’ adalah diferensia bagi manusia.
Dengan mengubah diferensia kita dapat mengubah objek yang sedang didefinisikan. Misal, hewan yang ‘berkicau’ berarti burung. Sedangkan, hewan ‘yang meringkih’ berarti kuda.
Kesimpulannya, dalam hal wujud akan mustahil diterapkan prinsip logis definisi. Wujud adalah genus yang tidak memiliki diferensia. Jika pun wujud dipaksakan dalam bentuk genus dan diferensia, maka yang dapat dihasilkan adalah ‘Ada yang Ada’.
Disini ketimbang sebuah definisi kita hanya akan berputar-putar kepada sinonim dari wujud. Diantara kata-kata yang sepadan maknanya dengan wujud adalah ‘realitas (real), keberadaan (Ada), kenyataan (Nyata), eksistensi (eksis)’ (Yazdi, 2022)
Kesatuan Makna Wujud
Filsafat Islam memiliki pasal terakhir mengenai keniscayaan wujud (ada/eksis) yang menyatakan bahwa ia memiliki satu makna. Betapapun ia diterapkan pada berbagai hal. Baik manusia, tumbuhan, binatang, bahkan Tuhan, semuanya menanggung makna wujud atau ‘Ada’ yang sama. Tidak berbeda satu sama lain.
Perihal ini dikritisi oleh para teolog yang menyatakan bahwa Tuhan tidaklah sama dengan makhluk. Mustahil, kata mereka, bila Tuhan disamakan eksistensi atau kewujudannya dengan makhluk yang notabene wujudnya diberikan oleh Tuhan. Mereka meyakini terdapat dua makna wujud yang masing-masing berlaku pada Tuhan dan pada makhluk-Nya.
Para filsuf muslim kemudian menyanggah dengan mengatakan bahwa—seperti yang telah kami jabarkan di atas—bahwa satu-satunya yang berada diluar wujud atau ‘Ada’ hanya ketiadaan. Tidak ada kategori lain di antara atau di luar ‘wujud/ada’ dan ‘tidak wujud/tidak ada’.
Filsuf mengedepankan prinsip kontradiksi dalam logika bahwa mustahil ‘Ada’ dan ‘Tidak Ada’ sama-sama terafirmasi. Hanya salah satu yang mungkin benar. Sehingga, para teolog yang bersikeras menyatakan beda wujud Tuhan dengan manusia malah akan jatuh pada kesimpulan ‘Tuhan tidak wujud/tidak ada’ (Gharawiyan, 2021).
Lanjut filsuf-filsuf, bahwa para teolog mengalami kerancuan karena tidak mampu membedakan antara ‘konsep’ wujud (Ada/Eksistensi) dengan ‘mishdaq’ (apa yang ditunjuk dari konsep wujud itu). Bahwa makna wujud hanya satu makna dan berlaku bagi Tuhan dan makhluk. Namun, mishdaq Tuhan dan makhluk tentu berbeda.
Daftar Pustaka
Acikgenc, Alparslan. (2021). Being and Existence: Ada dan Eksistensi dalam Pandangan Sadra dan Heidegger. Yogyakarta: IRCISOD.
Yazdi, MT Mishbah. (2021). Kitab Filsafat: Pendekatan Komparatif Filsafat Islam. Jakarta: Sadra Press.
Gharawiyan, Mohsen. (2021). Pengantar Mehamai Buku Daras Filsafat Islam: Penjelasan untuk Mendekati Analisis Teori Filsafat Islam. Jakarta: Sadra Press.
Editor: Yahya FR