Falsafah

Bagaimana Filsafat Membicarakan Pendidikan?

3 Mins read

Pendidikan adalah proses pembentukan cara berpikir, karakter, dan mental manusia. Di mana setiap peserta didik memiliki kognisi yang perlu diulik – kembangkan sebagai wujud proses perekembangan manusia. Proses perkembangan ini berkaitan dengan respon terhadap kompleksitas lingkungan di sekitarnya.

Peserta didik dalam hal ini adalah anak-anak yang faktanya harus dipahami sebagai manusia dengan segala universalitasnya. Sebagai manusia, mereka berhak untuk berkembang dan bergerak secara alami. Bahkan membaca secara kontekstual realitas kehidupan dengan cara pandang dan pengetahuannya. Sehingga, mereka memerlukan pendekatan epistemologis untuk mengatasi persoalan yang dihadapinya. Sebagai manusia, juga perlu mengetahui ontologi atau substansi dari segala peristiwa. Pun perihal value dari pengetahuan, cara pandang dan sikap mental yang dimilikinya.

Cara pandang itu bisa dibentuk melalui pendekatan filsafat. Filsafat adalah prinsip dasar yang sepatutnya diperkenalkan sejak dini. Mengapa? karena pendidikan adalah proses membentuk kerangka berpikir pada manusia, dan filsafat adalah dasar dari sebuah kesadaran menuju pola pikir dan pola sikapnya.  

Penasaran dan Kecerdasan Alami Anak-Anak

Berpikir epistemologis adalah sebuah keniscayaan. Disadari atau tidak rasa penasaran yang dimiliki oleh anak-anak besar potensinya. Pertanyaan seputar di mana Tuhan berada? Dari mana kita lahir? Mengapa harus hormat terhadap orang lain? Mengapa harus sekolah? Mengapa harus membaca? Adalah sebuah kesadaran alamiah bagi seorang anak yang sedang menuju fase-fase pertumbuh – kembagan.

Aliran pendidikan behaviourisme dan kognitivisme selalu bertentangan terkait kemampuan fitrah anak-anak. Secara alami anak-anak dibekali kemampuan dan kecerdasan yang hanya perlu diberi stimulus untuk memantiknya. Hal ini masih bisa diterima oleh kedua beah pihak.

Tetapi pada bagian pembiasaan dan praktik pemantikanya kedua belah pihak bertentangan. Menurut pandangan filosof Amerika B.F. Skinner (1904-90) mengatakan bahwa pola sikap dan pola pikir anak dapat dibentuk dan dirubah melalui rangsangan-rangsagan yag diatur secara tertentu.

Baca Juga  Averroes dan Kehormatan Syariat

Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang dirumuskan oleh Jhon Locke, di mana pengalaman dan lingkungan merupakan factor yang paling menentukan dalam perkembangan anak. Rangsangan yang dimaksud oleh Skinner terwakili oleh kompleksitas sosial anak, bukan bentukan berbentuk pembiasaan-pembiasaan.

Kebiasaan sebenarnya dapat dibentuk atau terbentuk dengan sendirinya. Anak-anak memiliki cara berpikir yang menyerupai puzzle. Ia akan menemukan apa yang sesuai dengan apa yang ia butuhkan. Dan inilah yang nantinya akan membentuk pola pikir.

Berikir epistemologis adalah sebuah keniscayaan. Jika mengutip pandangan kognitivisme bahwa anak-anak lahir dengan kemampuan dan fitrah kecerdasan yang berbeda-beda. Dan oleh karena itu perlu ada pemantik – yang menurut behaviorisme adalah rangsangan-rangsangan. Ketika dipadukan maka yang muncul adalah kontruksi-kontruksi pola pikir dan pola sikap.

Penugasan dan evaluasi hanya akan membentuk kebiasaan-kebiasaan kompetitif. Apa buktinya? Tidak sedikit yang hanya fokus pada perbaikan nilai (angka) ketimbang pembentukan karakter dan pengetahuan substansial.

***

Sigmund Freud dalam ceramahnya megatakan bahwa psikoanalisis tentang anak-anak yang – pada dasarnya memiliki pengaruh terhadapa pembentukan pola sikap orang dewasa adalah sebuah kecerdasan alami yang dimiliki oleh setiap anak. Hal ini diperkuat degan tingkat penasaran seorang anak yang sangat tinggi.

Berpikir epistemologis adalah berpikir tentang bagaimana menemukan sebuah kebenaran. Proses pencarian, akumulatif, pertimbangan bahkan penentuan sikap adalah bagian dasar dari berpikir epistemologis.

Thomas Likcnoa brcerita tentang karakter pendidikan anak-anak itu dapat melalui proses internalisasi. Internalisasi yag dimaksud adalah mendialogkan pola-pola sikap dengan kecerdasan bawaan yang dimiliki seorang anak.

Tentu hal ini akan merevisi klaim behaviorisme ataupun kognitivisme tentang pandangannya terhadap anak. Hal ini diperkuat oleh temuan Satrock terkait rentang hidup atau proses perkembangan anak-anak menuju kedewasaan; perkembangan seumur hidup, multidimensional, multidireksional, keturunan, keterlekatan historis, mutidisiplin, dan kontekstualisme.

Santrock ingin menunjukkan bahwa kecerdasan alamiah yag dimiliki seorang anak dapat mengidentifikasi pola-pola perlembangan kehidupannya. Sehingga yang diperlukan adalah pembentukan kerangka berpikirnya. Pembiasaan berpikir epistemologis akan memacu dan mendukung kecerdasan alami yang dimilikinya dalam proses penentuan.

Baca Juga  Paulo Freire: Menolak Konsep Banking Education

Pembacaan Kembali terhadap Kecerdasan Alamiah

Manusia adalah hayawān al-nātiq, dalam keragka logika dikatakan bahwa manusia adalah hewan yag berpikir. Hewan adalah sifat yang mewakili kebutuhan biologisnya, sedangkan berpikir adalah kecerdasan alamiah yang diberikan oleh Tuhan.

Sehingga wajar jika manusia dikatakan sebagai makhluk yang paling utama. Alasan mendasaranya karena cara berpikirnya, karena konsep intektualitasnya, pola pikir spiritualitasnya, dst.

Wa ‘allama ādam al-asmā’a kullahā tsumma ‘araḍahum ‘ala al-malā’ikati……. Adalah bentuk hakikat manusia pada dasarnya memiliki kecerdasan alamiah yang – karena itu ia lebih utama dari makhluk yang lain.

Bagi orang yang beriman tentu tidak menafikan isi ayat di atas. Dengan kata lain setiap manusia memiliki kecerdasan, yang hanya memerlukan rangsangan baik pengetahuan atupun lingkungan, untuk menumbuh-kembangkan kecerdasan tersebut.

Menurut Imam Jalaluddin al-Suyuti  tafsir dari kata “al-asmā’a kullahā” adalah kesemua nama-nama benda, sampai-sampai pada pinggan kecil, penyauk air, dan lain-lain dengan jalan memasukkan ke dalam kalbunya pengetahuan tentang benda-benda itu. Dan tampaknya bukan hanya benda-benda mati, tetapi juga benda-benda yang berakal.

Maka perlu penekanan terhadap konsep dasar pengetahuan tentang manusia, dalam hal ini anak-anak bahwa ia memiliki kecerdasan alami sejak lahir. Ukuran perkembangannya adalah kemampuan membaca dan menghadapi kompleksitas kehidupannya.

Oleh karenanya jika pengetahuan ini lalu diperkuat oleh kesadaran filsafat atau pembentukan cara berpikir epistemologis bagi anak-anak, maka pendidikan dasar menjadi ruang pengayaan terhadap cara berpikir epistemologisnya. Sedangkan pendidikan selanjutnya adalah fase untuk memilih dan menentukan sikap. Di mana penentuan ini adalah hasil dari pembiasaan pola pikir epistemologis.

Karena sekali lagi, anak-anak bukan ajang kontestasi ataupun terselenggaranya kompetisi intelektual. Karena kesiapan mental dalam menghadapi kehiduan nyata adalah bekal utama dari pendidikan.

Baca Juga  Riset: Meluruskan Tafsir Al-Wala wal Bara’ untuk Pendidikan Islam Anti-Kekerasan

Editor: Yahya

3 posts

About author
Founder gubuklawas.com
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds