“Dan Dialah (Tuhan) yang telah menjadikan kamu sekalian (manusia) khalifah-khalifah bumi, dan telah mengangkat sebagian dari kamu di atas sebagian yang lain beberapa tingkat, agar Dia mencoba kamu sekalian dalam hal (karunia) yang diberikan kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu cepat dalam siksaan, dan sungguh Dia adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang,” (QS. 6:165).
Menurut Nurcholish Madjid, selanjutnya: Cak Nur, konsep manusia sebagai khalifah (wakil, pengganti, duta) Tuhan di bumi merupakan sebuah konsep Kitab Suci tentang manusia yang paling terkenal.
Di samping didasarkan pada Surat al-An‘ām (6):165 di atas, konsep itu biasanya juga direferensikan pada kisah penciptaan Nabi Adam a.s., manusia pertama.
Bagi Cak Nur, status manusia sebagai khalifah Tuhan berimplikasi prinsipil luas. Pertama, karena bertugas sebagai khalifah, maka manusia akan dimintai tanggung jawab di Pengadilan Ilahi kelak.
Kedua, manusia harus memperhatikan amal-perbuatannya sedemikian rupa, sehingga dapat bertanggung jawab. Ketiga, tanggung jawab adalah titik-mula moralitas manusia; ia akan senantiasa dituntut untuk mempertimbangkan kegiatan hidupnya dalam kriteria baik dan buruk.
Pondasi Kekhalifahan
Kekhalifahan manusia berpondasikan dua prinsip yang sejatinya berkait-kelindan. Pertama, status eksistensial manusia. Dalam ‘rencana’ dan ‘design’ Tuhan, manusia adalah puncak ciptaan Tuhan dan alam semesta berada lebih rendah daripada manusia dan disediakan untuk dimanfaatkan manusia. Pasalnya, Tuhan telah menundukkan alam semesta kepada manusia. Cak Nur menyebutnya sebagai doktrin taskhīr.
Kedua, ketauhidan. Berdasarkan status eksistensialnya, niscaya manusia tidak perlu melebih-lebihkan alam semesta, apalagi mendewakan atau menuhankan; cukup sebagaimana adanya saja.
Bagi Cak Nur, di sanalah terjadi kesadaran tauhid manusia: bahwa segala sesuatu harus diposisikan cukup sebagaimana-adanya di dalam ‘rencana’ dan ‘design’ Tuhan, tidak lebih, sehingga yang dilebihkan di atas manusia dan menjadi serahan-diri hanyalah Tuhan.
Maka, status eksistensial berkait-kelindan dengan kesadaran ketauhidan manusia itulah pondasi kekhalifahan. Pada pondasi ini, manusia harus mempertahankan martabatnya sebagai khalifah Tuhan: tunduk hanya kepada Tuhan, bukan yang lain, baik kepada sesama manusia apalagi ciptaan lainnya.
Keniscayaan Memahami Dunia
Sebagai khalifah, manusia wajib memahami dunia. Tanpa itu, sulit dibayangkan bagaimana manusia bisa mengelola dunia. Maka, pemahaman terhadap dunia menjadi niscaya. Cak Nur menyebutnya sebagai ‘taruhan kekhalifahan’ sekaligus dasar pengelolaan dunia.
Bagi Cak Nur, manusia secara potensial berkemampuan memahami alam semesta. Pasalnya, pertama, manusia telah dikaruniai akal; kedua, alam semesta secara eksistensial telah ditundukkan kepada manusia, sehingga terbuka bagi manusia untuk dapat memahaminya; ketiga, prediktabilitas alam semesta, dalam arti alam semesta tercipta dengan ‘ukuran’ dan ‘ketentuan’ yang pasti, tak berubah-ubah, sehingga sampai batas yang amat jauh bersifat “predictable”.
Reformasi Bumi
Muara dari semua prinsip kekhalifahan manusia ialah apa yang dibahasakan oleh Cak Nur dengan reformasi bumi (ishlāh al-ardl). Cak Nur menguraikan bahwa kata ‘reformasi’ dalam Al-Qur’an disebut dengan ishlāh, berakar sama dengan kata-kata shālih (saleh) dan mashlahah (maslahat). Kesemuanya mengacu pada makna baik, kebaikan dan perbaikan.
Ide reformasi bumi didasarkan oleh Cak Nur pada firman Allah swt., di dalam Al-Qur’an, bahwa “Janganlah membuat kerusakan di muka bumi sesudah direformasi. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan rindu; rahmat Allah selalu dekat kepada orang yang berbuat baik,” (QS. 17:56).
Dalam pandangan Cak Nur, ungkapan “janganlah berbuat kerusakan di muka bumi sesudah direformasi” mengandung makna ganda. Pertama, larangan merusak bumi pasca-reformasi atau perbaikan (ishlāh) saat penciptaan bumi oleh Tuhan. Kedua, larangan membuat kerusakan di bumi setelah terjadi reformasi atau perbaikan oleh manusia sendiri.
Pada makna yang pertama, reformasi bumi menunjukkan pada tugas manusia selaku khalifah Tuhan untuk senantiasa berupaya memelihara bumi, yang sejak diciptakan sudah merupakan tempat-baik bagi kehidupan manusia. Maka dalam konteks kekhalifahan manusia, tugas reformasi bumi dalam makna pertama ini berarti manusia harus senantiasa berusaha melestarikan bumi agar tetap alami dan baik.
Pada makna yang kedua, reformasi bumi menunjukkan pada tugas manusia selaku khalifah Tuhan untuk untuk senantiasa berusaha menciptakan sesuatu yang baru, yang baik (shālih) dan membawa kebaikan (mashlahah), baik bagi manusia maupun bumi.
Maka dalam konteks kekhalifahan manusia, tugas reformasi bumi dalam makna kedua ini berarti manusia harus senantiasa berinovasi dalam rangka penumbuhan, tidak semata pelestarian bumi ke kondisi lebih baik.
***
Pada tugas pertama, bisa jadi manusia dapat bersifat pasif. Akan tetapi pada tugas kedua, mau tidak mau, manusia harus bersifat proaktif. Bagi Cak Nur, di antara semua makhluk, tugas kedua hanya bisa dilakukan oleh manusia, sehingga terasa rasional: manusialah khalifah Tuhan.
Lebih daripada tugas pertama, di dalam tugas kedua meniscayakan daya-cipta manusia yang baik. Karena itu, kemampuan memahami dunia oleh manusia selaku khalifah Tuhan menjadi tak tertawar lagi.
Makanya, keberadaan ilmu pengetahuan bermakna penting di sana. Tak heran, Islam menekankan sekali makna penting ilmu pengetahuan.
Akhirnya, berdasarkan status eksistensial dan tauhid yang menjadi pondasi-kekhalifahan, manusia dalam mengemban tugasnya sebagai khalifah Tuhan akan senantiasa memiliki dasar, pegangan, arah dan tujuan yang benar.
Sementara dengan memahami dunia via ilmu pengetahuan, manusia akan mendapatkan cara melaksanakan amanat kekhalifahan bermuara tugas reformasi bumi, yang tidak sebatas pemeliharaan, melainkan lebih-lebih penumbuhannya ke lebih-baik lagi.
Keduanya adalah modalitas keberhasilan manusia dalam rangka mengemban amanat agung sebagai khalifah Tuhan. Kait kelindan keduanya akan menjadikan manusia sebagai khalifah Tuhan tidak kehilangan tujuan dan arah, sekaligus tidak kehabisan cara. Wallāh a‘lam bis-shawāb.
Editor: Yahya FR