Perspektif

Bagaimana Seharusnya Laku Seorang Pemimpin?

4 Mins read

Jika melihat sekilas judul tulisan ini, mungkin yang terbayang adalah isu mengenai “pemilu 2024” yang akan datang. Barangkali kontekstualisasi isu demikian itu wajar adanya, sebab berbagai isu perpolitikan yang hampir setiap saat mengisi ruang-ruang publik kita.

Kendatipun demikian, tulisan ini tidak dimaksudkan secara spesifik membahas mengenai apa yang sering dilabelkan oleh banyak pihak sebagai bentuk pesta demokrasi tersebut. Tulisan ini lebih kepada arah memberikan catatan reflektif-analitis, terutama melihat fenomena kepemimpinan yang ada di sekitar kita.

Kepemimpinan sebagai Fenomena

Kenapa perlu mengevaluasi ulang soal kepemimpinan? Hal ini perlu sedikit penguraian mengingat isu tersebut cukup klinikal, dalam arti memberikan pengaruh, sedikit atau banyak, pada setiap aspek kehidupan manusia. Sekiranya ada dua poin penting dalam hal ini:

Pertama, kepemimpinan bukanlah sesuatu yang sekadar bersifat peristiwa (event), tapi juga merupakan sebuah fenomena (phenomenon). Apa maksudnya? Sebagai fenomena menggambarkan bahwa ia merupakan sesuatu yang sudah, sedang, dan akan selalu eksis di dalam peradaban manusia, baik di zaman Socrates hingga Nabi Muhammad Saw.

Jika demikian cara kita melihat isu kepemimpinan, maka seseorang tidak akan terjebak atau terlalu berfokus pada perkara yang hanya bersifat insidental (contoh, seperti pemilu yang diadakan setiap lima tahunan).

Kedua, dikarenakan kepemimpinan merupakan sebuah fenomena, maka ia perlu dipahami dari sisi karakteristiknya. Maksudnya, ada perwatakan yang lahir melalui kepemimpinan dalam bentuk figur seorang individu. Dalam konteks diskursus kekinian secara sederhananya dapat kita bagi menjadi dua, watak otoriter dan demokratis.

Refleksi Melalui Figur Nabi Muhammad Saw

Beragam watak telah dipertontonkan dalam mengemban amanat kepemimpinan. Sejarah telah memberikan beragam referensi untuk dirujuk. Jika mengikuti kategorisasi sebelumnya, antara watak otoriter dan demokratis, maka dapat kita berikan permisalannya. Sekadar contoh, watak pertama bisa dijelaskan melalui keberadaan manusia seperti Fir’aun.

Baca Juga  Maulid: Momentum Menggali Nilai-Nilai Politik Nabi Muhammad Saw

Kehadirannya membawa watak buruk kekuasaan, seperti sombong dengan menganggap dirinya sebagai tuhan dan berkata, “Akulah tuhan kamu yang paling tinggi” (lihat QS. an-Nazi’at: 24), meremehkan martabat manusia dengan membunuh semua anak laki-laki (lihat QS. al-Baqarah: 49) hanya karena ketakutan akan hilangnya kekuasaan dan sewenang-wenang terhadap manusia lainnya (lihat QS. al-Qasas: 4).Seluruh watak tersebut terekam dalam Alquran dan sejarah peradaban untuk dijadikan sebagai pembelajaran generasi yang hidup setelahnya.

Melihat perwatakan otoriter sedemikian rupa, patutlah muncul pertanyaan, bagaimana seharusnya laku seorang pemimpin? Dalam hal ini, sangatlah pantas dan patut jika kita melihat figur Nabi Muhammad Saw sebagai teladan sepanjang masa dan bagi seluruh umat manusia.

Anggapan demikian tidaklah berlebihan, sebab sudah dibuktikan secara faktual dan tercatat oleh sejarah. Figur Nabi Muhammad Saw dalam soal kepemimpinan telah diperlihatkan dalam setiap aspek kehidupannya. Ia hadir sebagai pemimpin dalam posisinya sebagai nabi, penuntun manusia pada pencerahan hidup, juga sebagai kepala keluarga, kepala militer, bahkan kepala negara.

Untuk sosok yang kedua ini, sejarah telah mencatat keberhasilannya dalam memimpin ragam umat di Madinah berlandaskan nilai-nilai demokratis. Nabi hadir pada saat itu sebagai sosok pemimpin dengan strategi menanamkan perasaan aman kepada seluruh penduduk kota. Beliau juga mengelola perbedaan yang ada demi mencapai persatuan menuju masyarakat yang hakiki.

Dalam hubungannya dengan non muslim, terutama kelompok Yahudi, Nabi bermusyawarah dengan mereka untuk membentuk suatu kesepakatan. Sehingga dengannya masing-masing pihak dapat menikmati kebebasan dalam hal muamalah, ibadah dan berpendapat. Dengan demikian, rasa aman hadir dalam jiwa mereka dan terjaminlah persamaan hak dalam kedudukannya sebagai manusia seutuhnya. Kesepakatan ini dinamakan dengan istilah ‘Piagam Madinah’, terjadi pada tahun pertama Hijrah, sebelum Perang Badar (Musdah Mulia, Negara Islam, 211-213). 

Baca Juga  Bully di Sekolah, Mengapa Jangan Dianggap Enteng?

Dalam konteks kepemimpinan, paling tidak ada 4 karakter yang melekat pada diri nabi sebagai ide penuntun. Dikutip dari kitab Tuhfatul Murid ‘Ala Jauhar al-Tauhid karya Imam al-Baijuri empat karakter tersebut: Amanah, yaitu menjaga secara zahir dan batin dari hal-hal yang tercela. Secara zahir mereka terlindung dari zina, meminum khamr, berbohong dan selainnya. Secara batin mereka terjaga dari kedengkian, kesombongan, riya dan selainnya. Dengan watak demikian, seseorang akan merasa aman jika mempercayakan sesuatu padanya. Shidiq, karakter terkait dengan yang pertama, bahwa ucapan yang keluar dari lisannya sesuai dengan apa yang terjadi, kemudian sifat jujur tersebut juga sebagai kunci dalam posisinya sebagai nabi, yaitu dakwah risalah dan hukum-hukum syariat. Fathanah, yaitu karakter yang terwujud dalam sikap waspada dan sigap dalam menghadapi lawan dan menyangkal motif-motif palsunya dengan kemampuan logika (hujjah) yang kuat. Tabligh, yaitu menyampaikan apa yang memang sepatutnya disampaikan, bukan menyembunyikannya (Tuhfatul Murid, 201-204).

Kepemimpinan Kharismatik, bukan Gimmick Belaka

Keempat karakter tersebut ialah cermin ideal untuk melakukan evaluasi pada pemimpin hari ini. Apabila masing-masing sudah tertanam di dalam diri seorang pemimpin, maka kharisma akan tumbuh sebagai kekuatan otentik dalam dirinya. Kenapa disebut otentik? Sebab kharisma itu muncul bukan disebabkan oleh polesan dari luar diri seseorang, tapi muncul dari dalam. Maka sifat dapat dipercaya (amanah), jujur (shidq), cerdas (fathanah) dan pandai menyampaikan hal yang semestinya disampaikan adalah value diri yang bersifat kualitatif.

Kenapa hal demikian penting? Sebab di era teknologi sekarang kita sering kali tertipu oleh polesan citra luar seorang pemimpin yang belum tentu menggambarkan kualitas diri. Seseorang akan dengan mudahnya menampakkan dirinya melalui gimmick politik yang sedemikian rupa.

Baca Juga  Muhammadku Sayangku: Membucin pada Kanjeng Nabi

Hal demikian dipergunakannya sekadar menggaet suara, perhatian, dan emosi masyarakat. Tentu berbeda dengan kharisma yang hanya diperoleh dengan menumbuhkan nilai-nilai positif kepemimpinan dalam diri seseorang.

Soal ‘kharisma’, Max Weber, sosiolog berkebangsaan Jerman menerangkan hal tersebut dalam perspektifnya tentang seorang pemimpin. Menurutnya, kharisma bukanlah konsep atau gambaran yang bisa diperoleh sembarangan orang, tapi oleh figur yang tergerak secara alamiah memimpin di masa-masa yang genting.

Menurut Max Weber, kharisma hadir sebagai karunia khusus jiwa dan raga; dan karunia itu diyakini sebagai hal supranatural. Weber melanjutkan bahwa, kharisma bukanlah hal yang dituntun oleh sesuatu seperti uang, misalnya, yang berada dalam wilayah ekonomi rasional. Ia terlepas dari ruang-ruang semacam itu.

Bagi Weber, hal ini dikarenakan mereka memahami posisi mereka sebagai pemimpin yang dituntun oleh kehendak ilahiah, siap bertanggung jawab di hadapan tuhan dan rakyat yang mereka pimpin. Para nabi, menurutnya, adalah pemimpin yang memiliki kharisma.

Maka seharusnya bagi siapa saja yang menghendaki dalam dirinya jiwa kepemimpinan untuk menjadi pemimpin yang hakiki, hendaklah ia memoleskan kharisma, bukan hanya gimmick belaka. Wallahu a‘lam.

Editor: Daib

Avatar
6 posts

About author
Mahasiswa di Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an dan Sains Al-Ishlah (STIQSI), Sendangagung, Paciran, Lamongan
Articles
Related posts
Perspektif

Buat Akademisi, Stop Nyinyir Terhadap Artis!

3 Mins read
Sebagai seorang akademisi, saya cukup miris, heran, dan sekaligus terusik dengan sebagian rekan akademisi lain yang memandang rendah profesi artis. Ungkapan-ungkapan sinis…
Perspektif

Begini Kira-Kira Jika Buya Hamka Berbicara tentang Bola

3 Mins read
Kita harus menang! Tetapi di manakah letak kemenangan itu? Yaitu di balik perjuangan dan kepayahan. Di balik keringat, darah, dan air mata….
Perspektif

Serangan Iran ke Israel Bisa Menghapus Sentimen Sunni-Syiah

4 Mins read
Jelang penghujung tahun 2022 lalu, media dihebohkan dengan kasus kematian Mahsa Amini, gadis belia 22 tahun di Iran. Pro-Kontra muncul terkait aturan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *