Perspektif

Bagi Sebagian Napi, Penjara Lebih Dari Sekedar Rumah

3 Mins read

Ambo, seorang narapidana di Samarinda, menolak bebas melalui program asimilasi COVID-19. Dirinya mengaku sudah menganggap lapas adalah rumahnya. Semua hal yang dia butuhkan dapat terpenuhi di tempat ini. Di dalam penjara, Ambo mempunyai teman-teman yang sudah dianggap sebagai saudara sendiri. Menjadi pembantu juru masak penjara adalah kebanggaaan tersendiri baginya. Sedangkan di luar sana, Ambo sudah tidak punya apa-apa dan siapa-siapa.

“Orangtua sudah meninggal, istri sudah diambil orang” ambyarr!

Lain lagi kisah dari Pras. Setelah bebas dari penjara, pria asal Magelang tersebut kembali melakukan pencurian. Kepada polisi, Pras mengaku telah mencuri HP lantaran ingin kembali ke penjara.

“Saya bisa beribadah lebih khusuk di dalam penjara, saya merasa lebih dekat dengan Allah,” tutur Pras kepada Polisi. Masya Allah.

***

Apa pertama kali yang terlintas saat mendengar kata penjara?

Ketakutan, penyiksaan, belenggu, sarang kejahatan, dan deretan kata-kata negatif lainnya bukan?

Anggapan mayoritas masyarakat bahwa penjara tempat yang buruk. Bahkan ada anggapan bahwa penjara adalah sekolah kriminalitas. Maling ayam yang dipenjara, setelah keluar akan meningkat menjadi maling sepeda motor. Entah darimana mitos demikian masih saja ada di masyarakat. Pokoknya, seburuk-buruk tempat bagi serendah-rendahnya manusia adalah di dalam penjara.

Tapi, pernahkah kita berpikir bagaimana sesungguhnya kehidupan di dalam penjara. Adakah kebaikan dan kebahagiaan di dalamnya? Dua kisah di atas setidaknya memberi sedikit gambaran kepada kita bahwa banyak terdapat hal-hal baik di dalam penjara.

Penjara atau saat ini bernama Lembaga Pemasyarakatan (lapas) adalah tempat seseorang menjalani hukuman. Lantas bukan berarti hari demi hari hanya berisi hukuman. Mereka mendapatkan pembinaan dan pembimbingan untuk bisa kembali bermasyarakat. Ada pembinaan spiritual, kepribadian, dan kemandirian untuk para narapidana.

Baca Juga  Latah Merasa Paling Sunnah!

Memang, kehidupan di dalam lapas berbeda dengan kehidupan normal. Segala sesuatu dibatasi sesuai dengan prinsip penghilangan kemerdekaaan. Sehingga, para warga binaan sangat terbatas untuk mengakses dunia luar. Selain itu, segala aktivitas juga dibatasi. Kapan mereka makan, kapan mereka berjemur, kapan mereka tidur, semuanya sudah diatur sedemikian rupa.

Segala hal yang serba dibatasi tersebut diperparah dengan kondisi Lapas yang over-kapasitas.

Seperti yang diberitakan mediasatu.com,  Menkumham Yasona Laoly menerangkan bahwa lapas dan (runah tahanan) rutan di Indonesia mengalami over-kapasitas sebanyak 107 persen. Kamar yang standarnya dihuni 8 orang, terpaksa 20 orang harus berbagi tempat dalam ruangan tersebut. Bisa dibayangkan, bagaimana keadaan mereka saat berada dalam ruangan tersebut. Persis iwak gereh.

Tidak salah jika kemudian muncul anggapan bahwa hidup di penjara itu menderita. Lantas apakah karena penderitaan tersebut mereka menjadi serendah-rendahnya manusia? Tentu tidak, kisah Ambo dan Pras adalah potret kecil bahwa dalam keadaan serba terbatas,  seseorang masih bisa menemukan kenyamanan. Rasa nyaman sejatinya ada di dalam hati, begitu kira-kira jika dipuisikan.

***

Lalu, apa sebenarnya yang membuat mereka nyaman berada di penjara?

Maslow sebagai salah satu bapak psikologi humanistik mengembangkan teori tentang individu yang teraktualisasi. Dalam piramida kebutuhan, aktualisasi diri adalah puncaknya. Secara berurutan di bawahnya adalah kebutuhan akan penghargaan, kebutuhan akan kasih sayang, kebutuhan akan rasa aman, dan paling bawah adalah kebutuhan fisiologis seperti sandang, papan, dan pangan.

Untuk menjadi individu yang teraktualisasi, maka syarat wajibnya adalah seluruh kebutuhan di bawahnya terpenuhi. Bagi Ambo, menyajikan masakan kepada sesama narapidana adalah wujud aktualisasi dirinya. Dengan penuh bangga, Ambo bersedia melakukan kegiatan itu seumur hidupnya. Sedangkan, Pras selalu menantikan jatahnya untuk mengumandangkan azan subuh dengan irama slendro yang menggetarkan seluruh isi lapas.

Baca Juga  Segregasi Politik: dari Komunisme ke Radikalisme

Keterbatasan di dalam penjara tidak menghalangi seseorang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya (piramida kebutuhan).  

Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah untuk memenuhi kebutuhan tersebut, tidak perlu hidup mewah, tidak perlu harta yang melimpah. Karena banyak juga kok, yang hartanya melimpah namun masih saja merasa kurang. Banyak di antara mereka yang terjerembab pada kebutuhan dasar. Butuh makan yang enak lah, baju yang bagus lah, rumah yang mewah lah, sehingga ambang batas kepuasaanya semakin tinggi.

***

Ambo dan Pras cukup dengan nasi tempe bacem sambel teri sudah bisa berfoya-foya di sudut kamar dengan teman-temannya.

Sama dengan kisah Brooks di film The Shawshank Redemption. Setelah bebas dari penjara dirinya malah merasa bingung. Karena semua yang dimilikinya berada di dalam penjara. Pekerjaan, teman, dan keluarga. Brooks yang gagal beradaptasi dengan dunia luar kemudian memilih untuk mengakhiri hidupnya.

Di film yang sama, salah satu tokoh bernama Red pernah berkata kepada narapidana lainnya, “Tembok penjara ini memang lucu, awalnya kau akan sangat membencinya, namun lama kelamaan, kau akan terbiasa, lalu pada akhirnya justru bergantung padanya. Itulah terinstitusionalisasi.”

Ibarat seperti burung kenari yang sudah hidup di sangkar selama bertahun-tahun, makan dan minum sudah tercukupi sehari-hari. Jika dia dilepaskan dari sangkar, apakah bisa bertahan hidup di luar?

***

Saya jadi ingat dengan  pendapat seorang tokoh Logoterapi, Viktor Frankl yang menyebutkan bahwa kebermaknaan hidup didapatkan melalui penderitaaan yang dihadapi. Mereka yang berhasil bertahan dan menghadapi penderitaan, akan menemukan kepingan makna hidup. Kepingan demi kepingan akan membuat satu kesatuan makna hidup.

Maka, tidak mengherankan jika banyak karya-karya epic terlahir dari balik jeruji besi. Sebut saja Pram dengan Tetralogi Pulau Buru, Sukarno dengan buku Indonesia Menggugat dan Hamka pun merampungkan Tafsir Al-Azhar dari dalam penjara. Mereka adalah orang-orang yang mampu meretas penderitaan dan mengaktualisasikan diri.

Baca Juga  Hijrah Ekologis: Membangun Kesadaran Lingkungan

Lalu, masihkah berpikir bahwa penjara adalah tempat yang buruk?

Yaiyalah. Secara tempat memang buruk, lantas bukan berarti tidak menyisakan kebaikan di dalamnya. Seperti halnya Yin dan Yang, selalu ada kebaikan di antara keburukan dan sebaliknya. Penjara memang bukan sebaik-baik tempat, namun banyak hal-hal baik terlahir di dalamnya.

Sama dengan Napi, kita yang berada bebas di luar ini juga pernah berbuat salah. Hanya saja belum tiba waktu untuk menjalani hukuman. Misal tidak mendapat hukuman di dunia, yah tunggu saja di akhirat.

Kata Arswendo Atmowiloto, “Tidak semua yang ada di dalam penjara itu Napi, dan tidak semua Napi berada di dalam penjara”.

Editor: Yahya FR
3 posts

About author
Penulis adalah pembimbing kemasyarakatan di Bapas Kelas I Manokwari Papua Barat
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds