Tafsir

Baginilah Kaidah Penulisan Rasm Utsmaniy

3 Mins read

Secara bahasa, rasm berarti الأثر yang bermakna bekas dan peninggalan. Dalam perbendaharaan Bahasa Arab, rasm memiliki beberapa sinonim seperti السطر الخط -الرسم – الزبور semuanya memiliki arti yang sama yaitu tulisan.

Adapun Utsmani, dinisbatkan kepada nama khalifah ketiga, Utsman ibn Affan. Dengan demikian, menurut bahasa, Rasm Utsmaniy dapat dimaknai sebagai bekas penulisan Al-Qur’an yang polanya pernah dibakukan pada masa khalifah Utsman ibn Affan.

Secara istilah, Rasm Utsmaniy diartikan sebagai cara penulisan Al-Qur’an yang telah disetujui oleh Utsman ibn Affan pada waktu penulisan mushaf.

Manna’ Khalil al-Qattan menyebutkan bahwa Rasm Utsmaniy merupakan pola penulisan Al-Qur’an yang lebih menitikberatkan pada metode tertentu yang digunakan pada waktu kodifikasi mushaf pada zaman Khalifah Utsman ibn Affan.

Penulisan Rasm Utsmaniy

Al-Qur’an sudah tertulis keseluruhan pada masa Rasulullah saw., meskipun masih terpisah-pisah pada pelepah kurma, lempengan batu, tulang keledai, kulit, dan lain sebagainya. Hingga Al-Qur’an terkumpul menjadi satu yang disebut suhuf. 

Ketika turun sesuatu dari Al-Qur’an kepada Rasulullah saw., maka beliau memanggil sebagian penulis wahyu. Kemudian, Rasul memerintahkan mereka untuk menulis apa yang turun, dan menunjukkan letak tempatnya pada surah, serta menjelaskan bagaimana cara penulisannya. Oleh karenanya Rasulullah saw. belum wafat sampai Al-Qur’an dihafal dan ditulis seluruhnya.

Selanjutnya Al-Qur’an ditulis dan dikumpulkan kembali pada masa Abu Bakar RA masih dalam bentuk suhuf. Bentuk Rasm Al-Qur’an ketika itu masih sama dengan Rasm Al-Qur’an pada zaman Rasulullah SAW.

Kemudian Utsman bin Affan RA mengumpulkan suhuf-suhuf dalam bentuk mushaf-mushaf dengan menggunakan bentuk rasm yang sama dengan Rasm Al-Qur’an pada zaman Abu Bakar RA, hanya saja dalam mushaf Utsman bin Affan RA Rasm Al-Qur’an dibatasi dengan menggunakan satu huruf saja yaitu Huruf Quraisy. Sehingga sampai saat ini kita kenal dengan Rasm Al-Qur’an, atau yang biasa disebut dengan Rasm Utsmaniy

Rasm Utsmaniy Tafiqiy atau Tauqify

Dalam diskursus Ulum Al-Qur’an khususnya tentang pola penulisan Al-Qur’an (rasm mushaf) selalu ditemukan pergulatan pemikiran (ikhtilaf) terkait hukum penulisan Al-Qur’an dengan Rasm Utsmaniy.

Terdapat kurang lebih tiga pendapat sebagai berikut:

Baca Juga  Fenomena Post-Truth Juga Ada dalam Al-Qur'an

Pertama, penulisan Al-Qur’an wajib mengikuti pola penulisan Rasm Utsmaniy, sebab Rasm Utsmaniy bersifat taufiqiy. Hal tersebut diutarakan oleh mayoritas jumhur ulama dengan berdalil bahwasanya Nabi Muhammad saw memiliki Kuttab al-Wahyu (penulis Wahyu).

Selain itu, mereka juga menulisnya dengan rasm ini. Sampai setelah wafatnya Baginda Nabi Muhammad saw. dan rasm-nya masih tetap seperti ini, tidak ada perubahan dan tidak ada pula penggantian.

Kedua, penulisan Al-Qur’an boleh dengan bentuk tulisan apapun sebab sifat Rasm Utsmaniy adalah ijtihad. Hal tersebut di ungkapkan oleh Ibn Khaldun dan al-Qadhiy Abu Bakar.

Menurut golongan ini, rasm mushaf bukanlah bersifat taufiqiy. Karena Allah SWT tidak mewajibkannya bagi umat Nabi Muhammad saw. kecuali kepada para penulis wahyu.

Juga karena tidak ada nas Al-Qur’an dan hadis yang mewajibkannya, bahkan hadis-lah yang menunjukkan bahwa boleh menulis Al-Qur’an dengan cara yang paling mudah untuk kita, dan Nabi saw. menyuruh untuk menulis tanpa menyertakan cara tertentu untuk menulisnya.

Ketiga, penulisan Al-Qur’an boleh dengan bentuk tulisan umum yang berkembang dengan tetap melestarikan Rasm Utsmaniy. Bagi kalangan tertentu, pendapat ini muncul pada kisaran tahun 660 H/1266 M dari seorang tokoh besar ‘Izz al-Din ibn ‘Abd al-Salam. Menurutnya, Rasm Utsmaniy bukanlah sesuatu yang taufiqiy. Karenanya, penulisan Al-Qur’an dapat ditulis dengan huruf manapun yang memudahkan masyarakat awam, namun Rasm Utsmaniy tetap dianjurkan untuk dipelajari bagi kalangan tertentu.

Kaedah Penulisan Rasm Utsmaniy

Pertama, al-hadzfu atau peniadaan, yaitu ada beberapa huruf yang dihilangkan pada sebagian kata dalam Rasm Utsmaniy. Seperti alif, ya, wau, ta, nun, dan lam.

Contoh pada huruf alif yaitu dihilangkannya alif setelah ya nida’ (panggilan) dan setelah ha tanbihat, seperti يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ dan هَٰٓؤُلَآءِ.

Baca Juga  Tiga Tipologi Tafsir Kontemporer Menurut Johanna Pink

Kedua, al-ziyadah atau tambahan. Yaitu ada beberapa huruf yang ditambahkan pada sebagian kata dalam Rasm Utsmaniy, seperti alif, ya, dan wau.

Contoh dari huruf alif yaitu ditambahkannya alif setelah wau pada ism ataupun hukum yang jamak. Seperti pada kata  بَنُوٓاْ إِسۡرَٰٓءِيلَ dan أُوْلُواْ .

Contoh setelah huruf ya seperti pada kalimat وَمَلَإِ يْهِمْ. Contoh dari huruf wau seperti pada kata أُوْلُوا.

Ketiga, Hamzah, kaedah hamzah dibagi menjadi beberapa bagian: Pertama, ketika hamzah berharakat sukun maka ditulis sesuai dengan harakat sebelumnya, contoh: ٱئۡذَن, ٱؤۡتُمِنَ, ٱلۡبَأۡسَآءُ…. Kecuali yang dikecualikan. Kedua, Jika hamzah tersebut berharakat dan berada di awal kata kemudian bertemu dengan huruf tambahan maka ditulis di atas alif secara mutlak, baik fatah ataupun kasrah. Contoh: إِذًاْ, وَأَيُّوبَ, dan masih banyak lagi.

Keempat, badal. Yaitu mengganti suatu huruf dengan huruf yang lain. Seperti menuliskan huruf alif dengan huruf wau untuk memberikan tekanan, contoh: ٱلصَّلَوٰة , ٱلزَّكَوٰةَ

Menuliskan huruf alif menjadi huruf ya, seperti يَتَوَفَّىٰكُم, يَٰحَسۡرَتَىٰ, dan lain sebagainya. Menuliskan huruf nun menjadi alif yang yang merupakan nun taukid khofifah, contoh:

 لَنَسْفَعًا بِالنَّاصِيَةِ

Kelima, al-fasl wa al-wasl atau penghubungan kata dan pemisahannya. Seperti dalam kata ‘أن’ dan ‘لا’ menjadi أَلَّا, kecuali pada surah al-A’raf dan al-Ahqaf, contoh pada surah al-A’raf ayat 169: أَن لَّا يَقُولُواْ, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Keenam, dua qiraat yang ditulis dengan salah satu tulisannya. Dalam kaedah Rasm Utsmaniy jika ada dua qiraat maka ditulis dengan salah satu tulisannya.  مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ, يُخَٰدِعُونَ ٱللَّه, dan lain sebagainya. Maka dengan rasm seperti ini maka boleh dibaca dengan mad (panjang) ataupun pendek, karena keduanya merupakan qiraat mutawatir.

Baca Juga  Amina Wadud: Perempuan Bukan Makhluk Inferior!

Editor: Yahya FR

Ahmad Agus Salim
24 posts

About author
Mahasiswa Magister IAT Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Tafsir

Tafsir at-Tanwir: Relasi Antar Umat Beragama

4 Mins read
Relasi antar umat beragama merupakan diskursus yang selalu menarik untuk dikaji. Khususnya di negara kita, hubungan antar umat beragama mengalami pasang surut….
Tafsir

Puasa itu Alamiah bagi Manusia: Menilik Kembali Kata Kutiba pada Surah Al-Baqarah 183

3 Mins read
Salah satu ayat yang amat ikonik tatkala Ramadhan tiba adalah Surah Al-Baqarah ayat 183. Kendati pernyataan itu terbilang asumtif, sebab saya pribadi…
Tafsir

Surah Al-Alaq Ayat 1-5: Perintah Tuhan untuk Membaca

2 Mins read
Dewasa ini, masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, tampaknya memiliki minat baca yang sangat rendah. Tidak mengherankan jika banyak orang terpengaruh oleh banyak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *