“Kalau pun esok langit akan runtuh, maka saya akan berusaha menegakkan hukum.” (Prof. Dr. H. Baharuddin Lopa, S.H.)
Tulisan ini melanjutkan tulisan sebelumnya yang berjudul Baharuddin Lopa (1): Pejuang Hukum dan Kebenaran Yang Langka. Gatal rasanya tangan ini untuk menulis jejak sejarah dan kepribadian Pak Lopa yang sangat berkesan bagi bangsa dan negeri ini, yang Abdurrahman Wahid atau sering disapa Gus Dur pun memujinya dengan kata “berintegritas, pintar, dan berani”.
Di tulisan awal, penulis menuliskan jabatan Lopa sampai di Staf Ahli Menteri Kehakiman. Namun nyatanya, masih ada lima jabatan penting lagi yang pernah Pak Lopa duduki sampai akhir hidupnya.
Yaitu, Dirjen Lembaga Pemasyarakatan 1988-1995, Sekjend Komnas HAM 1994-1999, Duta Besar RI untuk Arab Saudi 1999-2001, Menteri Kehakiman dan HAM 8 Februari – 1 Juni 2001, dan Jaksa Agung RI 1 Juni 2001 sampai meninggal dunia pada 3 Juli 2001.
Lopa dan Gus Dur
Dua tokoh bangsa ini patut untuk kita refleksikan bersama. Kedua tokoh ini pernah berkelindan dalam satu zaman. Ketika Gus Dur menjadi Presiden, Lopa mendapat amanah menjadi Menteri Kehakiman dan HAM dan menjadi Jaksa Agung RI.
Pengangkatan Lopa menjadi menteri, dianggap sebagai alat politik Gus Dur untuk melawan para politisi yang kontra dengan Gus Dur. Sehingga kemudian Lopa disoroti oleh kalangan politisi. Gus Dur dianggap memanfaatkan Lopa untuk menghantam lawan politiknya. Sehingga orang banyak berpikir bahwa Lopa telah terjebak.
Seperti yang dikatakan oleh Rizal Mallarangeng, sebagai Pemerhati Sosial Politik di dalam buku Lopa Yang Tak Terlupa, bahwa semua yang diperkirakan oleh pengamat politik itu, tidak persis seperti itu adanya. Lopa kemudian mengatakan bahwa tugas yang berat itu ia terima karena presiden menelepon Lopa. Yang pada intinya, menawarkannya jabatan yang kala itu dipegang oleh Yusril Ihza Mahendra.
Namun, tawaran presiden itu akan Lopa terima jika dilakukan sesuai aturan dan undang-undang. Begitupun pengangkatan Lopa sebagai Jaksa Agung RI, bukanlah untuk mencari kesempatan, tetapi ingin menjalankan tugasnya yang kongkrit guna memperbaiki kinerja kejaksaan dan peradilan.
Diangkatnya Lopa menjadi Jaksa Agung RI oleh Presiden Gus Dur, menurut Thoby Mutis, Rektor Universitas Trisakti Jakarta, sudah tepat. Tetapi, penempatan saat itu merupakan sesuatu yang di sebut in the wrong time, tidak pada waktu yang tepat. Sehingga kemudian, banyak orang yang berspekulasi bahwa langkah yang diambil Lopa ketika itu adalah ikut arus permainan politik Gus Dur. Tetapi, di balik itu semua, Lopa pernah menjernihkan prasangka bahwa dirinya menerima tugas itu tidak atas paksaan dan murni untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Pergolakan Lopa dengan Gus Dur memang sangat sengit. Karena saat itu masih dalam nuansa perpolitikan yang menegangkan. Hal itu membuat politisi dan publik menyoroti kedua tokoh monumental tersebut. Tetapi kita perlu pahami bahwa pergolakan politik di zaman itu sangat tajam, saling menjatuhkan, dan saling mencurigai, yah itulah politik.
Tetapi, tidak dengan Lopa yang kurang pandai dalam berpolitik. Lopa hanya fokus pada tugas dan pekerjaan yang diembannya, yaitu menegakkan setegak mungkin keadilan di negeri ini. Tidak pandang bulu, siapa pun yang menyalahi dan melanggar aturan, akan diproses secara hukum, walaupun itu Gus Dur kata A.M. Fatwa.
Baharuddin Lopa Suka Mengutip Ayat Al-Qur’an
Tulisan Lopa di koran Panji Masyarakat, 12 Mei 1997, mengatakan bahwa sebenarnya semua faktor penyebab pelanggaran HAM, demikian juga kemampuan untuk mencegahnya, tergantung pada tingkat ketakwaan.
Karena salah satu kewajiban kita yaitu menegakkan shalat lima waktu. Shalat merupakan usaha terpenting dalam menegakkan HAM. Al-Qur’an surah Al-Ankabut ayat 45 mengingatkan, “Dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar.”
Kesaksian Aripotto salah satu tahanan LP Nusakambangan, yang ketika itu Lopa menjabat sebagai Dirjen Lembaga Pemasyarakatan. Di mata Aripotto, pendekatan dirjen Lopa terhadap napi sangat ramah. Beberapa tahanan bahkan menganggap Lopa seperti ‘Malaikat’. Lopa kerap kali mengutip ayat-ayat Al-Qur’an dalam wejangannya kepada tahanan, sehingga akhirnya para pendengar mendapat cahaya dari nasehat itu.
Kepergian Baharuddin Lopa
Tepat pada tanggal 3 Juli 2001 di Riyadh, Arab Saudi, setelah melaksanakan ibadah Umroh di tanah cuci Mekah, Lopa tutup usia. Dipanggil yang Maha Pencipta dalam usia genap 68 tahun. Jenazahnya di bawah ke tanah air dan dimakamkan di Makam Pahlawan Kalibata Jakarta Selatan, dengan Upacara Militer yang dipimpin Menkopolhukam Agum Gumelar.
Kepergian Lopa untuk selama-lamanya dari dunia ini untuk menghadap Sang Maha Pencipta meninggalkan kesan yang sangat mendalam. Bagaimana tidak, masyarakat sudah terlanjur berharap banyak kepada Lopa, yang dipercaya mampu menegakkan keadilan dan memperbaiki karut marut penegakan hukum di negeri ini. Seperti yang ditulis oleh Koran Tempo, 6 Juli 2001, bahwa, “Harapan itu muncul lantaran dunia hukum kita sangat memperihatinkan, dan seorang Lopa lah yang diharapkan mampu membenahi”.
Kehilangan Lopa bagaikan orang yang sedang kena K.O di dahi saat pertandingan tinju. Dia pergi pada saat bangsa ini sedang membutuhkannya, dan pada saat dia berada di puncak kejayaannya yang sedang memulai perjuangan besarnya sebagai Jaksa Agung RI.
Bahkan, Koran Rakyat Merdeka, 5 Juli 2001, mengatakan “Lopa memang bukan satu-satunya harapan. Tetapi, rasanya, dia adalah ujung tombak. Ketika ujung tombak ini patah, masihkah ada harapan untuk menegakkan hukum yang sudah begini parah?”
Komentar atas Kepergian Lopa
Bukan hanya media massa saja yang melukiskan perjalanan hidup Lopa. Tetapi, para elit Bangsa, Akademisi, Aktivis, dan Kiyai yang ada di zamannya pun berkomentar, atas kepergian pahlawan hukum itu. Diantaranya Jusuf Kalla mengatakan “Meninggalnya Lopa berarti menguapnya sebuah harapan penegakan hukum”.
Marsilam Simanjuntak mantan Jaksa Agung RI ini pun berkomentar “Ukuran sepatu hukum Pak Lopa terlalu besar bagi saya”, tidak ketinggalan Prof. Dr. Amien Rais Ketua MPR-RI dan juga tokoh Muhammadiyah itu mengatakan bahwa, “Bangsa Indonesia kehilangan seorang pendekar hukum karena tidak banyak pendekar hukum yang konsisten, berani mengambil resiko.”
“Lopa adalah orang yang sangat reformis. Jadi, sangat wajar kalau namanya diabadikan. Saya mengusulkan agar nama jalan Tol Reformasi ditambah menjadi jalan Tol Reformasi Prof. Dr. H. Baharuddin Lopa.” Itulah kata Prof. Dr. HM. Rusli Ngatimin, M.PH guru besar Universitas Hasanuddin Makassar.
Pun, demikian Teten Masduki ketika itu menjadi Koordinator ICW mengatakan “Beberapa nama yang dulu sempat kecut diancam pedang keadilan almarhum Lopa, kini mulai menebar senyum kembali tanpa malapetaka bakal berakhir.”
Cholil Bisri Kiai NU ini pun pernah menjadi saksi kesederhanaan Lopa. Kedua tokoh ini pernah bertemu di Mekah yang ketika itu Lopa menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi. Di sanalah Kiai Cholil melihat Lopa, walaupun Duta Besar berkuasa penuh, saya tidak melihat beliau risih dengan penampilannya yang ‘Ndesani’ alias Kampungan.
Dan bahkan mengatakan, “Dalam hati, ketika itu, saya membatin, orang seperti ini yang akan -setidak-tidaknya- mencegah lebarnya praktik KKN yang sudah mewabah di tanah air, bahkan memberantasnya”.