Dalam beberapa waktu belakangan, politisasi Identitas semakin ramai diperbincangkan, terlebih di Indonesia yang akan menggelar pesta politik pemilihan umum (Pemilu) tahun 2024 mendatang. Para kontestan, berikut para pendukung dan simpatisannya, alih-alih mengedepankan dan menawarkan ide-ide dan gagasan cemerlang untuk kemajuan bangsa, yang terjadi justru kebanyakan mereka lebih mengandalkan dan menekankan aspek identitas.
Mereka kerapkali memanfaatkan identitas mereka sebagai pemeluk agama tertentu, anggota golongan atau kelompok tertentu, dari ras, etnis dan suku tertentu, untuk menarik simpati masyarakat hingga meraih keuntungan, dalam hal ini kekuasaan.
Dalam konteks Indonesia yang multikultural, politisasi Identitas semacam ini tentu saja menjadi virus berbahaya yang akan menjadi sumber perpecahan kehidupan umat dan bangsa. Persatuan lambat laun akan terkikis habis, masyarakat akan terpolarisasi menurut kelompok-kelompok identitasnya.
Sebagaimana banyak tulisan sebelumnya, tulisan ini turut mengutuk adanya praktik politisasi Identitas sekaligus menegaskan bahwa praktik tersebut telah mencederai paradigma tauhid kita, terutama muslim. Namun sebelum itu, penulis mengajak, mari sejenak kita lihat dan perhatikan bagaimana potret praktik politisasi Identitas yang kerap terjadi selama ini.
Potret Miris Politisasi Identitas
Penulis mengamati, dan barangkali juga anda, bahwa sejauh ini identitas yang “paling laris” dan sering dijadikan senjata politik ialah agama, dalam hal ini Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. Seperti yang disebutkan di atas, banyak elit politik yang candu menggunakan isu agama untuk kepentingan dirinya agar mendapat jabatan.
Berbagai macam bentuk atribut Islami mereka jual demi meraup suara dan simpati masyarakat. Contoh lebih konkrit, biasanya para aktor politik itu membangun image yang menghipnotis masyarakat seolah-olah sedang membela dan berjuang demi Islam; menampakkan kesalehannya, mendekat dengan tokoh-tokoh agama, dan seterusnya, padahal sebenarnya mereka hanya sedang mengejar jabatan dan kekuasaan.
***
Hebatnya, image Islami itu diamini dan diperkuat oleh para pendukung dan simpatisan mereka dengan menyebarkan narasi-narasi seperti “pilih si A jika anda muslim sejati, si A pemimpin yang Islami, umat Islam akan jaya jika dipimpin oleh si A, dan seterusnya”. Bahkan mirisnya, banyak pula di antara mereka yang melemparkan narasi-narasi buruk kepada lawan politiknya, “jangan pilih si B jika tidak ingin umat Islam sengsara, si B tidak Islami, si B antek Yahudi, pendukung kafir, antek Cina, dan sebagainya”.
Praktik politisasi Identitas seperti ini kerap terjadi di Indonesia hingga berakibat munculnya klaim kebeneran bahwa kelompok kepentingan yang satu lebih baik daripada kelompok kepentingan lainnya. Dalam bahasa lain yang lebih spesifik, kelompok yang satu mengklaim kebenaran absolut sebagai muslim yang sebenarnya dan menempatkan lawannya sebagai musuh Tuhan, padahal seringkali kenyataannya, kedua kelompok tersebut sama-sama muslim. Ini tak bisa dimungkiri, politisasi Identitas telah menjadi biang kerok dalam mempolarisasi masyarakat menjadi kelompok-kelompok yang rentan terpecah-belah.
Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana fenomena polarisasi masyarakat akibat politisasi Identitas pada pengalaman pilkada DKI 2017 dan pemilu 2019 silam. Masyarakat terpecah dalam polarisasi berbasis agama dan etnis. Mereka yang mendukung Ahok pada pilkada DKI, atau mendukung Jokowi pada pemilu 2019 dianggap sebagai kubu yang tidak agamis, sedangkan yang mendukung kubu sebelah dinilai merepresentasikan barisan yang agamis dan Islamis. Berbagai sebutan tidak lazim bahkan muncul untuk membedakan kedua kubu tersebut, seperti cebong- kampret, cebong-kadrun, partai setan- partai Allah, dan seterusnya.
Politik Identitas VS Paradigma Tauhid
Mengamati potret politik yang terjadi selama ini, penulis berefleksi bahwa praktik politisasi Identitas itu bermuara pada satu hal, yaitu klaim kebenaran sepihak dan perasaan superior atas identitas yang dimiliki. Identitas agama yang satu merasa lebih baik dan lebih layak mendapat jabatan daripada identitas agama yang lain. Kelompok atau golongan Islam yang satu mengklaim lebih hebat sehingga pantas untuk mengatur dan menguasai pemerintahan ketimbang golongan Islam yang lain. Hingga pada puncaknya, masing-masing identitas saling menjatuhkan, saling menghina, saling menjelek-jelekkan, bahkan saling mencaci-maki, yang semuanya itu merupakan sumber konflik dan perpecahan dalam kehidupan berbangsa.
Padahal, dalam keyakinan agama samawi, Islam misalnya, sejak awal telah dituntut untuk berikrar atas tauhid. Yaitu sebuah paradigma sekaligus keyakinan atas Allah adalah satu-satunya Tuhan. Lafaz lā ilāha illa Allāh yang sering diucapkan muslim sebagai tanda ketauhidannya ibarat proklamasi pengakuan atas keesaan Tuhan sekaligus pengakuan kesetaraan seluruh manusia di hadapan-Nya. Artinya, paradigma ini meniscayakan setiap umat beragama harus menyadari dan meyakini bahwa hanya Tuhanlah satu-satunya yang patut diagungkan dan ditinggikan. Sementara semua manusia menempati posisi yang sama dan setara sebagai hamba Tuhan, sehingga tidak ada yang berhak merasa dirinya lebih baik dan lebih unggul dari hamba lainnya.
***
Karena itu, paradigma tauhid tidak membenarkan seseorang merendahkan dan menjelek-jelekkan orang atau kelompok lain. Jika ada yang menjelek-jelekkan pihak lain, atau dalam konteks ini ‘identitas’ lain, karena menganggap identitasnya lebih hebat, merasa kelompok agamanya lebih layak untuk berkuasa, maka tanpa disadari sesungguhnya ia telah mencederai paradigma tauhid yang selama ini dipegang.
Satu ayat yang lazim dijadikan dalil yang menguatkan paradigma tauhid ini ialah QS. Al-Hujurat ayat 13. Ayat ini menegaskan tentang kesamaan derajat seluruh manusia di hadapan Tuhan. Identitas-identitas seperti jenis kelamin, suku, ras, etnis, bahkan agama diciptakan bukan untuk dikontestasikan, dalam artian bukan untuk dibangga-banggakan dengan merasa identitas satu lebih hebat dari identitas lain. Karena yang terbaik tidak dilihat dari identitasnya; dari suku apa, ras mana, atau dari agama apa, akan tetapi tetap dinilai dari kualitas yang dimiliki. Yang dijadikan tolak ukur bukanlah identitas-identitas tersebut, maka tidaklah pantas ia dijadikan sebagai alat untuk meraih keuntungan, apalagi sampai merendahkan dan menjatuhkan pihak lain hingga terjadi konflik dan perpecahan.
Untuk itu, dalam konteks berpolitik penulis mengajak, alih-alih menunggangi identitas tertentu untuk meraup suara, ada baiknya mulai menonjolkan kualitas yang dicerminkan pada ide-ide, gagasan, dan program nyata yang terbukti mensejahterakan kehidupan masyarakat. Begitu pun bagi masyarakat, agar tidak terhipnotis oleh adanya praktik politisasi Identitas, mulailah fokus pada isi tawaran gagasan, ide-ide, dan program-program yang berkualitas. Wallahu a’lam bisshowab.
*Artikel ini diproduksi berkat kerjasama IBTimes.ID and INFID
Editor: Yahya FR