Perspektif

NU dan Muhammadiyah: Kadang Mesra, Kadang Renggang

4 Mins read

Hubungan NU dan Muhammadiyah pada dasarnya sangat dinamis. Kedua ormas Islam ini tak jarang menunjukkan sikap kemesraan, meski kadang-kadang juga didapati kerenggangan dan gesekan. Banyak perbedaan-perbedaan kecil di antara keduanya yang kerap menimbulkan perselisihan yang begitu besar.

Kerenggangan dan ketidakakuran ini bisa dilacak sejak era orde baru. Kala itu, penguasa orde baru memang tidak menginginkan hubungan kedua ormas Islam ini harmonis. Alasanya jelas, karena keharmonisan dan persatuan NU dan Muhammadiyah dapat menjadi ancaman bagi penguasa. 

Namun sejak era reformasi, semua menjadi berubah. Perjuangan yang dilakukan pada era reformasi membuka jalan bagi lahirnya ruang identitas baru bagi kedua ormas ini. Perbedaan yang dulu kerap menimbulkan gesekan, kini tidak terlalu penting lagi. Sebab keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni membangun iklim demokrasi yang baik.

Wujud Koeksistensi Damai NU dan Muhammadiyah

Ketimbang mempersoalkan perbedaan-perbedaan yang ada di NU dan Muhammadiyah, kedua ormasi Islam ini sejatinya lebih banyak memiliki kesamaan. Perbedaan pada aspek khilafiyah bukanlah sesuatu yang perlu dipersoalkan. Justru yang diperlukan adalah mempertegas kesamaan visi dalam mewujudkan Indonesia yang lebih maju dan damai.

Salah satu karakteristik yang sangat menonjol antara NU dan Muhammadiyah adalah sama-sama memegang prinsip Islam wasathiyah. Itulah mengapa setiap ada ketegangan di level elit hingga akar rumput selalu berakhir dengan damai dan rukun. Karena keduanya memegang prinsip moderasi. 

Islam wasathiyah sendiri adalah suatu sikap dalam beragama yang selalu mengambil jalan tengah, baik dalam hal ibadah maupun muamalah. Wasathiyah mengajarkan kepada umat Islam agar dapat bersikap adil, seimbang, bermaslahat, dan proporsional dalam semua dimensi kehidupan. 

Sebagian besar cendekiawan Muslim Indonesia menerjemahkan Islam wasathiyah sebagai Islam moderat. Menjadi moderat artinya selalu bersikap berimbang, tidak condong ke kanan maupun ke kiri. Kanan biasanya dipahami sebagai ekstrem radikal yang berlebih-lebihan dalam bersikap, baik dalam agama maupun dalam praktik kehidupan. Sementara kiri biasanya terjatuh pada sikap liberal, yakni berpikiran terlalu bebas dan serba menggampangkan sesuatu.

Baca Juga  Anhar Gonggong: Pancasila, Sumbangan Muhammadiyah untuk Bangsa

Bila melihat aspek relasi sosial-keagamaan antara NU dan Muhammadiyah, sebenarnya kedua ormas ini merupakan perwujudan koeksistensi damai dalam konteks keberagamaan Islam di Indonesia. Kedua ormas Islam ini tentu bisa berbeda dalam hal praktik beribadah maupun sikap politik. Tetapi keduanya memiliki karakter moderat yang memungkinkan dalam mewujudkan relasi damai. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa masa depan Islam Indonesia bergantung pada kedua ormas Islam ini.

Dalam sebuah kesempatan, Azyumardi Azra mengatakan bahwa masa depan Islam di dunia bergantung pada model Islam Indonesia. Dan ini diwakili oleh NU dan Muhammadiyah. Menurut Azra, Islam Indonesia merupakan sebuah keajaiban.

Umat Islam Indonesia mampu hidup rukun dan damai meski berasal dari suku yang berbeda-beda. Sementara bila melihat kasus di Timur Tengah, mereka disatukan oleh suku dan agama, tetapi sering terjadi konflik yang tak berkesudahan. 

Melalui paradigma mayoritarianisme NU dan Muhammadiyah, Islam Indonesia mampu membangun solidaritas keumatan yang dapat menyatukan berbagai suku dan bahasa yang berbeda-beda. Artinya, bila melihat kultur damai dan kerukunan di Indonesia, sikap dalam beragama masyarakat Indonesia sebenarnya memiliki peran sangat penting dalam mewujudkan koeksistensi damai. Inilah modal sosial yang barangkali sulit ditemukan di belahan dunia yang lain.

Moderasi dan Kerukunan

Salah satu indikator tentang apa dan bagaimana menjadi moderat adalah sikap toleransi terhadap perbedaan. Moderasi adalah proses bertoleransi antar manusia yang tujuannya mewujudkan kedamaian dan kerukunan. Moderat dalam beragama misalnya, adalah sikap jalan tengah dalam beragama yang tegak lurus serta tidak condong ke kanan maupun ke kiri. Orang yang bersikap moderat biasanya selalu bijak dan hati-hati dalam menyikapi berbagai hal.

Dalam diskursus moderasi di Indonesia, moderasi telah dibakukan dalam sebuah kebijakan nasional (2019) yang disebut sebagai moderasi beragama. Kebijakan ini diinisiasi oleh Kementerian Agama sebagai standar moral publik untuk mewujudkan masyarakat yang damai dan rukun.

Baca Juga  Polemik Biaya Pendidikan di Masa Pandemi COVID-19

Salah satu yang menjadi latar belakang lahirnya diskursus moderasi beragama karena adanya berbagai cara pandang dan sikap beragama yang cenderung pada sikap radikal dan liberal. Kedua sikap ini dianggap berbahaya bagi keberlangsungan iklim demokrasi dan kerukunan di Indonesia. Sehingga moderasi beragama menjadi relevan dan penting sebagai modal sosial untuk membangun keharmonisan.

Dalam sebuah makalah pengukuhan guru besar berjudul “Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan”, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menegaskan bahwa gagasan dan program moderasi ini juga bisa dijadikan sebagai jalan alternatif untuk membendung radikalisme agama.

Menurut Haedar, Indonesia sebagai sebuah tanah air, bangsa, dan negara lahir dalam proses sejarah dan sosiologis yang panjang. Proses itu sarat dinamika dengan karakter kuat bernuansa kehidupan yang moderat. 

NU dan Muhammadiyah merupakan dua sayap Islam Indonesia yang sangat berperan penting dalam menjaga nuansa moderasi itu. Sebagaimana dikatakan di awal, kedua ormas ini memiliki prinsip yang teguh pada Islam wasathiyah.

Meski harus dikatakan dengan jujur bahwa paradigma moderasi bukanlah murni dimiliki oleh umat Islam. Sebab budaya dan agama-agama yang ada di Indonesia sesungguhnya juga memegang prinsip moderat. Tetapi kedua ormas ini berperan penting dalam melegal-formalkan moderasi beragama yang kemudian menjadi harapan bersama oleh semua penganut agama di Indonesia untuk mewujudkan masyarakat yang rukun dan damai.

Meski tidak bisa dipungkiri bahwa pada dasarnya masyarakat Indonesia sudah rukun sejak dulu. Tetapi harus diingat pula bahwa kondisi rukun dan damai tidaklah dicapai secara gratis. Tidak pula dapat bertahan lama bila tidak dipelihara.

Jadi, antara keadaan rukun dan sikap rukun adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Singkatnya, bila moderasi adalah suatu proses (sikap rukun), maka kerukunan adalah hasil. 

Tetapi, sikap toleran bukanlah sikap yang secara inheren dimiliki oleh setiap masyarakat. Toleransi merupakan sikap moral yang tidak bisa berdiri sendiri, ia harus ditopang oleh nilai-nilai lain seperti agama, budaya, dan nilai-nilai budi pekerti lainnya.

Baca Juga  Guru Rumahan dan Guru Murahan

Sehingga menjadi toleran artinya searah dengan nilai-nilai yang diyakini bersama. Sederhananya, kita tidak mungkin dapat bersikap toleran hanya karena kita ingin menjadi toleran. Toleransi selalu ditopang oleh nilai-nilai yang diyakini sebelumnya, baik melalui agama maupun budaya.

Indonesia sendiri sejatinya masih menyisakan banyak sekali problem intoleransi. Mulai dari kekerasan atas nama agama, konflik politik identitas, dan persoalan kebudayaan. Toleransi sebenarnya bukan hanya menjadi problem masyarakat atau budaya tertentu seperti di Indonesia, tetapi ia menjadi problem kemanusiaan-universal.

Toleransi juga merupakan problem yang sudah ada sejak zaman dulu. Di tengah situasi masyarakat yang plural dan rentan konflik seperti Indonesia, sikap toleran menjadi dasar primordial bagi keutuhan masyarakat. Pada titik inilah, NU dan Muhammadiyah memiliki peranan yang sangat penting dan relevan bagi keberlangsungan bangsa Indonesia. 

Beruntung Indonesia memiliki NU dan Muhammadiyah yang sejak awal memiliki kebulatan tekat dan kesamaan visi dalam memelihara perdamaian dan kerukunan melalui sikap toleran yang dibangun berdasarkan nilai-nilai agama dan budaya keindonesiaan. Memang betul bahwa dominasi mayoritarianisme tidak selalu menguntungkan bagi semua lapisan masyarakat, terkhusus bagi kelompok minoritas. Sebab kelompok minoritas seringkali menjadi korban oleh kelompok tertentu yang mengatasnamakan mayoritas.

Tetapi bila mayoritarianisme memiliki kemampuan untuk mengakomodir dan menjaga kaum minoritas, maka gesekan-gesekan konflik yang terjadi di akar rumput bisa diminimalisir dengan semangat gotong royong dan kebersamaan.

Terlepas dari itu, beberapa tahun yang lalu NU dan Muhammadiyah juga sempat diusulkan untuk mendapatkan Nobel Perdamaian. Ada keyakinan kuat bahwa karakter masyarakat Muslim Indonesia yang moderat berakar dari kedua ormas Islam ini.

Kelayakan mendapat Nobel itu bisa dilihat dari konteks negara Indonesia yang dikenal sebagai negara bangsa yang memiliki stabilitas sosial politik di tengah pluralitas dan keragaman yang sangat tinggi. Semua itu tidak bisa dilepaskan dari kontribusi NU dan Muhammadiyah.

Editor: Yusuf

Avatar
19 posts

About author
Mahasiswa S3 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *