Fikih

Tahlilan itu Bagian dari Tradisi, bukan Syariat Islam

4 Mins read

Sudah menjadi kebiasaan umum di dalam masyarakat Muslim Indonesia, khususnya warga Nahdliyin (NU), ketika ada orang yang meninggal dunia maka dilaksanakan tradisi tahlilan. Tahlil sendiri adalah ritual perayaan atau selamatan kematian yang dilakukan untuk mendoakan orang yang sudah meninggal. Biasanya tradisi tahlilan dilakukan oleh sanak keluarga dan diikuti oleh tetangga-tetangganya. 

Secara harfiah, tahlilan adalah dzikir yang dibaca untuk membantu orang yang sudah meninggal. Pahala bacaan-bacaan dzikir ini dikhususkan bagi yang sudah meninggal. Dalam tradisi tahlilan ini biasanya juga diikuti dengan acara makan bersama. Sedekah makan yang diberikan oleh keluarga kepada yang hadir di acara tahlilan pahalanya dikhususkan kepada yang sudah meninggal.

Titik tekan pada upacara tahlilan ini bukan pada acara kumpul-kumpul dan makan bersama. Tetapi pada doa bersama untuk orang yang sudah meninggal sekaligus memperingati kematian orang tersebut.

Asal-usul

Dari mana sebenarnya tradisi tahlil itu berasal? Benarkah tahlilan merupakan tradisi lokal yang diwariskan dari tradisi agama Hindu-Budha? Banyak anggapan bahwa tradisi tahlil adalah tradisi yang turun temurun dari nenek moyang dahulu, yakni dari agama Hindu-Budha.

Anggapan ini wajar mengingat proses Islamisasi di Nusantara oleh para ulama dulu seringkali dilakukan dengan cara akulturasi budaya, yakni memanfaatkan budaya-budaya lokal sebagai media dakwah.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Agus Sunyoto menunjukkan bahwa tidak benar bila tradisi tahlilan itu berasal dari Hindu-Budha. Menurutnya, dalam agama Hindu tidak ditemukan tradisi memperingati hari kematian yang dilakukan pada hari ke-3, ke-7, ke-40, dan seterusnya. Dalam agama Hindu hanya dikenal tradisi Sraddha, yakni sejenis upacara peringatan kematian yang dilakukan dua belas tahun setelah seseorang meninggal dunia.

Sunyoto menambahkan bahwa tradisi upacara kematian juga tidak ditemukan di zaman Majapahit, sehingga menjadi jelas bahwa tradisi tahlilan bukan merupakan bentuk akulturasi-asimilasi budaya dari agama-agama terdahulu.

Baca Juga  Tidak Hafal Doa, Ibadah Haji Tetap Sah

Dikutip dari laman NU Online, penelitian yang dilakukan oleh Antoine Cabaton dalam Les Chams Musulmans de I’Indochine Francaise (1907) menunjukkan bahwa upacara kematian pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, dan ke-1000 merupakan tradisi yang dilakukan oleh orang Melayu-Polinesia. Tradisi tersebut kemudian dijalankan oleh masyarakat Muslim Nusantara akibat pengaruh dari tradisi Muslim Champa (Vietnam). Dibawa oleh dua penyebar Islam asal Champa, yakni Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan Raden Ali Murthado (Ali Musada).

Bukan hanya upacara kematian, orang-orang Champa dulu juga melakukan haul tahunan, perayaan Hari Asyura, Maulid Nabi SAW, upacara pernikahan anak, dan adat kebiasaan Melayu-Polinesia lainnya. Acara perayaan keagamaan ini dikemudian hari diperkenalkan ke masyarakat pribumi Nusantara bersamaan dengan penyebaran agama Islam. 

Bagi masyarakat Muslim yang biasa melaksanakan tradisi tahlilan seperti warga Nahdliyin, tradisi tahlil tidak dianggap sebagai bagian dari syariat agama. Tahlil hanya dianggap sebagai tradisi keagamaan yang dilakukan untuk mendoakan orang yang sudah meninggal. Bagi yang sudah terbiasa tahlilan, tradisi ini sudah mengakar kuat dan mendarah daging sehingga bila tidak dilakukan maka dianggap kurang afdhal.

Tahlilan dan Syariat Islam

Jelas bahwa tradisi tahlilan bukan merupakan bagian dari syariat Islam. Tahlil hanyalah kebiasaan yang dianggap baik dan perlu dilakukan untuk mendoakan orang-orang yang sudah meninggal. Islam sendiri mengajarkan bahwa berdoa dan berdzikir merupakan sesuatu yang perlu dan harus dilakukan oleh segenap umat Islam. Baik itu dilakukan secara mandiri maupun bersama-sama.

Orang-orang yang melestarikan tradisi tahlil berkeyakinan bahwa mendoakan orang yang sudah meninggal pahalanya bisa sampai kepada mayit. Ini seturut dengan pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa mendoakan orang yang sudah mati hukumnya boleh dan pahalanya bisa sampai. Misalnya pendapat imam Ibn Qoyim dan Ibn Taimiyyah yang dikutip oleh Kyai Ali Maksum dalam Kitab Risalah Ahlusunnah wal Jamaah. Kedua ulama besar itu mengatakan bahwa membaca Alquran dan membacakan doa kepada mayit pahalanya bisa sampai.

Baca Juga  Pernikahan Sedarah Menurut Sains dan Islam

Dalam perspektif Islam, persoalan tahlilan merupakan sesuatu yang bersifat furu’iyah. Ia masuk kategori khilafiyah. Yakni perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Sehingga persoalan tahlilan tidak perlu dipersoalkan secara berkelanjutan apalagi sampai menimbulkan konflik.

Sebab persoalan khilafiyah atau perbedaan pendapat adalah sesuatu wajar dan akan terus terjadi. Artinya, orang-orang yang menolak tahlil dan menerima tahlil dua-duanya memiliki sanad yang jelas untuk mengatakan boleh dan tidaknya tahlilan.

Sehingga persoalan ikhtilaf mengenai tahlil ini tidak perlu menjadi pertentangan yang berkepanjangan, apalagi sampai menimbulkan politik identitas. Misalnya orang yang melaksanakan tahlil adalah warga Nahdliyin, sementara yang tidak melaksanakanya pasti orang Muhammadiyah.

Padahal, bila melihat fakta di lapangan, sebenarnya kebiasaan tahlil itu sendiri juga ada yang dilakukan oleh sebagian komunitas Muhammadiyah. Karenanya, menyikapi perbedaan di kalangan umat harus dilakukan dengan suasana yang rileks dan cair.

NU, Tahlilan, dan Akomodasi Budaya

Fenomana tahlilan memang sangat identik dengan warga Nahdliyin. Tetapi, sebetulnya bukan hanya orang-orang NU yang melaksanakan tradisi tahlilan. Sebab tradisi ini sudah ada jauh sebelum NU berdiri. Kendati demikian, tradisi ini umumnya dipertahankan dan dilestarikan oleh warga NU dan sudah menjadi ciri khas bahwa tradisi tahlil milik orang-orang NU.

Karena tahlilan ini lebih merupakan fenomena budaya ketimbang fenomana agama, maka tradisi tahlilan juga harus dipahami sebagai sebentuk produk kebudayaan yang dilakukan oleh sebagian umat Islam. Ini bisa dimengerti lantaran tidak ada teks tertulis dalam Islam yang menganjurkan umat Islam untuk melakukan ritual tahlil bersama-sama. Tetapi ini dilakukan semata-mata untuk solidaritas kepada umat Islam yang lain, khususnya kepada mereka yang sudah meninggal.

Fenomena tahlilan yang begitu mengakar kuat dalam tradisi orang-orang NU merupakan suatu hasil dari proses asimilasi dan akomodasi terhadap budaya. Sejak dahulu, orang-orang NU terkenal dengan sikap yang rileks dan cair dalam melihat dan menyikapi budaya. Mereka mudah membaur dan sangat akomodatif terhadap kebudayaan yang sudah ada di sekitarnya. Hal ini dilakukan demi memudahkan proses dakwah dan penyebaran ajaran Islam.  

Baca Juga  Najib Burhani: Muhammadiyah Bukan "Islam Pamflet"

Selain itu, tradisi tahlil juga bisa dilihat dari perspektif ilmu-ilmu keadaban. Misalnya, orang yang sadar akan pentingnya ilmu keadaban pasti akan melihat fenomena Islam sebagai agama bukan terbatas hanya pada aspek akidah dan syariat saja. Islam juga sangat dekat dengan budaya.

Artinya, akidah dan syariat memang merupakan perwujudan ideal dari sebuah agama. Tetapi, dalam bentuk praktik dan pemahaman keagamaan, Islam tidak pernah bisa lepas dari aspek kebudayaan.

Alhasil, Islam bukan hanya dipahami sebagai agama yang berdimensi akidah dan syariat semata. Islam juga menyangkut aspek peradaban, kebudayaan, dan tradisi yang semakin memperkaya khazanah ilmu-ilmu keislaman. Itu artinya, Islam sebagai agama tidak hanya sesuatu yang datang dari langit dan langsung diterapkan begitu saja. Tetapi kita harus menghadirkan Islam secara lebih membumi, manusiawi, dan terikat dengan dimensi kesejarahan.

Dengan ilmu keadaban yang berdimensi budaya, pemahaman terhadap agama Islam tidak hanya dimengerti semata-mata sebagai agama yang hanya berdimensi sakral. Tetapi dalam praktiknya Islam juga agama yang memiliki sisi profanitas yang diwujudkan dalam tradisi dan kebudayaan yang semakin memperkaya pemahaman akan agama Islam. 

Editor: Yusuf

Avatar
19 posts

About author
Mahasiswa S3 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *