Dulu ketika saya masih kecil, saya sering diajak nenek saya ke pasar tradisional. Memang pada saat itu belum ada swalayan, ritail nasional, apa lagi marketplace sebagai jual beli online. Nenek memberitahu saya bahwa di pasar banyak “combre”, yaitu orang yang menawar-nawar barang dagangan yang sebenarnya tidak ingin membeli.
Combre membuat narasi di depan penjual dalam bentuk dialog, tawar menawar, bahkan dibumbui sanjungan agar para pendengar dari konsumen tertarik untuk membeli.
Combre ini biasanya teman pedagang yang tugas utamanya mempengaruhi calon pembeli supaya tertarik untuk membeli. Targetnya adalah supaya konsumen membeli dengan harga yang telah di mark up (dinaikkan jauh melebihi harga aslinya). Volume penjualan juga menjadi pertimbangan honor combre. Dari selisih harga yang tinggi dan laba dari banyaknya volume penjualan inilah combre memperoleh bayaran.
Dalam khazanah fikih, fenomena ini disebut sebagai bai’ najasy, yaitu rekayasa pasar dalam demand atau permintaan yang terjadi ketika seorang produsen menciptakan permintaan palsu, sehingga seolah-olah ada banyak permintaan terhadap harga suatu produk yang menyebabkan harga jual produk tersebut naik. Salah satu caranya dengan menggunakan jasa combre untuk mempengaruhi konsumen, bahwa produk yang sedang ditawarkan diminati banyak orang.
Seiring perkembangan zaman, profesi combre ini mengikuti budaya dan teknologi yang berkembang. Pada era digital, bentuk combre menjadi ulasan fiktif atau fake review. Ulasan produk atau fake review sebenarnya ulasan produk yang umum dalam bisnis digital. Review produk juga bagian dari proses pemasaran.
Produsen atau penjual sebuah produk menjelaskan spesifikasi dan keunggulan produknya untuk meyakinkan pembeli. Review produk juga sering dilakukan oleh konsumen ketika membeli sebuah produk, baik karena puas agar orang lain ikut membeli, maupun karena kecewa.
Sayangnya, banyak yang melakukan ulasan fiktif untuk merayu konsumen, dengan kata lain bai’ najasi reborn menyesuaikan dengan teknologi digital terkini.
Ulasan fiktif bukan hanya terjadi pada dunia bisnis, namun juga politik. Bagaimana calon legislatif atau pejabat publik dipoles sedemikian rupa supaya tampak berkualitas. Kata orang jawa ”ngraupi kucing rembes” make up kucing liar supaya tampak indah berkualitas.
Ulasan fiktif era digital ini bahkan memunculkan profesi baru, yaitu platform penyedia jasa ulasan. Pelaku usaha digital tinggal meminta tolong platform jasa review dengan biaya dan target yang disepakati.
Pelaku jasa ulasan fiktif menyediakan jasa branding produk mulai dari desain konten sampai pada komentar pada kolom chat media sosial. Pelaku jasa ini juga memiliki aplikasi untuk mendongkrak ratting penjualan.
Jasa ulasan fiktif berbeda dengan makelar. Jasa ulasan fiktif hanya mereview produk sebagus mungkin, sedangkan makelar mereview dan ikut menjualkan produk dengan imbalan tertentu. Bai’ najasy gaya baru berupa ulasan fiktif ini banyak menimbulkan korban. Konsumen menjadi kecewa karena produk yang diterima dalam jual beli online ternyata tidak seperti yang direview.
Parahnya, ulasan fiktif pada jual beli online ini menemukan pasangan, yaitu masyarakat konsumtif. Keinginan untuk memperoleh barang yang diidamkan mengabaikan sikap investigatif terhadap sebuah ulasan. Istilah bahasa Jawanya, kutuk ketemu sunduk, tumbu ketemu tutup.
Sebenarnya ada beberapa cara yang bisa dilakukan konsumen agar terhindar dari jebakan ulasan fiktif. Ciri-ciri ulasan fiktif pada media sosial maupun situs belanja online, diantaranya; sering mengulang nama produk secara lengkap, cenderung menggunakan bahasa yang lebih ekstrim atau bisa dibilang lebay, peringkat dan jumlah ulasan yang tertera tidak sesuai dengan kenyataannya, kalau peringkatnya tinggi, padahal hanya ada beberapa ulasan saja, bisa jadi hal tersebut merupakan ulasan fiktif.
Selain cerdas mengenali dan memahami ciri-ciri ulasan fiktif, dari sisi konsumen juga harus mengendalikan prilaku konsumtifnya. Prilaku konsumtif biasanya dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal lebih banyak dipengaruhi oleh pandangan seseorang terhadap dunia, pemahaman agama dan tingkat pendidikan.
Sementara faktor eksternal dipengaruhi oleh kebudayaan, kelas sosial, kelompok referensi, keluarga, kepribadian, dan gaya hidup. Namun demikian biasanya tingkat pendapatan ekonomi mengubah seseorang dalam faktor-faktor eksternal ini. Faktor eksternal bisa dikendalikan jika faktor internal lebih baik dan kuat. Dengan kata lain, pendapatan yang tinggi menjadi ujian berat pengendalian diri dari prilaku konsumtif.
Jebakan ulasan fiktif akan terus menggurita seiring dengan peningkatan budaya konsumtif masyarakat. Ulasan fiktif jelas salah dalam kacamata etika bisnis, namun akan tetap hidup pada ruang-ruang kosong konsumerisme.
Kekuatan jejaring sosial tidak hanya berdampak pada generasi muda. Kini, aktivitas media sosial bersifat menghibur dan menghabiskan waktu dari generasi ke generasi. Tak heran jika setiap orang mulai dari cucu hingga nenek setidaknya memiliki satu akun media sosial. Pada kondisi inilah fake review berkembang dengan pesat tanpa dapat dibendung.
Disadari atau tidak, terkadang kita membeli sesuatu bukan karena membutuhkannya. Tetapi karena tergiur oleh ulasan produk yang bagus dan menarik. Pada awalnya hanya scrol media sosial, lalu menemukan review produk yang bagus, timbul rasa tertarik, kemudian membelinya.
Gaya hidup konsumtif sering kali menimbulkan ketidakpuasan terus menerus, karena mereka selalu disodori produk yang lebih banyak dan lebih bagus. Pada akhirnya akan mengganggu manajemen keuangan dan ketahanan ekonomi.
Kemudahan transaksi melalui e-commers yang terintegrasi langsung dengan sistem keuangan ikut menyuburkan budaya konsumtif. Tinggal menekan aplikasi maka pembayaran selesai. Karenanya, ulasan fiktif pada masyarakat konsumtif perlu diiringi dengan literasi yang memadahi dalam banyak hal, supaya tidak diperbudak oleh keinginan yang seringkali tidak dibutuhkan. Keinginan biasanya tanpa batas, sementara kebutuhan manusia sebenarnya terbatas dan bisa dinegosiasikan.
Editor: Soleh