Di tengah riuh peringatan Hari Kartini setiap tahunnya, kita seringkali terjebak dalam perayaan yang bersifat seremonial. Kebaya, lomba fashion show, dan pidato-pidato formal dan seremonial dilakukan demi mengenang sosok R.A. Kartini. Namun, tak sedikit dari kita yang melupakan substansi utama perjuangannya: kebebasan berpikir. Bukan kebebasan tanpa arah, melainkan kebebasan yang berlandaskan nilai dan tujuan.
Kartini hidup pada masa ketika perempuan tidak dipandang sebagai individu utuh, melainkan sebagai pelengkap bagi laki-laki. Dalam struktur sosial yang mengekang, ia hadir dengan gagasan radikal: perempuan harus dapat berpikir, berpendidikan, dan mengambil keputusan sendiri. Gagasan ini bukan hanya membebaskan, tapi juga membentuk arah dan makna dalam kehidupan perempuan.
Kebebasan yang Berakar Kartini
Surat-surat Kartini dalam Habis Gelap Terbitlah Terang menunjukkan bahwa kebebasan berpikir yang ia perjuangkan bukanlah bentuk pemberontakan tanpa arah. Ia menolak semangat anarkis. Baginya, kebebasan berpikir harus berpijak pada nilai luhur, tanggung jawab, dan arah yang jelas—bukan sekadar kebebasan untuk berbicara atau bertindak sesuka hati.
Di era digital, makna kebebasan sering disalahartikan. Banyak yang merasa bebas berkata dan bertindak tanpa mempertimbangkan dampaknya. Kebebasan berpikir dimaknai secara dangkal sebagai hak tanpa tanggung jawab. Padahal, Kartini mengajarkan bahwa kebebasan itu harus membawa pada perubahan yang positif dan bermanfaat.
Bukan Sekedar Kebaya, Kartini Wahana Kebebasan yang Mencerdaskan
Kartini menaruh harapan besar pada pendidikan, tidak soal memakai kebaya. Ia bercita-cita mendirikan sekolah untuk perempuan, bukan semata agar mereka bisa membaca dan menulis, tetapi agar mampu mengasah nalar, membentuk karakter, dan mengambil keputusan yang bijaksana. Baginya, kebebasan berpikir adalah alat untuk mencerahkan, bukan membingungkan masyarakat.
Dalam berbagai suratnya, Kartini juga menekankan pentingnya kesopanan, ketulusan, dan empati. Ia tidak mendorong perempuan untuk mengejar ambisi pribadi dengan mengabaikan etika. Sebaliknya, kebebasan harus disertai dengan tanggung jawab sosial dan moral, yang menjadikan manusia lebih bermartabat.
Panggilan untuk Dunia Pendidikan dan Media Sosial
Semangat Kartini seyogianya menjadi roh dalam sistem pendidikan saat ini bukan sekadar simbol kebaya. Pendidikan harus melahirkan manusia yang mampu berpikir kritis dan etis, bukan sekadar pandai menghafal. Di media sosial, kebebasan berekspresi juga perlu dibingkai dengan kearifan—berpikir sebelum berbicara dan bertanggung jawab atas konten yang dibagikan.
Kartini memandang kebebasan berpikir sebagai jembatan menuju kemajuan bangsa. Tanpa arah, kebebasan dapat menjadi bumerang yang menimbulkan kekacauan. Namun, dengan arah yang tepat, ia menjadi kekuatan pembebas dari kebodohan, stagnasi, dan ketidakadilan.
Kartini bukan hanya pejuang emansipasi perempuan. Ia adalah simbol manusia yang ingin berpikir dan hidup secara bermartabat. Ia percaya bahwa kebebasan berpikir harus membawa manusia pada perbaikan diri dan masyarakat, bukan sebaliknya.
Menghidupkan Kartini Bukan Sekadar Simbol Kebaya
Memperingati Kartini bukan sekadar mengenakan kebaya atau membagikan kutipan inspirasional. Lebih dari itu, ini adalah momentum untuk membebaskan pikiran dari kebodohan dan mengarahkan kebebasan menuju kemaslahatan. Menjadi merdeka, dalam arti yang sesungguhnya, dimulai dari merdeka dalam berpikir dan merdeka dari dalam hati.
Pada akhirnya, pelajaran terbesar dari Kartini adalah bahwa kebebasan berpikir bukan hanya hak, tapi juga tanggung jawab. Jika kebebasan itu tak diarahkan, maka ia bukanlah kemerdekaan, melainkan kehampaan. Maka hari ini, jika kita ingin benar-benar menghormati Kartini, mari bertanya pada diri sendiri: untuk apa kita berpikir? Dan ke mana arah pikiran kita akan membawa dunia ini.
Editor: Assalimi
Thank for Information
Greeting:
Telkom University