Sejarah Andalusia pada masa Reconquista sering kali dilukiskan dalam nuansa hitam dan putih yang mencolok—para ksatria Kristen bertempur melawan para emir Muslim, perang suci selama berabad-abad yang mengadu iman dengan iman, salib dengan bulan sabit. Namun, sejarah jarang sekali berpegang pada kejelasan seperti itu. Di balik panji-panji perang salib dan seruan perang, terdapat cerita kesetiaan yang jauh lebih rumit. Salah satu kisah tersebut adalah kisah Reverter de La Guardia, viscount Barcelona, yang memimpin pasukan Kristen Al-Murabitun.
Reverter de la Guardia lahir di kawasan Katalonia, Spanyol, di tengah-tengah pengaruh politik dan budaya yang kuat antara Kristen dan Muslim. Ia adalah putra Guislabert II, viscount Barcelona, sebuah gelar yang pada saat itu telah kehilangan banyak prestisenya. Ia menikahi seorang wanita yang dikenal sebagai Ermesindis dan memiliki beberapa putra bersamanya.
Sebagai seorang pengikut Count Barcelona, ia ditawan oleh Almoravid selama pertempuran di sepanjang sungai Ebro pada tahun 1120-an, mungkin tahun 1126. Reverter ditawan oleh komandan angkatan laut Al-Murabitun, Ali bin Maymun. Ia tetap menjadi tawanan perang di Afrika Utara selama sekitar satu dekade hingga munculnya ancaman Almohad di Maghrib al-Aqsa yang mendorong emir, Ali ibn Yusuf, untuk mengerahkan pasukan tentara bayaran di antara tentara Spanyol yang ditawan (sekitar tahun 1132).
Ditunjuk jadi Kepala Korps Kristen oleh Ali bin Yusuf
Ia ditunjuk menjadi kepala korps Kristen (farfanes) oleh penguasa Al-Murabitun, Ali bin Yusuf. Reverter setuju untuk memimpin pasukan ini, dengan izin tegas dari bangsawan Barcelona. Penguasa Muslim pada abad pertengahan sering kali mendiversifikasi pasukan darat mereka untuk mendapatkan keahlian taktis dari berbagai kelompok sosial.
Keberadaan pasukan militer yang berbeda secara etnis membantu mencegah pemberontakan di tubuh pasukan darat. Unit-unit kulit hitam bertugas bersama pasukan tawanan perang Kristen seperti Reverter. Dalam konteks siklus Khaldunian, perekrutan kelompok yang tercabut akarnya tanpa hubungan mendalam dengan masyarakat lokal, biasanya dalam bentuk tentara budak atau tentara bayaran, merupakan cara pasti untuk melestarikan dinasti ketika asabiyya koalisi suku awal yang telah membawanya ke kekuasaan telah memudar.
Ibnu Khaldun juga mencatat bahwa pasukan Kristen membawa diversifikasi dalam taktik tempur di Afrika Utara, yang membantu pasukan Muslim dalam pertempuran. Mereka menjadi pengawal bagi para Amir di medan perang. Pengumpulan pajak oleh tentara Kristen juga menjadi fungsi penting bagi para penguasa di Afrika Utara. Mereka sering kali menggunakan kekuatan militer untuk mengumpulkan pajak dari penduduk lokal.
Meskipun kesetiaan orang Kristen Andalusia sering diragukan karena konflik antara kerajaan Muslim dan Kristen, tentara beragama Kristen membuktikan diri sebagai pendukung setia dinasti Al-Murabitun dalam berbagai perang. Beberapa orang Kristen dalam pelayanan Al-Murabitun mempertahankan identitas agama mereka, yang lain, terutama tawanan, masuk Islam dan menjadi “pemberontak” (ilj atau‘ulūj), meskipun istilah ini juga dapat digunakan secara merendahkan bagi orang Kristen secara umum, sehingga sulit untuk memastikan apakah seorang ‘ilj adalah seorang mualaf atau bukan.
Diversifikasi sosial kaum elit ini, dan khususnya dalam militer di darat, memiliki sejumlah dampak sosial. Pasukan darat dan anggota istana yang terdiri atas berbagai warna kulit menjadi tanda bagi kekuasaan sebuah negara pada masa itu. Perekrutan terhadap masyakarkat Maghribi, Andalusia, Ghuzz, Sahara, dan Kristen oleh militer Al-Muwahiddun bisa dilihat sebagai unjuk kemampuan dari seorang penguasa, untuk memimpin orang-orang dari semua warna dan ras.
Kiprah Reverter dalam Pasukan Al-Murabitun
Pertempuran antara Al-Murabitun dan al-Muwahiddun sangat brutal dan berdampak besar pada perubahan politik di wilayah Maghreb. Amir Ali bin Yusuf meninggal pada bulan Januari 1143 dan digantikan oleh Tashfin yang telah menjadi pewaris tahta setelah kematian saudaranya beberapa tahun sebelumnya. Amir baru tersebut melanjutkan perjuangan melawan al-Muwahiddun untuk menguasai wilayah yang sekarang menjadi Aljazair bagian barat dengan bantuan komandan utamanya yang setia.
Reverter tidak pergi sendiri ke Afrika Utara. Dua putra Reverter juga bertempur bersama Reverter dalam pasukan Amir. Berenguer yang tertua menjadi viscount baru setelah ayahnya meninggal dan kembali ke Spanyol. Sementara putra yang muda, Abu-l-Hasan, mengambil alih komando kontingen Kristen sebelum akhirnya memeluk Islam. Selama Reverter tidak berada di Barcelona, keponakannya, Guillem, memerintah atas namanya.
Reverter dan tentara bayaran Kristennya tampaknya sangat berhasil membendung kemajuan Almohad selama beberapa tahun. Sang ksatria Katalonia terbukti menjadi pendukung Tashfin bin ‘Ali yang setia selama serangan pasukan al-Muwahiddun mengepung kaum Al-Murabitun di daerah Tlemcen pada tahun 1140-an.
Akan tetapi pada tahun 1144, Reverter meninggal selama serangan al-Muwahiddun di dekat kota Tlemcen. Terbunuhnya Reverter dan pasukannya menjadi momen krusial yang mengakhiri kekuasaan Al-Murabitun. Beberapa amir utama Al-Murabitun dari suku Masufa juga membelot ke Abdul Mu’min, yang memungkinkan pasukan al-Muwahiddun untuk merebut Tlemcen dan Oran.
Pasukan Al-Muwahiddun kemudian menyerang Amir Tashfin, yang telah mundur ke benteng Al-Murabitun di kota Oran. Sejarawan Ibnu ‘Idhari memberikan kisah dramatis tentang akhir hidup Amir Tashfin, yang menggambarkan sang penguasa Al-Murabitun sebagai kesatria pemberani. Kematian Tashfin bin Ali menandai berakhirnya era Al-Murabitun di Andalusia dan Maghreb.
Editor: Soleh