Banjir dan longsor yang melanda Aceh dan sebagian besar wilayah Sumatera bukan lagi peristiwa alam biasa. Ia telah menjelma menjadi krisis kemanusiaan yang nyata, panjang, dan melelahkan. Air bukan sekadar menggenang, tetapi menerjang seperti gelombang. Lumpur bukan hanya mengotori rumah, tetapi mengubur harapan. Sungai yang selama ini dianggap sahabat berubah menjadi ancaman, dan kampung-kampung yang tenang mendadak lumpuh tanpa aba-aba.
Ketika Air Melampaui Logika, Negara Masih Berdebat Kata
Saat kekacauan itu, negara justru terjebak dalam perdebatan bahasa dan gengsi. Pernyataan-pernyataan resmi yang muncul cenderung normatif, berulang, dan menenangkan di atas kertas, tetapi rapuh ketika diuji oleh kenyataan. Pemerintah berkali-kali menyatakan kondisi terkendali dan penanganan mampu dilakukan. Sayangnya, klaim itu tidak sejalan dengan apa yang dialami warga di pengungsian.
Di banyak titik terdampak, bantuan perdana baru diterima setelah lebih dari sepekan. Anak-anak tidur di bangunan kayu tanpa dinding rapat, orang tua menahan lapar, dan warga bertahan hidup dengan logistik seadanya. Di tengah situasi seperti itu, mendengar negara menyebut dirinya “mampu” justru terasa menyakitkan. Bukan karena rakyat ingin menyalahkan, tetapi karena kenyataan di lapangan terlalu keras untuk disamarkan oleh retorika.
Lebih ironis lagi, publik menyaksikan pola yang berulang: pejabat tampil percaya diri, menyatakan segalanya aman dan terkendali, lalu beberapa hari kemudian mengakui kekeliruan informasi dan meminta maaf. Permintaan maaf tentu penting dalam etika pemerintahan. Namun bagi korban bencana, permintaan maaf tidak serta-merta mengubah kenyataan bahwa bantuan terlambat, koordinasi tersendat, dan penderitaan berlangsung lebih lama dari yang seharusnya.
Bencana tidak membutuhkan optimisme verbal. Ia membutuhkan kejujuran sejak awal. Mengakui bahwa negara memiliki keterbatasan bukan tanda kelemahan, melainkan fondasi untuk mengambil keputusan yang lebih tepat dan cepat.
Bantuan yang Ada, Tapi Tak Seimbang dengan Luka
Tak bisa dipungkiri, bantuan pemerintah memang hadir. Ada dapur umum, posko darurat, distribusi logistik, dan kunjungan pejabat. Namun masalahnya bukan pada ada atau tidaknya bantuan, melainkan pada skala dan kecepatannya yang tidak seimbang dengan besarnya bencana. Wilayah terdampak luas, infrastruktur rusak parah, akses terputus, dan jumlah pengungsi besar. Dalam kondisi seperti ini, respons biasa tidak lagi cukup.
Di banyak kamp pengungsian, masyarakat bertahan bukan karena sistem negara bekerja optimal, melainkan karena solidaritas warga, relawan, organisasi kemasyarakatan, dan inisiatif individu. Ansor, Banser, relawan kampus, santri, dan masyarakat sipil menembus lumpur, mengangkat logistik dengan tenaga sendiri, bahkan mempertaruhkan keselamatan demi menjangkau daerah terisolasi. Solidaritas ini patut dihargai, tetapi sekaligus menjadi tamparan keras bagi negara.
Sebab ketika rakyat mampu bergerak cepat dengan keterbatasan, negara justru bergerak lambat dengan segala perangkatnya, ada yang keliru dalam tata kelola bencana. Lebih menyedihkan lagi, sebagian bantuan masyarakat harus melalui prosedur perizinan yang berbelit, seolah empati harus menunggu stempel birokrasi.
Di sisi lain, persoalan mendasar seperti kerusakan lingkungan, alih fungsi hutan, lemahnya pengawasan daerah aliran sungai, dan kebijakan pembangunan yang abai terhadap daya dukung alam nyaris tak disentuh dalam diskursus resmi. Banjir dan longsor seolah dipersempit menjadi sekadar hujan ekstrem, padahal akar masalahnya jauh lebih dalam dan struktural.
Ketiadaan penetapan status bencana nasional semakin memperjelas kegamangan negara. Tanpa status tersebut, ruang gerak kebijakan terbatas, anggaran tidak fleksibel, dan koordinasi lintas sektor berjalan lamban. Padahal indikator bencana nasional sudah nyata di depan mata: korban jiwa, kerusakan masif, lumpuhnya pendidikan dan ekonomi, serta ketidakmampuan daerah menangani sendiri.
Penundaan ini menimbulkan pertanyaan yang tak terhindarkan: apakah penderitaan rakyat belum cukup untuk disebut darurat nasional?
Menolak Bantuan Dunia, Memelihara Gengsi yang Mahal
Sikap negara yang cenderung menutup diri dari kemungkinan bantuan internasional juga layak dikritisi. Dalih kedaulatan dan kemampuan internal kerap dikedepankan, seolah menerima bantuan kemanusiaan dunia adalah bentuk kegagalan negara. Padahal sejarah Aceh justru membuktikan sebaliknya. Tragedi tsunami 2004 menunjukkan bahwa kolaborasi internasional dapat mempercepat pemulihan, memperkuat kapasitas lokal, dan membangun sistem mitigasi yang lebih baik.
Ironisnya, dalam urusan ekonomi, investasi, dan tenaga kerja asing, pintu negara justru terbuka lebar. Namun ketika solidaritas global hendak hadir atas nama kemanusiaan, negara mendadak defensif. Ini menciptakan paradoks yang sulit dijelaskan secara moral. Jika negara merasa mampu, mengapa warga di pengungsian masih menunggu bantuan berhari-hari? Jika negara benar-benar siap, mengapa relawan harus menembus lumpur dengan biaya sendiri?
Pengakuan bahwa bencana Aceh–Sumatera memiliki dimensi nasional bahkan internasional bukan berarti menyerahkan kedaulatan. Justru sebaliknya, itu adalah bentuk tanggung jawab negara untuk memastikan rakyatnya mendapat perlindungan maksimal. Bantuan internasional bukan hanya soal logistik, tetapi juga rehabilitasi lingkungan, pemulihan psikososial, pendidikan darurat, dan penguatan sistem kebencanaan jangka panjang.
Yang paling berbahaya dari bencana ini bukan hanya banjir dan longsor, melainkan sikap menolak kenyataan. Selama negara sibuk menjaga citra dan gengsi, rakyat terus berjuang dalam senyap. Selama status bencana nasional tak kunjung diumumkan, penderitaan akan terus ditangani setengah-setengah.
Sudah saatnya pemerintah berhenti berkoar tentang kemampuan dan mulai jujur pada keterbatasan. Kejujuran itulah yang akan membuka jalan bagi kebijakan yang lebih berani, cepat, dan manusiawi. Sebab dalam bencana, yang paling dibutuhkan rakyat bukan pidato yang menenangkan, melainkan keputusan yang menyelamatkan.
Aceh dan Sumatera tidak membutuhkan janji. Mereka membutuhkan keberanian negara untuk berkata apa adanya, bertindak secepatnya, dan mengakui bahwa tragedi ini terlalu besar untuk ditangani dengan cara biasa. Jika negara terus menunda pengakuan, maka yang dipertaruhkan bukan hanya reputasi pemerintah, melainkan kepercayaan rakyat itu sendiri.
Editor : Ikrima

