Perspektif

Desentralisasi Islam, dari Timur Tengah Menuju Indonesia

3 Mins read

“Islam harus didesentralisasi. Desentralisasi Islam dilakukan karena Islam yang ditampilkan di Timur Tengah terkadang penuh dengan konflik dan perang,” ujar Prof. Najib Burhani dalam sebuah seminar internasional belum lama ini.

Gagasan “menjauhkan” Islam dari sumbernya di Timur Tengah itu masih terus didengungkan oleh sementara intelektual. Agaknya, istilah “desentralisasi Islam” yang digunakan oleh Najib Burhani tersebut merupakan istilah yang tidak masyhur, bahkan relatif baru. Namun, semangat untuk menghidupkan gairah keislaman yang terlepas dari budaya Timur Tengah bukan hal yang baru.

Beberapa puluh tahun silam, Fazlur Rahman telah meramalkan bahwa kelak, Islam justru bangkit dari Indonesia. Bukan Timur Tengah seperti yang selama ini dianggap oleh banyak orang sebagai sumber keislaman. Geliat pertumbuhan agama Islam di negara-negara Melayu, khususnya Indonesia, menarik untuk dilihat.

Islam di Indonesia adalah salah satu “model” Islam yang berhasil dikawinkan dengan demokrasi. Terlepas dari seluruh problematika bangsa seperti korupsi dan kolusi, Islam di Indonesia relatif dapat berdamai dan berhubungan baik dengan demokrasi.

Timur Tengah: Kepingan Neraka di Muka Bumi

Bandingkan dengan negara-negara Timur Tengah. Hamim Ilyas dalam buku Fikih Akbar menyebut bahwa Yaman, Suriah, Libya, Somalia, Afghanistan, dan Irak adalah negara gagal. Presiden Yaman Abd-Rabbu Mansour Hadi saja memerintah negaranya dari Riyadh setelah Sana’a, ibukota Yaman dikuasai oleh milisi Syiah Houthi. Bagaimana mungkin seorang presiden memimpin negaranya dari luar negeri?

Afghanistan tak lebih baik nasibnya. Kini, Afghanistan ada di tangan Thaliban, sebuah kelompok yang memiliki reputasi buruk di dunia internasional. Pemerintahan Irak tak mampu mengendalikan wilayahnya melainkan Baghdad dan sekitarnya saja. Daerah-daerah di luar Baghdad dikuasai oleh raja-raja kecil di daerah.

Baca Juga  Pilpres 2019, Umat Islam sebagai Penentu?

Libya tak kunjung membaik meski rezim tangan besi Khadafi telah dilengserkan melalui Arab Spring. Suriah di bawah kepemimpinan Bashar Asad jelas lebih buruk lagi. Buya Syafii dalam buku Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam menyebut Timur Tengah sebagai kepingan neraka yang jatuh ke muka bumi. Luluh lantah.

Mari kita lihat negara-negara Arab yang seolah aman dan damai. Arab Saudi menerapkan sistem monarki absolut. Negara itu menerapkan paham Islam ala wahabi sebagai paham kegamaan resmi negara, dan memberangus pikiran-pikiran lain yang tidak sepakat. Indeks demokrasi Saudi menempati posisi ketujuh dari bawah, dari total 167 negara.

Buya Syafii, masih di buku yang sama menyebut bahwa negara-negara Arab kaya seperti Qatar, Uni Emirat Arab, Oman, dan Kuwait sama sekali tidak memiliki kepedulian terhadap negara-negara Arab yang berkonflik seperti Suriah dan Palestina. Bahkan, negara-negara tersebut menutup pintu rapat-rapat untuk pengungsi dari saudara Arabnya.

Bahkan, sebagian dari negara Arab kaya itu justru turut memperparah konflik-konflik yang ada. Koalisi Saudi dan UEA membentuk koalisi yang terus menggempur Houthi di Yaman. Konon, kelompok Houthi ini didukung oleh Iran. Perang dingin Saudi dan koalisi dengan dukungan Amerika melawan Iran telah membuat Suriah dan Yaman terus membara. Hal ini secara tidak langsung membuat Palestina sebagai negara yang menyandarkan dukungan kepada negara Arab menjadi seperti yatim piatu. Tak ada lagi negara Arab yang peduli dengan nasib Palestina.

Belum lagi melihat negara-negara Arab yang mulai melakukan normalisasi hubungan terhadap Israel. Normalisasi hubungan terhadap Israel membuat Palestina semakin terdesak ke jurang kehancuran. Yatim piatu. Tak ada yang peduli.

Paparan guru besar San Diego State University, Amerika, Ahmet T Kuru menarik untuk dicermati. Kuru dalam buku Islam, Authoritarianism, and Underdevelopment: A Global and Historical Comparison menyebut bahwa kemunduran Islam disebabkan oleh otoritarianisme yang ada di dunia Arab. Di Arab, ilmuwan dan pengusaha tidak independen dan terlalu dekat dengan penguasa.

Baca Juga  Ketahanan Psikologis Menghadapi Virus Corona (Bagian 2)

Desentralisasi Islam: Memajukan Islam dari Indonesia

Dalam konteks ini, mengharapkan wajah Islam yang baik muncul dari Indonesia adalah suatu hal yang wajar. Pertama, Indonesia relatif lebih damai. Papua memang masih membara. Namun, konflik di tempat tersebut relatif tidak melebar seperti yang terjadi di Palestina, Suriah, Libya, dan Afganistan.

Kedua, kendati indeks demokrasi Indonesia mengalami penurunan, namun angka Indonesia tetap jauh lebih tinggi dari negara-negara Arab di Timur Tengah. Hal ini membuat ilmuwan dan masyarakat sipil -sebagaimana yang disebut oleh Kuru- di Indonesia relatif lebih independen dan merdeka dalam menyampaikan pendapat.

Maka, upaya-upaya yang disinyalir mengurangi independensi ilmuwan di Indonesia, seperti peleburan lembaga riset menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), patut diawasi dengan lebih seksama. Jangan sampai hal tersebut membuat negara ini mengalami kemandekan dalam hal akademik.

Melihat fakta di atas, umat Islam di Indonesia seharusnya tak lagi silau dengan cap-cap ala Timur Tengah seperti pakaian gamis dan sorban. Bahwa menggunakan gamis, sorban, jenggot, cadar, dan atribut Arab lain adalah sama dengan menggunakan jeans ala Amerika, itu benar.

Namun, menganggap bahwa menggunakan gamis membuat kita lebih Islami, bahkan menganggap pakaian tersebut sebagai sunnah, adalah hal yang berlebihan.

Di sisi lain, memajukan peradaban Islam melalui negara-negara Melayu terlihat lebih mungkin daripada melalui negara-negara Timur Tengah. Tindakan mengimpor ideologi transnasionalisme seperti Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, bahkan ISIS ke Indonesia merupakan tindakan yang sia-sia, bahkan kontraproduktif dan merusak keberagamaan di Indonesia.

Avatar
108 posts

About author
Mahasiswa Dual Degree Universitas Islam Internasional Indonesia - University of Edinburgh
Articles
Related posts
Perspektif

Bulan Puasa dan Gairah Kepedulian Sosial Kita

3 Mins read
Tidak terasa kita telah berada di bulan puasa, bulan yang menurut kepercayaan umat Islam adalah bulan penuh rahmat. Bulan yang memiliki banyak…
Perspektif

Hisab ma’a al-Jami’iyyin: Tanggung Jawab Akademisi Muslim Menurut Al-Faruqi

4 Mins read
Prof. Dr. Ismail Raji Al-Faruqi merupakan guru besar studi Islam di Temple University, Amerika Serikat. Beliau dikenal sebagai cendekiawan muslim dengan ide-idenya…
Perspektif

Rashdul Kiblat Global, Momentum Meluruskan Arah Kiblat

2 Mins read
Menghadap kiblat merupakan salah satu sarat sah salat. Tentu, hal ini berlaku dalam keadaan normal. Karena terdapat keadaan di mana menghadap kiblat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *