Banjir salah siapa? Jangan kaget kalau terjadi bencana alam. Kagetlah justru tidak terjadi bencana alam. Mengapa? Karena tindakan kita yang mengundang bencana itu datang. Siapapun kita, berkontribusi dalam hadirnya bencana itu.
Isu lingkungan sudah disuarakan lama oleh para pegiat. Mulai persoalan ‘atas’ seperti perubahan iklim sampai persoalan ‘bawah’ semacam kesuburan lahan. Mulai permasalahan ‘depan’ seperti tata ruang sampai persoalan ‘belakang’ seperti pengelolaan sampah.
Sebagian menyalahkan presiden, sebagian lagi menyalahkan kepala daerah. Seolah tindakan satu orang menjadi faktor tunggal. Ada yang menganggap banjir adalah ‘adzab’ atas kemaksiatan tahun baru, seolah banjir adalah kejadian tiba-tiba. Padahal sesungguhnya tidak ada yang tiba-tiba, tiba-tiba hanyalah kosakata kita karena tidak adanya pengetahuan akan proses gradual yang melatarbelakangi sesuatu.
Bumi tidak bisa bicara dengan kata-kata. Ia tidak bisa menulis aksara. Tapi ia bisa menyampaikan kepada manusia apa yang ia alami. Bencana adalah salah satu cara bumi “berbicara”. Ia menyampaikan bahwa kita telah mengganggu keseimbangan awalnya. Karena alam memiliki keseimbangan dinamis, maka perubahan yang kita lakukan akan direspons balik. Bencana alam hanya akan terjadi ketika manusia berada di ruang dan waktu yang keliru saat keliru melakukan sesuatu.
Penyebab degradasi lingkungan (yang menjadi pemicu bencana alam) secara sosiologis ada dua: interaksi langsung dan struktural. Interaksi langsung adalah tindakan setiap individu atau masyarakat. Sedangkan faktor struktural adalah kebijakan pemerintah yang mempengaruhi tindakan individu atau masyarakat itu.
Misalnya, dalam kasus banjir interaksi langsungnya bisa jadi pembangunan permukiman di kawasan atas dan membuang sampah sembarangan. Faktor strukturalnya adalah kebijakan/program tata ruang dan intervensi perilaku kebersihan warga.
Misalnya, dalam kasus tanah longsor interaksi langsungnya adalah alih fungsi lahan gunung untuk pertanian dan faktor strukturalnya kebijakan agraria.
Bahkan dalam kasus bencana yang seolah murni ‘salah alam’ (padahal alam tak pernah salah) seperti angin badai, interaksi langsungnya bisa berupa aktivitas yang berdampak perubahan suhu (yang memicu semakin ekstrimnya perbedaan suhu yang akhirnya memperbesar kekuatan badai) dan faktor strukturalnya seperti kesigapan petugas pencegahan berdasarkan prakiraan kejadian.
Jadi bencana adalah kesalahan kolektif kita. Sebagai manusia kita telah menjadi spesies yang menempatkan peradaban dalam situasi kritis. Modernitas membawa kita menjadi masyarakat konsumsi yang berebut mengakumulasi modal untuk konsumsi itu sendiri. Kita masukkan semua yang baik dari alam dan mengeluarkan yang buruk untuk alam.
Jadi banjir, atau bencana apapun salah siapa? Ya kesalahan kolektif kita. Bagaimana mengoreksinya? Ya dengan saling berperilaku ramah lingkungan. Apa mudah? Tentu sulit, karena kultur dan regulasi justru membuat yang baik sulit dilakukan. Apa lalu berhenti berusaha? Jangan, karena Tuhan melihat proses yang kita lakukan bukan hasilnya.
.
Editor: Azaki K