Belakangan di media sosial ramai jadi bahan perbincangan terkait dengan isu pengangguran. Salah satu berita yang menyorot banyak perhatian publik adalah mengenai sebuah warung seblak di Kabupaten Ciamis yang diserbu oleh ratusan pelamar pekerjaan, atau berita viral lainnya yang menyebutkan hampir 10 juta Gen Z di Indonesia menjadi pengangguran.
Pengangguran memang masih menjadi momok bagi bangsa Indonesia yang terus berlanjut dari dulu hingga saat ini. Bahkan hampir setiap calon pemimpin negeri atau calon anggota legislatif pada setiap janji kampanyenya selalu mengumbar janji siap menyediakan jutaan hingga puluhan juta lapangan pekerjaan. Namun fakta yang terlihat saat ini fenomena pengangguran saja berlangsung, kondisi inilah yang juga turut berkontribusi terhadap kemiskinan.
Menganggur merupakan kondisi dimana individu tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan, sehingga akan sangat sulit dalam mencukupi kebutuhan dasarnya. Kondisi inilah yang menjadi penyumbang terhadap tingkat kemiskinan, sebab daya beli masyarakat tidak ada lantaran tidak memiliki cukup uang untuk membeli kebutuhannya. Bahkan pada kondisi yang sangat terpaksa banyak orang yang menghalalkan berbagai cara demi memenuhi kebutuhan dasarnya.
Kriminalitas dan Pengangguran
Banyak kasus-kasus kriminalitas, baik di perkotaan maupun di desa-desa yang bermula dari pengangguran. Belakangan tingginya angka kriminalitas, seperti pencurian atau bahkan pembegalan diakibatkan si pelaku merupakan bagian dari kelompok yang tidak memiliki penghasilan tetap dari pekerjaan. Berita terkait ini sering dijumpai hampir pada setiap tayangan berita di berbagai media, bahkan tidak sedikit yang berujung dengan kekerasan dan menghilangkan nyawa korbannya.
Saat dalam sebuah perjalanan di Ibu Kota, penulis berbincang dengan salah satu driver taksi online. Perbincangan semakin hangat saat sang driver menyebutkan bahwa dirinya saat ini hanya mau melayani pesanan sampai sebelum Maghrib. Selepas itu dia menonaktifkan aplikasi untuk tidak menerima orderan di malam hari. Menurut pengakuannya, banyak beberapa rekan driver (ojek dan taksi online) yang telah menjadi korban dari tindak kriminalitas.
Kejadian serupa pernah terjadi pada salah satu kerabat penulis yang bekerja di Ibu Kota. Lagi-lagi kerabat penulis ini menjadi salah satu korban pembegalan saat hendak bepergian menggunakan mobilnya sendirian. Smartphone dan uang tunai raib dibawa oleh para pembegal dengan dalih diserempet oleh mobil kerabat penulis tersebut.
Ini hanya sebagian kecil saja kasus yang secara kebetulan penulis dengar informasinya secara langsung. Diluar itu, mungkin sangat banyak sekali kasus-kasus serupa. Penulis teringat akan satu pesan yang pernah disampaikan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya: kaada al-fakru an yakuuna kufran (kondisi kefakiran akan mendekatkan kepada kekufuran). Dalam konteks ini bahwa ketiadaan sumber pemasukan (menganggur) dapat menyebabkan seseorang gelap mata, sehingga menghalalkan berbagai cara, termasuk dengan tindak kekerasan, agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.
Lalu, Siapa yang Harus Bertanggungjawab?
Mengentaskan pengangguran tentu menjadi pekerjaan rumah (PR) banyak pihak, tidak hanya pemerintah. Bahkan perlu adanya Kerjasama berbagai pihak untuk saling bahu membahu meminimalisir angka pengguran, minimalnya tidak terjadi penambahan lagi. Sebagai bagian dari komunitas masyarakat, para pengangguran juga memiliki hak dan kewajiban yang sama. Yaitu memiliki hak dasar untuk dapat hidup aman, nyaman berdampingan antara satu dengan yang lainnya. Bukankah sikap tolong menolong dan Kerjasama adalah ajaran yang baik, yang diajarkan oleh semua agama?
Negara Indonesia yang kita cintai inipun sudah sejak awal mendeklarasikan menjadi negara yang menjunjung tinggi keadilan sosial bagi seluruh warga negara. Artinya tidak boleh terjadi diskiriminasi dalam bentuk apapun, termasuk mengenyampingkan hak-hak masyarakat miskin dan pengangguran. Bahkan mereka seharusnya yang mendapatkan perlindungan dari negara secara langsung.
Negara dan swasta harus hadir memberikan prioritas pekerjaan bagi warga negara yang saat ini tengah menganggur. Jangan sampai kembali beredar rumor yang menyebutkan warga negara asing (WNA) berduyun-duyun masuk negara kita untuk mengisi formasi pekerjaan yang seharusnya bisa diisi oleh tenaga kerja lokal. Tentunya jika merujuk pada skala prioritas, jika warga negara Indonesia memiliki kualifikasi dan kompetensi yang dibutuhkan harusnya menjadi prioritas utama untuk di-hire dibandingkan tenaga kerja dari luar. Inilah sinergi yang baik, yang bisa dilakukan Bersama-sama antara seluruh stakeholder yang ada.
Menjaga Produktivitas adalah Kunci Utama
Pada beberapa kasus tertentu ada orang yang menganggur lantaran mentalitas. Mentalitas yang dimaksud dapat dimaknai idealisme tinggi dengan mengharapkan salary tinggi, namun peluang pekerjaan yang ada menawarkan salary di bawah dari ekspektasinya. Sehingga dia harus mencari lagi dan menunggu peluang pekerjaan sesuai dengan apa yang diinginkan. Atau banyak juga factor lain yang melatarbelakanginya.
Terlepas dari kondisi keterbatasan yang dimiliki oleh setiap invidu, namun kunci utamanya adalah dengan menjaga produktivitas. Dalam sebuah aplikasi media sosial, lagi-lagi menjadi viral lantaran ada seseorang yang siap bekerja apa saja asalkan ada yang menyuruh. Dengan kata lain, pekerjaan serabutan sekalipun saat ini dapat dioptimasi melalui media sosial.
Namun, yang kerap yang menjadi hambatan biasanya sikap mental yang cenderung merasa malu untuk bekerja apapun, malu dilihat oleh orang lain, atau bahkan malu jika disuruh oleh orang lain untuk mengerjakan sesuatu. Padahal bisa jadi pekerjaan-pekerjaan seperti ini dapat menghasilkan melebihi dari pekerjaan formal yang ada. Namun optimasi media sosial jangan disalahgunakan untuk mendulang rupiah dengan cara yang tidak dibenarkan, seperti mengemis secara online.
Editor: Soleh