Fatwa

Bapak Tak Bertanggung Jawab, Bagaimana Sikap Anak?

5 Mins read

Dikisahkan, dalam suatu keluarga, terdapat seorang anak yang mempunyai masalah dengan bapaknya. Masalah itu berupa sang anak tidak setuju bapaknya menikah lagi atau memadu ibunya. Ia dan ibunya sudah berbicara secara halus dan sampai anak tersebut harus berbicara kasar kepada bapaknya sebagai bentuk upaya penolakan atas keinginan bapaknya. Hal itu karena sang bapak telah melakukan perselingkuhan terlebih dahulu. Jika memang bapak tidak selingkuh dan berbicara baik-baik dengan ibu sekeluarga, maka tidak akan terjadi perselisihan.

Permasalahan yang kedua adalah bapak anak tersebut telah kehabisan uang tabungannya karena wanita lain itu. Sampai dia harus mempunyai utang lagi sekitar 80 juta tanpa sepengetahuan ibunya. Hutang lain pun juga ada. Suatu ketika, Ia dan ibunya meminta semua  buku rekening dan ATM milik bapaknya. Tetapi sang bapak tidak mau memberikan kepada mereka. Sampai ibunya mengemis-ngemis buku tabungan, tetap sang bapak tidak mau menunjukkannya. Padahal uang tabungan itu dibuat untuk pembayaran haji tahun depan.

Lalu, bagaimana solusi atas permasalahan tersebut?

Ulasan Jawaban

Ayah adalah kepala rumah tangga, pemimpin dalam keluarga, tulang punggung sekaligus orang yang harus bertanggung jawab terhadap keluarganya baik secara material maupun immaterial (lahir dan batin). Oleh karena itu, sepantasnya seorang pemimpin keluarga dapat menjadi contoh dan teladan bagi istri dan anak-anaknya.

Seorang istri juga memiliki tanggung jawab untuk menjaga, mengasuh, dan merawat keluarganya. Termasuk mengurus kebutuhan domestik keluarganya. Terkait dengan tanggung jawab atau hak dan kewajiban, ini banyak dijumpai baik dalam Al-Qur’an maupun hadis Nabi SAW. Baik secara tersirat maupun tersurat. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Indonesia Pasal 77, telah dirumuskan tentang hak dan kewajiban suami isteri sebagai berikut:

  • Suami interi memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tanggga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
  • Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
  • Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasan dan pendidikan agamanya.
  • Suami istri wajib memelihara kehormatannya.
  • Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan agama.

Peran Bapak dalam Keluarga

Orang tua terlebih lagi ayah seharusnya dapat menjadi pengayom dan pelindung keluarganya. Itulah salah satu alasan mengapa ayah dianggap sebagai pemimpin dalam rumah tangganya sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi saw:

Baca Juga  Setelah Menceraikan Ke-4 Istri yang Dinikahi Secara Sirri, Masih Bolehkah Menikah Lagi?

عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ.

رواه مسلم

“Dari Ibnu Umar dari Nabi saw. (diriwayatkan) bahwa beliau bersabda: Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang pemimpin yang memimpin orang lain (rakyatnya) akan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya, seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya, dan dia bertanggung jawab atas mereka semua, seorang wanita juga pemimpin atas rumah suaminya dan anak-anaknya, dan dia bertanggung jawab atas mereka semua, seorang budak adalah pemimpin atas harta tuannya, dan dia bertanggung jawab atas harta tersebut. Setiap kalian adalah pemimpin dan akan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. [HR. Muslim]

Namun jika ayah tidak menunaikan kewajibannya itu, terlebih lagi menelantarkan dan tidak memberikan nafkah yang sepantasnya kepada istri dan anak-anaknya, tentu merupakan tindakan yang tidak bertanggung jawab dan telah melakukan kesalahan yang fatal.

Terlebih lagi jika melakukan kekerasan baik secara fisik maupun non fisik. Seperti berkata kasar, menghardik, tidak memberikan nafkah, bahkan melakukan perselingkuhan dengan wanita lain, sungguh merupakan tindakan dan prilaku yang sangat tercela dan dimurkai oleh Allah swt dan Rasulullah saw. Karena sudah seharusnya seorang ayah bisa menjadi pelindung sekaligus teladan bagi keluarganya, sebagaimana hadis Nabi saw.;

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي

رواه ابن ماجة

“Dari Ibnu Abbas dari Nabi saw., (diriwayatkan bahwa) beliau bersabda: “Orang yang paling baik di antara kalian adalah orang yang paling baik terhadap keluarganya (istrinya), dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku (istriku)” [HR. Ibnu Majah].

Oleh sebab itu, jika kepala rumah tangga (suami/ayah) tega menelantarkan keluarga, melakukan kekerasan dan tidak memberi nafkah kepada keluarganya, dapat menjadi faktor kebolehan seorang istri untuk menggugat cerai suaminya. Namun tentu harus difahami bahwa, jika masih ada cara lain yang lebih baik untuk menyelamatkan bahtera rumah tangga, maka solusi itu harus dilakukan daripada memilih perceraian. Tetapi jika sebaliknya, maka perceraian dapat menjadi jalan keluar yang terakhir. Terlebih lagi jika salah satu pihak telah terbukti melakukan perselingkuhan apalagi sampai melakukan perzinaan. Dalam hukum Islam, orang yang telah menikah yang melakukan perzinaan (baik laki-laki maupun perempuan) disebut zina muhshan yang hukumannya adalah hukuman rajam sampai mati, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hadis Nabi saw. sebagai berikut:

Baca Juga  Hukum Memakan Laron, Belalang, dan Gangsir

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ لَقَدْ خَشِيتُ أَنْ يَطُولَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ حَتَّى يَقُولَ قَائِلٌ مَا أَجِدُ الرَّجْمَ فِي كِتَابِ اللهِ فَيَضِلُّوا بِتَرْكِ فَرِيضَةٍ مِنْ فَرَائِضِ اللهِ أَلَا وَإِنَّ الرَّجْمَ حَقٌّ إِذَا أُحْصِنَ الرَّجُلُ وَقَامَتْ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ حَمْلٌ أَوْ اعْتِرَافٌ وَقَدْ قَرَأْتُهَا الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ رَجَمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ

رواه ابن ماجة وأحمد

“Dari Ibnu Abbas (diriwayatkan bahwa) ia berkata, Umar bin al-Khaththab berkata; Aku khawatir setelah lama masa berlalu, hingga seseorang berkata: Tidak aku temukan hukum rajam di dalam kitabullah (Al-Qur’an), hingga mereka akan sesat karena meninggalkan salah satu dari syari’at Allah. Ingatlah! Sesungguhnya hukum rajam benar adanya, apabila seorang laki-laki telah muhshan (sudah menikah), dan ada bukti kuat (bahwa ia telah berzina, atau wanita yang bersangkutan hamil, atau adanya pengakuan, maka aku membaca, Laki-laki dan wanita dewasa (sudah menikah) apabila keduanya berzina, maka rajamlah mereka berdua. Rasulullah saw. melakukan hukum rajam dan kami pun melaksanakannya sepeninggal beliau” [HR. Ibnu Majah dan Ahmad].

Maka, apa yang dilakukan oleh sang bapak di atas, di samping telah melakukan penyimpangan yang sangat jauh dan serius, juga dalam agama telah melakukan dosa besar berupa perselingkuhan (perzinaan).

Namun demikian, sebagai seorang anak, sejelek apa pun orang tua, ia harus tetap berusaha untuk mengingatkan, dan mengubah perilaku jeleknya dengan berbagai upaya yang bisa dilakukan, asal dilakukan dengan cara yang baik (hikmah) dan santun. Sekaligus untuk menjawab pertanyaan saudari tentang upaya yang harus dilakukan untuk membuat bapak saudari menjadi sadar, maka dapat disampaikan beberapa hal sebagai berikut:

  • Mencegahnya untuk tidak melakukan kesalahan dengan berbagai upaya yang bisa dilakukan, sebagaimana perintah Nabi saw.
Baca Juga  Mengapa Muhammadiyah tidak Bermazhab?

عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ … سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

رواه مسلم

“Dari Thariq bin Syihab (diriwayatkan bahwa) … saya pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegahnya dengan tangannya (kekuasaannya). jika tidak mampu, maka hendaklah mencegahnya dengan lisan (nasehat/teguran), dan jika tidak mampu, maka hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya (dengan doa), dan itulah selemah-lemahnya iman” HR. Muslim].

  • Mengajak dialog dan menasehatinya dengan cara yang bijak dan tidak menyinggung perasaannya, misalnya dengan memilih kata-kata yang baik, berdua sehingga tidak terkesan merasa dihakimi serta mengantisipasi terjadinya emosi.

اُدْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

النحل، 16 : 125

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah (bijaksana) dan pengajaran yang baik, dan berdebat ((berdialog) lah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk” [QS. an-Nahl (16): 125]

  • Meminta bantuan keluarga terutama keluarga dekat atau pihak tertentu yang disegani oleh ayah untuk memberikan nasehat dan menyadarkan dari kebiasaan buruknya.

وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا

النساء، 4 : 35

“Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha teliti” [QS. an-Nisa’ (4): 35]

  • Tak henti-hentinya untuk mendoakan ayah agar diberikan hidayah oleh Allah Swt. dan keluarga mendapatkan solusi yang terbaik.
  • Jika berbagai usaha telah dilakukan dan pihak ayah tetap melakukan kesalahan fatal seperti kekerasan dan tidak memberikan nafkah serta menelantarkan keluarganya, maka pihak istri (ibu saudari) dapat melakukan gugatan cerai sebagai langkah terakhir.

Demikianlah jawaban yang dapat diberikan atas persoalan tersebut. Semoga Allah SWT memberikan jalan keluar yang terbaik dan memberikan hidayah kepada kita semua untuk bisa menjadi orang tua yang baik serta menjadi teladan bagi keluarga.

Wallahu a’lam bish-shawab.

.

Sumber: Fatwa Tarjih Muhammadiyah No.30 Tahun 2015

.

Editor: Yahya Fathur Rozy

Related posts
Fatwa

Meluruskan Bacaan Takbir Hari Raya: Bukan Walilla-Ilhamd tapi Walillahilhamd

1 Mins read
IBTimes.ID – Membaca takbir ketika hari raya merupakan salah satu sunnah atau anjuran yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Anjuran tersebut termaktub di…
Fatwa

Menggibahi Orang Lain di Group WhatsApp, Bolehkah?

2 Mins read
Di era banjirnya informasi yang tak dapat terbendungkan, segala aktivitas manusia nampaknya bisa dilacak dan diketahui dari berbagai media sosial yang ada….
Fatwa

Fatwa Muhammadiyah tentang Tarekat Shiddiqiyyah

4 Mins read
IBTimes.ID – Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, tarekat adalah jalan, cara, metode, sistem, mazhab, aliran, haluan, keadaan dan atau tiang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds