Perspektif

Ketika Baqir Ash-Sadr Berbicara tentang Ekonomi Islam

2 Mins read

Biografi Muhammad Baqir Ash-Sadr

Muhammad Baqir As-Sayyid Haidar Ibn Ismail Ash-Sadr atau yang lebih akrab kita kenal sebagai Baqir ash Sadr merupakan merupakan cendekiawan Muslim yang genius dan populer di kalangan awam maupun kalangan pelajar serta merupakan pribadi yang sangat memahami syariat Islam.

Beliau lahirkan pada tanggal 25 Dzulqa’dah 1353 H (1 Maret 1935 M) di Kadzimiah, Irak. Beliau memilih untuk mengikuti studi Islam tradisional di Hauzas atau sekolah tradisional di Irak, di mana beliau belajar fikih (hukum), ushul (sumber hukum), dan teologi.

Sadr berhasil menyelesaikan belajarnya dengan hasil yang baik. Pada usia 20 tahun, sudah dipertimbangkan sebagai ‘Mujtahid Absolut’ (Mujtahid Mutlaq). Kemudian, naik ke tingkatan otoritas tertinggi dari marja’ (hakim otoritas). Otoritas cendikiawan dan spiritual ini dalam tradisi Islam juga tertuang dalam karya Sadr, dan dalam Iqtishaduna-nya.

Muhammad Baqir ash-Sadr berasal dari keluarga Syiah dan menjadi salah seorang pemikir terkemuka yang melambangkan kebangkitan Intelektual di Najaf antara 1950 M dan 1980 M. Kebangkitan ini sangat berpengaruh dalam aspek politik di kawasan Najaf Timur Tengah pada umumnya.

Dalam karya-karyanya, beliau kerap kali menyerang dialektika­ materialistik, dan menganjurkan konsep Islam sebagai solusi dalam membedakan antara kebenaran dan kesalahan.

Beliau banyak menulis tentang ekonomi Islam, dan menjadi konsultan dari berbagai organisasi Islam, seperti Bank Pembangunan Islam.

Dalam fiqh al­-mu’amalah ditetapkan kaidah bahwa hukum asal dalam mu’amalah, sebagai bentuk distribusi hukumnya, adalah boleh. Namun, ada juga nash yang menyatakan keharamannya.

Berkaitan dalam prinsip ini, maka berbagai kegiatan ekonomi, boleh dilakukan dalam upaya pendistribusian hasil produksi apabila tidak ditemukan ketentuan nash yang melarangnya.

Baca Juga  Naluri Kosong Pelaku Teror

Konsep Distribusi Menurut Muhammad Baqir Ash-Sadr

Distribusi menduduki suatu bagian terpenting dalam pemikiran Sadr. Hampir sepertiga dari Iqtishaduna-nya mendiskusikan secara mendalam tentang distribusi dan hak milik.

Sadr membagi bahasannya kedalam dua bagian, misalnya, distribusi pra-produksi dan distribusi pasca produksi. Menjadi seorang ahli hukum tradisional, penampilan Sadr menjadi dasar atas ajaran hukum yang berkenaan dengan kepemilikan dan hak distributif.

Sadr membagi distribusi kekayaan berjalan pada dua tingkatan, yang pertama adalah distribusi sumber-sumber produksi, sedangkan yang kedua adalah distribusi kekayaan produktif.

Yang dimaksud dengan sumber-sumber produksi adalah tanah, bahan-bahan mentah, alat-alat dan mesin yang dibutuhkan untuk memproduksi beragam barang dan komoditas.

Yang dimaksud dengan kekayaan produktif adalah komoditas (barang-barang modal) dan aset tetap yang merupakan hasil dari proses kombinasi sumber-sumber produksi yang dilakukan manusia.

Jadi, ada yang dinamakan primer dan ada yang dinamakan kekayaan sekunder adalah barang-barang modal yang merupakan hasil dari usaha manusia menggunakan sumber-sumber tersebut.

Selain itu, Sadr membagi elemen yang ada dalam sistem distribusi Islam menjadi elemen primer yakni berupa kerja dan kebutuhan dan elemen sekunder berupa kepemilikan.

***

Pandangan Sadr memiliki aspek positif dan negatif. Sisi negatif, beliau mengatakan bahwa ‘‘tanpa tenaga kerja, tidak ada hak kekayaan pribadi’’.

Sedangkan sisi positif menyatakan ‘‘tenaga kerja adalah sumber hak dan properti yang cocok dalam kekayaan alami.’’

Di sisi lain, Sadr melengkapi konsepnya dengan menggandeng pendapat ahli fikih sebagai suprastruktur (ajaran hukum), dan menjadikannya sebagai prinsip-prinsip umum dalam bidang distribusi.

Dalam konsep distribusi, pemerintah memainkan peranan penting dalam pencapaian ‘keadilan sosial’. Beliau mengemukakan bahwa Islam menekankan standar hidup yang lebih tinggi melalui larangannya berbuat berlebih-lebihan (hedonism).

Baca Juga  Tiga Bidang Garapan untuk Mewujudkan Laboratorium Islam

Islam juga mengangkat hal tersebut pada tingkat yang lebih rendah dengan cara menyediakan sistem ‘jaminan sosial’. Kemudian Redistribusi (distribusi ulang) juga memerankan suatu bagian yang sangat vital dan berbagai bentuk pajak ditawarkan oleh Sadr (zakat, khums, anfal fay).

Sadr juga melihat pemerintah memainkan peranan yang dinamis dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakannya untuk menghadapi tantangan dari masyarakat modern ini.

Relevansi Konsep Distribusi Menurut Baqir Shadr dengan Ekonomi Islam di Indonesia

Secara prakteknya dapat dilihat pada BAZ seperti BAZNAS dan LAZ seperti Dompet Dua’fa, Rumah zakat, PKPU dan lainlain. BAZ dibentuk Pemerintah, sedangkan LAZ dibentuk oleh masyarakat.

Dengan demikian, modal dan kerja keduanya bisa didapat, pegawai dapat gaji, yang usaha berawal dari penerimaan zakat kemudian diusahakan lalu menjadi pendapatan.

Editor: Yahya FR

Aghfanny Prajna Paramitha
2 posts

About author
Mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds