Islam adalah agama yang sempurna. Seluruh aspek kehidupan manusia tercakup di dalamnya mulai dari ekonomi, sosial, politik, atau bahkan budaya. Islam menyediakan beragam perspektif untuk diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari mulai dari bangun tidur hingga kembali tidur. Hal ini pun membedakan Islam dengan agama monoteistik lainnya seperti Kristen dan Yahudi.
Nabi Muhammad, pembawa risalah Islam, merupakan nabi terakhir dan pemimpin para rasul (خاتم الأنبياء والمرسلين). Status tersebut mengandung banyak implikasi, salah satunya adalah bahwa jalan untuk menuju surga, neraka, atau bahkan pemilik keduanya, yaitu Allah Swt tidak lain dan tidak bukan melalui agama Islam, bukan selainnya. Ini adalah konsekuensi logis dari status ‘Islam sebagai agama sempurna’ dan ‘Nabi Muhammad sebagai penutup para nabi dan rasul’.
Di dalam Al-Qur’an Allah Swt menerangkan dalam surat Ali Imran [3]: 19 yang berbunyi:
اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ
Artinya: “Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam.”
Jika ada sebuah pertanyaan, “Islam mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, apabila Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah masa hidupnya jauh dengan masa kita, bagaimana cara untuk menanyakan perihal persoalan hidup menurut Islam?”.
Allah Swt sebagai sumber utama tentu saja tidak menghendaki risalah-Nya terputus oleh zaman, maka dari itu Dia menerangkan bahwa akan ada mereka yang melanjutkan perjuangan nabi selepas ketiadaannya di dunia ini.
Nabi Muhammad bersabda di dalam sebuah hadis bahwa orang-orang yang berilmulah (ulama) yang kelak menjadi pewaris para nabi disebabkan ilmu pengetahuannya komprehensif sebagai basis dalam dakwah menyampaikan risalah Islam.
Mengenal Al-Madzahib Al-Arba’ah
Islam dapat dilestarikan di muka bumi tidak terlepas dari mereka yang membumikannya. Para ulama adalah garda terdepan dalam memperjuangkan Islam. Di dalam khazanah Islam terdapat beberapa ulama masyhur dan hingga pada masa sekarang ilmu dan buah pemikirannya menjadi rujukan umat muslim di seluruh dunia.
Setidaknya ada empat nama, yaitu Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan Imam Hanafi. Keempatnya adalah orang-orang yang menghasilkan buah pemikiran penting dalam dunia Islam yang dikenal dengan mazhab empat (Al-Madzahib Al-Arba’ah), mencakup pemikiran soal fikih, tafsir, hadis dan lain-lain.
Khazanah pemikiran Islam begitu luas, sehingga perbedaan dalam pendapat menjadi semacam sunatullah. Hal ini bukan berarti Islam adalah agama yang membingungkan seseorang akibat beragam perbedaan pendapat, tapi justru menjadi sebuah gambaran bahwa Islam menyediakan ragam perspektif untuk mempermudah mengenalkan ajaran Islam pada manusia yang beragam pula.
Sebuah logika yang masuk akal. Barangkali tepat apa yang pernah didawuhkan oleh Nabi Muhammad di dalam sebuah hadis yang berbunyi:
اِخْتِلَافُ أُمَّتِيْ رَحْمَة
Artinya: “Perbedaan umatku adalah rahmat.”
Dalam riwayat lain juga disebutkan:
اِخْتِلَافُ أُمَّتِيْ رَاحَةٌ
Artinya: “Perbedaan umatku adalah kelonggaran.”
Dua hadis tersebut mengindikasikan pesan bahwa Islam hadir untuk memberikan solusi, bukan memperumit. Seluruh perbedaan pendapat tersebut menjadi alternatif bagi masing-masing.
Jika seseorang tidak mampu melakukan suatu kaifiah dalam ibadah karena alasan tertentu, maka ia bisa memakai fikih lain sebagai alternatif yang sesuai dengan keadaannya.
Hal ini pun senada dengan Al-Qur’an surat Al-Hajj [22]: 78 yang berbunyi:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Artinya: “Dia sekali-kali tidak menjadikan kalian dalam agama suatu kesempitan.”
Urgensi Bermazhab dalam Islam
Perbedaan yang terjadi di antara empat mazhab dilatarbelakangi oleh perbedaan pemahaman, pemikiran dan penafsiran. Itulah kenapa diperlukan ulama sekelas imam mazhab dikarenakan mereka yang memahami duduk perkaranya.
Tidak mungkin semua orang diberikan kebebasan menafsirkan dalil-dalil agama karena tidak semuanya ahli dalam bidang itu.
Kendati demikian, di antara mereka—imam mazhab—bersikap toleran satu dengan yang lain. Banyak contoh dalam hal ini, misalnya Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa bekam membatalkan wudu.
Pada suatu ketika seseorang bertanya pada beliau, “Bagaimana jikalau ada seseorang yang bermakmum di belakang imam yang melakukan bekam tanpa wudu lagi, apa salatnya sah?”, mendengar pertanyaan demikian beliau menjawab, “Bagaimana akan menolak diri ini menjadi makmum dari mereka yang mengikuti pendapat Imam Malik dan Sa’id bin Al-Musayyab?”.
Sesederhana itu beliau menyikapi perbedaan pendapat, sekaligus sikap tawaduk terhadap ulama yang memiliki pandangan lain dengannya.
Memang ada beberapa kalangan yang menganggap tidak perlu terikat pada mazhab tertentu dengan argumentasi bahwa lebih penting kembali kepada pokok ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan sunnah. Terhadap pandangan ini, Syekh Ramadhan Al-Buthi memberikan pandangan tidak setuju, beliau berkata:
“Sekarang coba letakkan kedua kitab shahih (al-Bukhari dan Muslim) di hadapan mayoritas umat Islam pada hari ini. Suruhlah mereka memahaminya secara langsung dari teks aslinya! Lihat bagaimana kebodohan, benturan, dan senda gurau berlangsung dalam urusan agama.” (Kitab Al-la Madzhabiyyah, hal. 31)
Argumentasi beliau dapat diterima akal mempertimbangkan keadaan umat Islam hari ini yang mayoritas adalah awam, maka bermazhab merupakan sebuah urgensi. Seorang mukalaf yang secara tingkat keilmuan tidak setara dengan mujtahid, secara normatif, konsekuensi logis dari hal tersebut adalah ia harus mengekor pada pendapat seorang mujtahid.
Menyikapi Perbedaan dengan Bijak
Melihat sikap para ulama yang dengan kebijaksanaan utuh menyikapi perbedaan pendapat yang ada, secara tidak langsung menjadi teladan kebaikan bagi generasi Islam dalam melihat soal perbedaan yang kadang kala menjadi bara api dalam tubuh umat.
Seandainya seseorang telah memegang sebuah mazhab dalam berislam, maka perlu diketahui bahwa mazhab itu sekadar sarana untuk memahami syariat, lebih jauh lagi mendekat kepada Allah, bukan sebagai sebuah sarana yang mutlak harus dipakai. Ia adalah salah satu dari empat mazhab otoritatif di dalam Islam, bukan satu-satunya.
Ada baiknya setiap muslim, kendati bukan ahli dalam menafsirkan dalil-dalil ayat suci, paling tidak mengerti bahwa terdapat perbedaan ketika para ulama menafsirkan Al-Qur’an dan sunnah adalah sebuah sunatullah.
Paradigma demikian membuat kita lebih lega dalam beragama dan menyikapi dengan biasa saja. Para imam mazhab menghindari klaim kebenaran sebagaimana dicontohkan sikap Imam Hanbal soal bekam terhadap pendapat Imam lain.
Hal ini disebabkan para ulama mengetahui bahwa klaim kebenaran itu berbahaya, sebagaimana sikap Imam Malik ketika melarang khalifah Harun ar-Rasyid untuk memaksakan kitab al-Muwattha’ karangannya pada masyarakat untuk menjadi pedoman resmi negara.
Hal ini dianggap Imam Malik memiliki potensi bahaya karena secara tidak langsung menafikan celah perbedaan pendapat yang sangat mungkin masing-masing memiliki sumber yang valid. Sungguh indah sikap yang diperlihatkan oleh para ulama, sehingga menjadi teladan bagi umat Islam di seluruh penjuru dunia di dalam menyikapi perbedaan yang ada.
Wallahu a’lam bisshawab.
Editor: Yahya FR