Opini

Begini Ciri-ciri Istri Penghuni Surga, Lantas Bagaimana Ciri-ciri Suaminya?

4 Mins read

Beberapa hari yang lalu, saya menemukan sebuah reels seorang penceramah yang mengatakan, “Ciri-ciri istri yang bakal ada di surga (tapi dia masih ada di dunia) adalah (pertama) al-walud, yang bisa ngasih banyak keturunan, jadi Nabi pengen punya keturunan banyak begitu maksudnya. (Kedua) al-wadud, tuh yang bisa ngerayu lakinya, bikin lakinya jadi demen mulu girang mulu lakinya digodain lakinya dibikin jatuh hati itu laki dibikin klepek-klepek. (Ketiga) al-’aud ‘ala zaujiha, yang selalu kembali sama lakinya, kagak gampang kabur, kayak apa tuh maksudnya balik ke laki, nih kata Nabi, yang kalau lakinya lagi ngambek, dia yang duluan datang, dia ambil tangan lakinya terus ngomong begini, ‘Bang, saya kagak bakal tidur kalau Abang belum ngeridhoin saya.’”

Reels tersebut terhenti hanya sampai di situ. Jika benar demikian adanya, dari situ terlihat bahwa sang penceramah hanya menyasar istri sebagai calon penghuni surga. Pertanyaannya, apakah dengan penafsiran seperti itu akan efektif untuk membangun sebuah keluarga yang harmonis sesuai yang diamanatkan oleh Islam?

Memahami Hadis Pasutri dengan Metode Mubadalah

Untuk memaknai teks dalam ceramah tersebut, saya akan mencoba menggunakan metode Mubadalah dari KH. Faqihuddin Abdul Kodir.

KH. Faqihuddin Abdul Kodir, dalam bukunya “Perempuan (Bukan) Sumber Fitnah”, menyebutkan bahwa metode Mubadalah memiliki tiga premis dasar: (1) Teks-teks Islam harus hadir menyasar laki-laki dan perempuan, karena Islam hadir untuk keduanya, bukan salah satunya saja; (2) Prinsip relasi antara keduanya adalah kesalingan dan kerja sama, bukan bukan hegemoni dan kekuasaan; dan (3) Teks-teks Islam terbuka untuk dimaknai ulang demi memungkinkan kedua premis sebelumnya tecermin dalam setiap interpretasi (Kodir, 2021: 27-28).

Baca Juga  Doa Ketika Mendapatkan Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang Baru

Ketiga premis dasar metode mubadalah ini diproses untuk menemukan gagasan utama sebuah teks agar selalu selaras dengan prinsip Islam, yakni Islam selalu relevan untuk setiap zaman dan tempat serta memenuhi semua kebutuhan laki-laki dan perempuan.

Kesuburan Bukan Eksklusif Hanya Milik Istri, Tapi Juga Suami

Al-walud, yakni seseorang yang subur sistem reproduksinya, tidak bisa hanya tertuju pada perempuan atau istri, tapi juga laki-laki atau suami. Jika sepasang suami istri tidak bisa memiliki keturunan alias mandul, kemandulan tersebut bisa terjadi pada istri, suami, atau keduanya, tidak mungkin mutlak hanya pada istri saja. Selain sesuai dengan ilmu sains atau kedokteran, hal ini juga sesuai dengan premis pertama metode Mubadalah yang menyapa laki-laki dan perempuan sekaligus, yang berarti bahwa kesuburan sistem reproduksi ini berlaku bagi suami dan istri, buka salah satunya saja.

Jadi, apabila seorang laki-laki dalam tujuan nikahnya ingin memperoleh keturunan, hendaklah ia memilih perempuan yang subur. Begitu pula apabila perempuan dalam tujuan nikahnya ingin memperoleh keturunan, sepatutnya ia memilih laki-laki yang juga subur. Tentu dalam memilih pasangan yang subur, juga harus didahului dengan memastikan diri sendiri juga subur.

Terkait kesuburan sistem reproduksi, premis kedua metode Mubadalah, yaitu kesalingan dan kerjasama, juga tidak kalah penting. Sebagai pasangan, suami istri sudah sepatutnya sama-sama memperjuangkan kesuburan keduanya. Bisa dengan konsultasi ke dokter, menjalankan gaya hidup dan pola makan sehat, dan sebagainya.

Saling Menyayangi, Bukan Hanya Ingin Disayang

Al-wadud, yakni seseorang yang penuh kasih sayang, tentu menjadi dambaan setiap orang untuk dijadikan pasangan. Tapi harus diingat bahwa teks ceramah di atas sepatutnya dimaknai dengan premis pertama dan kedua metode Mubadalah.

Baca Juga  Ketika Agama Tak Berdaya di Hadapan Kapitalisme

Tuntutan untuk memilih seorang penyayang atau al-wadud menjadi pasangan tertuju pada laki-laki dan perempuan sekaligus. Sebagaimana laki-laki berhak mendapatkan perempuan yang penyayang, perempuan pun berhak mendapatkan laki-laki yang penyayang.

Setelah itu, untuk mendapatkan seseorang yang penyayang, kita harus menyayangi orang lain juga, sesuai dengan premis kedua Mubadalah, yakni kesalingan. Kita tidak dapat menuntut pasangan untuk menyayangi kita jika kita tidak menyayanginya. Begitu pula, pasangan kita tidak punya alasan untuk tidak menyayangi kita jika kita sudah menyayanginya sebagaimana mestinya.

Hanya ingin mendapatkan pasangan yang penyayang tanpa mau memberikan kasih sayang yang sama kepada pasangan adalah sebuah keegoisan yang jauh dari nilai yang diamanatkan Islam.

Manajamen Konflik Antar Pasangan

Laki-laki dan perempuan adalah manusia yang sama-sama memiliki emosi. Adalah hal yang wajar jika sebagai pasangan muncul konflik yang menyulut kemarahan. Islam tidak pernah menyangkal fitrah manusia, laki-laki maupun perempuan, sebagai makhluk yang memiliki emosi.

Namun, amanat al-’aud di atas merupakan sebuah manajemen konflik dalam sebuah hubungan suami istri, yang sudah pasti menyapa keduanya, laki-laki dan perempuan, suami dan istri, sebagaimana premis pertama metode Mubadalah.

Bahwa segala bentuk konflik yang terjadi antara keduanya, sebisa mungkin harus dikomunikasikan, dicari titik masalahnya, dan dicari solusinya bersama-sama. Sebab sebesar apapun konflik yang ada, “tempat pulang” tetaplah pada pasangan kita.

Adakalanya istri yang marah sehingga suami harus membujuknya. Adakalanya suami yang marah sehingga istri harus membujuknya.

Di sinilah kesalingan dan kerja sama antara keduanya diuji. Dimulai dengan memvalidasi emosi pasangan, dilanjutkan dengan mengurai permasalahan yang terjadi antara keduanya, lalu mencari solusinya bersama-sama.

***

“Aku minta maaf sudah membuatmu marah. Kalau sudah selesai marahnya, nanti kita obrolin sama-sama bagaimana baiknya, ya.”, kalimat semacam inilah, yang saling muncul dari istri ke suami atau sebaliknya, yang mencerminkan makna al-’aud dalam perspektif Mubadalah. Tanpa manajemen konflik yang baik, kerja sama akan sulit terjadi, sehingga keduanya akan sulit menghadapi tantangan-tantangan hidup lainnya yang telah menanti.

Baca Juga  Non-Muslim Bisa Masuk Surga (1): Siapa Mereka?

Alhasil, teks al-walud, al-wadud, dan al-’aud, menyapa keduanya, suami dan istri, bukan hanya istri saja.

Hanya dengan interpretasi bahwa teks tersebut menyapa keduanyalah, kerja sama antara keduanya bisa terjalin dengan baik, sehingga menjadikan pasangan sebagai keluarga yang kuat dalam menghadapi kehidupan, selaras dengan prinsip Islam yang selalu relevan untuk setiap zaman dan tempat serta memenuhi semua kebutuhan laki-laki dan perempuan. Jika teks tersebut hanya diartikan menyapa salah satu pihak saja, hanya suami saja atau istri saja, maka tidaklah sesuai dengan prinsip universal Islam tadi dan yang tercipta nantinya adalah keluarga yang rapuh.

Dengan begitu, ciri-ciri suami penghuni surga adalah cerminan ciri-ciri istri penghuni surga, sebab dengan metode Mubadalah secara implisit teks tersebut menyapa keduanya, suami dan istri, bukan hanya istri saja. Tabik.

Editor: Soleh

Muhammad Alwi
12 posts

About author
Mahasiswa Studi Agama-Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *