Pandemi virus corona benar-benar membuat dunia ‘dipaksa’ istirahat. Tak ada lagi hingar-bingar konser, tak terdengar brisiknya tribun stadion. Majelis sholawatan yang biasanya berdesakan, terpaksa dibatalkan. Pelajarpun harus ‘berhenti’ sementara mengejar cita-citanya.
Dunia, dan khususnya Indonesia, sedang menggalakan social distancing, sebagaimana instruksi Pak Jokowi; belajar dari rumah, bekerja dari rumah, dan ibadah di rumah.
Wabah atau tho’un seperti ini, sejarah dunia Islam sudah pernah mengalami hingga keluarlah Hadits
إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا
Artinya: “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR Bukhari).
Istilah lockdown sudah ada sejak zaman nabi, dengan melarang umatnya yang terdampak keluar dari zona wabah. Social distancing atau physical distancing juga sudah diterapkan manakala sahabat Amr bin Ash memerintah penduduk untuk tidak saling berinteraksi dan berpencar di gunung-gunung ketika tho’un melanda.
Ilmuwan besar muslim, Ibnu Hajar al-Asqolani ( w.1449 M ), juga pernah terdampak tho’un, bahkan harus kehilangan tiga buah hatinya Fatimah, A’liyah, dan Zin Khatun. Putri yang terakhir ini wafat sedang dalam keadaan mengandung.
Lalu apa yang dilakukan Ibnu Hajar? Pasrah? Atau hanya tabah merenungi keadaaan?
Bukan itu, Ibnu Hajar mengambil ibrah dari musibah yang dialaminya dengan berpikir rasional. Beliau dengan level religius dan keilmuwannya yang jauh di atas kita, tetap patuh dengan himbaun, tidak sombong, dan tidak bebal dengan berkata, “Mati adalah takdir!”.
Sebagai ulama yang produktif menulis, dari sekian ratusan kitab dari buah tangannya, beliau menulis kitab yang bertemakan tho’un, yang berjudul Badzlu al-Maun fi Fadhli at-Tha’un terdiri dari 5 bab. Pertama, menerangkan tentang asal usul tho’un. Bab kedua tentang pengertian tho’un. Bab ketiga menerangkan syahidnya orang yang wafat karena tho’un. Bab keempat, tentang hukum keluar dari zona wabah. Dan bab terakhir, menerangkan apa yang harus kita lakukan ketika wabah merebak. Kitab yang masih kalah populer dengan karya beliau yang lain seperti Fathul Bari & Bulughul Marom.
Mengutip kitab beliau yang beratus halaman, beliau berpesan agar tidak keluar dari rumah, dan senantiasa hati-hati, memperbanyak do’a dan tawakkal kepada Allah Swt. Serta tidak meremehkan tho’un.
Ulama Nahwu terkemuka, Abu Aswad Ad-Duali, kembali ke rahmatullah akibat tho’un. Sebelumnya, banyak juga tho’un yang mengakibatkan sahabat Rasulullah SAW wafat.
***
Kita sebagai pengembara ilmu hendaknya belajar dari Ibnu Hajar Al-Asqolani di atas. Mengambil ibrah dari musibah menjadi karya yang dahsyat. Tak hanya berpangku tangan dan pasrah. Tak hanya keluh kesah gersah, tapi ada perkara yang bisa dihasilkan serta bermanfaat bagi yang lain.
Jangan jadikan belajar dari rumah ini untuk alibi berhenti berkarya. Bahwasanya cakrawala semesta ini amat luas, tidak hanya di bangku institusi.
Perihal meneladani Ibnu Hajar, sudah didahului oleh Syekh Nawawi Al-Bantani, yang mensyarah karya Ibnu Hajar dengan kitab Nasoihul Ibad-nya.
Pramoedya saja dari balik jeruji besi menghasilkan karya Tetralogi. Tan Malaka di tengah pelarianya menghasilkan Madilog, Aksi Massa, Gerpolek, dan lain-lain. Wijhi Tukul dengan berbagai ancaman persekusi bisa melahirkan banyak puisi.
Daripada di rumah hanya merebah, lebih baik merekahkan pikiran, mebuka mata lebar-lebar, untuk berkarya sesuai bidang yang dikuasai dan digemari.