Siapa yang tidak tahu kedua tokoh di atas? Bahkan keduanya menjadi bagian dari pahlawan nasional yang bergerak untuk memperjuangkan Indonesia dari kalangan santri, dengan jihadnya menggapai cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Tidak hanya itu, keduanya menjadi pelopor terbentuknya dua organisasi besar di Indonesia yang masih berkembang hingga saat ini, yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Dengan semangat keislaman dan keindonesiaan yang terus mengakar bagi seluruh kalangan.
Sahabat Karib Seperguruan Kiai Saleh Darat
Nampaknya keduanya bukan orang asing yang hadir begitu saja tanpa perjalanan yang begitu panjang.
Sanad keilmuan agama yang jelas serta kecerdasan, ketekunan luar biasa, dimiliki oleh keduanya dengan semangat tinggi dalam mengabdikan dirinya kepada masyarakat melalui ajaran-ajaran Islam.
KH. Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868. Sedangkan KH. Hasyim Asy’ari lahir di Jombang, Jawa Timur, 14 Februari 1871.
Selisih dua tahunan di antara keduanya, pertanda bahwa KH. Ahmad Dahlan lebih tua dari KH. Hasyim Asy’ari.
Sebutan “Adi” diberikan oleh KH. Ahmad Dahlan, sedangkan panggilan “Mas” diberikan oleh KH. Hasyim Asy’ari kepada KH. Ahmad Dahlan.
Namun, siapa sangka bahwa keduanya merupakan sahabat karib seperguruan yang sama-sama belajar kepada Kiai Saleh Darat. Di masa yang akan datang, keduanya menjadi orang besar yang pengaruhnya begitu luar biasa hingga saat ini.
Dalam buku yang ditulis oleh Imron Mustofa, “KH. Ahmad Dahlan si Penyantun”, diceritakan bahwa keduanya menjadi murid kesayangan Kiai Saleh Darat yang pada saat itu berumur 65 tahun.
Mengenai pengetahuan agama, bekal keilmuan yang cukup membuat keduanya begitu mudah mencerna ilmu yang diberikan oleh Kiai Saleh Darat. Bahkan Kiai Saleh Darat percaya bahwa kedua murid kesayangannya akan menjadi orang besar di masa yang akan datang.
Keduanya belajar selama kurang lebih dua tahun kepada Kiai Saleh Darat. Tenggang waktu yang sama, sehingga ketika keluar dari Pesantren Darat pun bersamaan, membuat keduanya sama-sama berat berpisah.
Apalagi ketika keduanya ditempatkan di kamar yang sama, menjadi awal persahabatan tersebut dimulai. Tidak jarang hal tersebut membuat keduanya saling bercerita kerinduan akan rumah atau kampung halaman.
Selama dua tahun bersama, terjalin komunikasi yang begitu dekat sehingga tumbuh rasa persaudaraan di antara keduanya. Akhirnya, ketika mereka pulang ke kampung halamannya, keduanya sama-sama berjuang di kampung halaman mereka.
Sebuah pertemuan kembali terjadi ketika KH. Ahmad Dahlan berkunjung ke Jombang, tepatnya di Pesantren Tebuireng bersama santrinya. Pada saat itu, KH. Ahmad Dahlan belum mendirikan Muhammadiyah.
Perjumpaan KH. Ahmad Dahlan, Pendiri Muhammadiyah, dengan KH. Hasyim Asy’ari, Pendiri NU
Kedatangannya disambut hangat oleh KH. Hasyim Asy’ari beserta santri. Terlihat kerinduan yang begitu mendalam di antara kakak beradik yang sudah lama tidak berjumpa.
Namun, dengan kondisi geografis Tebuireng terletak di desa, ara persawahan yang begitu hijau membat KH. Ahmad Dahlan kagum dengan kondisi tersebut. Perbedaan pun terlihat di antara keduanya, hingga menimbulkan perbincangan hangat.
“Pantas,” gumam KH. Ahmad Dahlan.
Suara tersebut didengar oleh KH. Hasyim Asy’ari, “Pantas kenapa, Kiai?”
“Pantas saja Kiai Hasyim awet muda. Lha wong hidupnya di tempat tenteram, adem, damai dan dikeliling santri,” ucap KH. Ahmad Dahlan.
“Ah, Kiai Dahlan juga awet muda. Cuma ya agak kurusan,” jawab KH. Hasyim Asy’ari.
KH. Ahmad Dahlan menjawab, “Iya, kurang makan barangkali,”
“Kiai ada-ada saja,” jawab KH. Hasyim Asy’ari sambil tersenyum.
Percakapan tersebut didengar oleh para santri yang hadir, semakin menambah keakraban terjalin antar keduanya.
Meski demikian, yang patut kita teladani sebagai anak muda bahwa semangat persaudaraan yang diusung oleh keduanya untuk terus belajar dan membersamai dalam perbedaan yang ada.
KH. Hasyim Asy’ari sebagai pendiri NU, sedangkan KH. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah, tidak menjadikan keduanya jauh sebab perbedaan.
Keharmonisan persahabatan di antara keduanya menjadi alarm bagi kita akan kebesaran hati yang dimiliki. Meski memiliki perbedaan, semangat keislaman dan keindonesiaan dengan misi yang sama tetap bersatu dan berdampingan.
Perbedaan yang ada merupakan sebuah keniscayaan dalam mengahadapi kehidupan. Namun ketika kita menyadari akan persamaan visi dan misi, tujuan serta semangat juang yang sama, kita bisa berdampingan untuk mencapai hal itu.
Editor: Zahra