Perspektif

Belajar dari Nasionalisme Rakyat Amerika

4 Mins read

Agustus menjadi bulan yang sangat istimewa bagi masyarakat Indonesia. Bulan Agustus dikenal sebagai bulan kemerdekaan Indonesia. Karena, di bulan inilah tepatnya 17 Agustus 1945 atas nama bangsa Indonesia Soekarno dan Moh. Hatta memproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Merdeka dari segala bentuk kolonialisme dan imprealisme negara lain. Perayaan kemerdekaan dimulai dari awal bulan Agustus sampai puncaknya pada tanggal tujuh belas. Atribut bendera merah putih menghiasi rumah penduduk, perkantoran, maupun sarana publik lainnya.

Warna merah putih menjadi warna yang sangat dominan di sepanjang jalan rumah penduduk dan perkantoran. Selain pemasangan atribut bendera merah putih, masyarakat Indonesia mengisi kegiatan bulan Agustus dengan berbagai macam lomba gembira.

Semua lapisan masyarakat lintas usia dan profesi, baik di desa maupun di kota turut serta bergembira merayakan momen tahunan ini. Semua dilakukan secara sukarela dan gotong royong. Itulah pengejawantahan rasa nasionalisme yang sederhana namun sangat bernilai.

Nasionalisme Rakyat Amerika Serikat

Hasil survai The International Social Survey Program (ISSP) untuk mengukur nasioanlisme dan patriotisme warga negara, menempatkan Amerika Serikat di urutan pertama sebagai negara dengan nasionalisme dan patriotisme warga negara terbaik.

Dari survei tersebut, terdapat dua indikator pertanyaan yang ditujukan pada masyarakat di 33 negara. Pertama, seberapa bangga seorang warga tinggal di negaranya tersebut? Kedua, apakah menurut mereka negara mereka superior dibandingkan negara lain?

Hasilnya, urutan pertama adalah Amerika Serikat (AS), nomor dua Venezuela, dan nomor tiga Australia. Amerika Serikat juga menempati urutan pertama dalam hal nasionalisme dan patriotisme berdasarkan survei The Borgen Project dan majalah Forbes.

Tahun 2014 yang lalu, mewakili Pemuda Muhammadiyah Banten, penulis mendapatkan kesempatan berkunjung ke Amerika Serikat dalam program International Visitor Leadership Program (IVLP) dari Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat. Ada lima Negara bagian yang penulis kunjungi. Berkaitan dengan tema di atas, ada dua pengalaman yang menarik yang ingin penulis sampaikan.

Pertama, ketika berkunjung ke kota Detroit di negara bagian Michigan. Di kota tersebut dan di seluruh kota di Amerika Serikat, tengah ramai membincangkan laga final Super Bowl antara Seattle Seahawks melawan Denver Broncos.

Olah raga Super Bowl sudah menjadi identitas rakyat Amerika Serikat. Mungkin sama halnya dengan sepak bola bagi masyarakat Brazil atau Argentina. Maka tidak heran, laga final Super Bowl seakan menghipnotis rakyat Amerika Serikat.

Baca Juga  Literasi dan Aktivisme: Sumber Paradigma Humanis dan Keteladanan

Mereka rela meninggalkan aktivitas mereka sekadar untuk menyaksikan laga final ini, baik secara langsung maupun melalui media televisi. Penulis berkesempatan menyaksikan laga final ini di salah satu kafe bersama rekan satu tim dan dua rekan saya dari Amerika Serikat.

Dalam siaran langsung laga final ini, terlihat dihadiri langsung oleh Ibu Negara Michelle Obama, dan yang menarik adalah duduk di samping beliau seorang prajurit lengkap dengan seragamnya. Terlihat kaca mata hitamnya menutupi wajahnya (maaf) yang cacat.

***

Pembawa acara mengenalkan bahwa prajurit itu adalah salah seorang tentara Amerika Serikat. Wajahnya cacat karena terkena ranjau ketika bertugas di Irak. Tanpa komando dari pembawa acara, seluruh penonton di stadion itu berdiri dan memberikan tepuk tangan sebagai tanda penghormatan kepada prajurit itu.

Sebelum laga final dimulai, diawali dengan menyanyikan lagu kebangsaan Amerika Serikat. Semua penonton di stadion berdiri dengan tangan kanan di dada. Yang menarik adalah pengunjung kafe di tempat saya menonton pun ikut berdiri dan menyanyikan lagu kebangsaan tak terkecuali dua orang rekan saya.

Usai menyanyikan lagu kebangsaan, tanpa ditanya, salah satu rekan saya menjelaskan menyanyikan lagu kebangsaan adalah sebagai bentuk rasa nasionalisme dan patriotisme rakyat Amerika Serikat kepada negaranya.

Di Indonesia, pemasangan bendera merah putih biasanya dilakukan di bulan Agustus menjelang hari kemerdekaan Indonesia. Di Amerika Serikat, rakyatnya biasa memasang bendera negaranya di depan rumah.

Artinya, tidak ada momen khusus seperti bulan Agustus di Indonesia. Maka tidak heran kita bisa sangat mudah menemukan bendera berkibar di rumah penduduk Amerika Serikat. Sebuah implementasi nasionalisme yang sederhana tapi benar-benar bisa dihayati oleh warga Amerika Serikat.

Baca Juga  Joe Biden Cabut Larangan Masuk dari Negara Muslim ke AS

Yang menjadi perhatian penulis dalam laga final Super Bowl ini adalah salah seorang pemain menggunakan nomor punggung 13. Padahal yang penulis ketahui, pemain Super Bowl dalam satu tim berjumlah 12 orang. Rekan saya menjelaskan nomor punggung 13 adalah nomor punggung supporter.

***

Supporter bagi mereka merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah tim. Maka, tidak heran ketika pemain nomor punggung 13 masuk lapangan disambut dengan tepuk tangan dari penonton.

Kedua, ketika berkunjung ke negara bagian Utah, penulis dan rombongan berkesempatan menyaksikan secara langsung laga NBA antara Jazz dari Utah melawan Miami Heat dari Florida sebagai tamu di Utah.

Dalam laga ini, penulis mendukung Jazz. Ketika penulis menuju pintu masuk stadion, sama sekali tidak ada pemisahan pintu masuk untuk dua supporter. Pendukung Jazz dan Miami berbaur jadi satu. Begitu juga di dalam stadion, tidak ada pemisahan tempat duduk supporter.

Laga NBA berjalan sengit dengan kedua supporter saling beradu yel-yel dan tepuk tangan. Hasil akhirnya, tuan rumah Jazz berhasil menaklukan Miami dengan selisih skor yang tipis sekali.

Keluar stadion, kedua supporter berjalan beriringan tanpa ada insiden apapun tidak ada sampah yang berserakan dan vandalisme walaupun masih terdengar di antara mereka saling bersahutan yel-yel klub kebanggaan mereka. Pesan moralnya adalah kecintaan kita kepada klub jangan sampai mengalahkan rasa cinta kita kepada negara.

Nasionalisme di Era Globalisasi

Dari dua peristiwa di atas penulis bukan membanding-bandingkan tapi penulis mencoba bagaimana memahami dan memaknai nasionalisme dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.

Nasionalisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mempunyai arti paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri juga bisa diartikan sebagai kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu; semangat kebangsaan.

Baca Juga  Perkembangan Islam di Amerika Serikat

Jadi, nasionalisme menjadi identitas bersama khususnya bagi negara Indonesia yang multikultural. Artinya, kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan kelompok dan golongan.

Indonesia adalah sebuah negara yang terdiri dari ras, suku, budaya, dan agama yang berbeda tapi rasa nasionalisme menjadi pemersatu. Perbedaan bukan menjadi alasan untuk perpecahan dan saling menjatuhkan. Justru perbedaan atau keanekaragaman bisa menjadi kekuatan yang besar.

Amerika Serikat merupakan negara superpower yang menjadi kiblat demokrasi dunia yang tahun ini telah memasuki usia ke-246 tahun. Maka wajar, dari sisi demokrasi sudah sangat mapan.

Sebagai negara adidaya dan berpengaruh di dunia, rasa cinta kepada negara (nasionalisme), sikap rela berkorban (patriotisme), dan sikap berani membela kebenaran (heroisme) sangat melekat dan menjadi identitas warga Amerika Serikat.

Ini tidak terlepas bagaimana peran Hollywood sebagai pusat industri film Amerika Serikat berhasil menampilkan nilai nasionalisme, patriotisme, dan heroisme dalam film.

***

Ada banyak tokoh superhero yang menampilkan identitas negara Amerika Serikat. Bisa dikatakan dalam dunia film, Amerika Serikat sebagai pusat tokoh superhero dunia.

Menurut hemat penulis, di sini lah pentingnya pemerintah Indonesia harus belajar ke Amerika Serikat tentang bagaimana menanamkan nilai nasionalisme kepada generasi muda melalui dunia kreatif.

Generasi millenial lahir di era globalisasi dan digital. Maka, pendekatannya akan berbeda dengan generasi yang lain. Di bulan Agustus, selain memutar ulang film-film perjuangan kemerdekaan, penting juga pemerintah mendukung dan memfasilitasi dunia kreatif untuk membuat film.

Bisa juga produk kreatif lainnya yang mampu mensosialisasikan nilai nasionalisme kepada generasi muda. Karena bagaimana pun juga, masa depan Indonesia ada di tangan mereka.

Serta eksistensi negara Indonesia di masa depan tergantung dari rasa dan sikap nasionalisme generasi muda Indonesia. Kita semua berharap dan yakin, generasi muda Indonesia saat ini mampu membawa Indonesia ke masa depan sebagai negara yang maju dan beradab.

Editor: Yahya FR

Avatar
1 posts

About author
Guru SMP/SMK Muhammadiyah Pontang dan Alumni IVLP Amerika Serikat Tahun 2014
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds