Tafsir

Kritik Keras Huseyn al-Zahaby atas Tafsir Fath al-Qadir

4 Mins read

Ilmu tafsir menurut al-Zarkasy adalah ilmu yang digunakan untuk memahami kitab suci Al-Qur’an al-Karīm, dan diturunkan kepada nabi Muhammad SAW sebagai penjelas makna-maknanya serta menarik keluar hukum dan hikmah-hikmahnya.

Selain itu ilmu tafsir juga merupakan ilmu syariat yang paling agung dan paling tinggi kedudukannya. Ilmu tafsir juga merupakan ilmu yang paling mulia karena obyek pembahasan dan tujuannya dibutuhkan.

Karena memang obyek pembahasannya adalah Al-Qur’an yang merupakan sumber segala hikmah dan tambang dari segala keutamaan. Meskipun demikian, tafsir tetap lah ijtihad dan usaha manusia yang tidak lepas dari unsur subjektifitas dan bias kepribadian mufassir nya.

Hal tersebut dapat dilihat dari penuturan-penuturan di dalam karya tafsiranya. Hal senada, jika seorang mufassir dalam penafsirannya cendrung kepada salah satu disiplin ilmu tertentu, maka produk tafsirannya pun secara tidak langsung mempunyai corak sebagaimana kecenderungan yang dimiliki oleh mufassirnya.

Kisah Israiliyyat dalam Penafsiran Al-Qur’an

Seperti banyaknya aliran dalam disiplin ilmu tafsir, contohnya aliran tafsir Şufi, Mu’tazilah, Syi’i, Nahwi, Lughawi, Fiqhi, Falsafi, Balaghi, Adabi Ijtima’i dan lain-lain. Sehingga, muncul lah salah satu permasalahan yaitu kisah Israiliyyat apakah dapat digunakan atau tidak dalam sebuah penafsiran.

Dalam hal ini, para ulama Al-Qur’an telah mencetuskan disiplin ilmu terbaru guna menjaga tafsir dari kesalahan dan penyimpangan terhadapnya yaitu dengan ilmu al-Asîl dan al-Dakhîl yang muncul pada tahun 1980 M.

Ilmu al-Asīl dan al-Dakhīl bagi kalangan akademisi Al-Qur’an tentu sudah tidak asing di benaknya. Karena memang menjadi salah satu materi wajib yang harus diketahui dan dikuasai oleh para pengkaji atau peneliti tafsir. Terutama dalam hal menyeleksi penafsiran-penafsiran yang menyimpang dan memperkecil tersebarnya kisah-kisah Israiliyyāt yang menyeleweng dari Al-Qur’an. Apalagi di kalangan orang-orang awam dalam hal penafsiran ayat Al-Qur’an.

Baca Juga  Ulil Albab (1): Orang-orang Berakal dan Bijak

Oleh karenanya, Abdul Wahab al-Najar merinci penafsiran Al-Qur’an dengan pemikiran yang rusak atau logika yang salah dengan nama al-Dakhil fi al-Ra’yi serta membaginya dalam tujuh macam salah satunya al-Dakhil dari jalanaliran-aliran bid’ah dalam Islam, sepertiSyi’ah dan Mu’tazilah.

Dalam artikel ini, akan dibahas secara khusus mengenai kritik oleh Muhammad Huseyn al-Zahaby terhadap tafsir Fathul Qadir karya al-Imam al-Shawkani yang digolongkan sebagai karya tafsir beraliran Syi’ah.

Biografi Singkat al-Imam al-Shawkani beserta karya Tafsirnya

Nama lengap beliau Shaikhul Islam al-Qadhi Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Shawkani, beliau lahir pada hari senin tanggal 28 Dzulqa’dah tahun 1173 H dan wafat pada bulan Jumadil Akhir tahun 1250 H  saat beliau menjadi hakim di Shan’a’, dan di usia enam puluh tujuh tahun serta dikuburkan di Shan’a’ yang satu wilayah dengan Khuzaimah.

Beliau merupakan seorang alim ulama besar yang mulia, beliau juga merupakan seorang mujtahid yang memiliki dan menguasai berbagai disiplin keilmuan. Sebagaimana beliau juga dijuluki sebagai ensiklopedia pengetahuan. Karena ia mempunyai beragam spesialisasi keilmuan tersebut.

Bahkan ia menjelma menjadi seorang pembaharu dan reformis seperti halnya Imam Malik, Ibnu Haniyfah al-Nu’man, Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’I, dan Ibnu Taymiyyah. Selain itu, selama hidupnya, al-Imam al-Shawkani selalu produktif. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya karya tulis yang ia miliki terutama dalam berbagai disiplin ilmu keislaman.

Seperti dalam bidang hadis; Ittifat al-Akabir bi Isnad al-Dafatir dan lainnya, dalam bidang akidah, ada Irsyad al-Tsiqat ila Ittifaq al-Syara’ ala al-Tawhid wa al-Ma’ad wa al-Nubuwwat dan lainnya.

Di bidang, fikih ada al-Durar al-Bahaiyyah fi al-Masa’il al-Fiqhiyyah dan lainnya. Di bidang Ushul Fiqh ada Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul dan lainnya. Tentunya dari bidang tafsir, ada Fath al-Qadir al-Jami’ baina Fanni al-Riwayah wa al-Dirayah min al-Tafsir yang akan menjadi fokus kajian pada artikel ini.

Baca Juga  Ali Syariati: Paradoks Esensi Manusia
***

Tafsir Fath al-Qadir al-Jami’ baina Fanni al-Riwayah wa al-Dirayah min ‘Ilmi al-Tafsir atau biasa disebut dengan tafsir Fath al-Qadir merupakan salah satu karya Imam al-Shawkani yang paling masyhur di kalangan para ulama. Sampai-sampai, menurut A’jaj al-Khatib, mengatakan bahwa kitab tafsir Fath al-Qadir adalah salah satu kitab tafsir yang terbaik dalam memadukan metode riwayah dan dirayah.

Sekaligus merupakan salah satu kitab pokok dari kitab-kitab tafsir. Demikian pula Huseyn al-Zahaby juga mengatakan bahwa kitab tafsir Fath al-Qadir merupakan salah satu kitab tafsir yang menjadi referensi oleh para ulama. Karena, ia menggabungkan antara al-Dirayah dengan baik dan al-Riwayah dengan luas.

Selain itu, sebab munculnya dan dikarangnya kitab tafsir ini oleh al-Shawkani yaitu karena telah diketahui secara umum dan telah disepakati oleh para ulama bahwa ilmu yang paling mulia dan paling utama adalah ilmu tafsir. Karenanya, menafsirkan perkataan Dzat yang maha kuat lagi maha kuasa, terlebih kemuliaan ilmu ini, terletak pada kekayaan dalilnya dan kedekatannya dengan pemahaman dan penalaran.

Kritik Husein al-Zahaby terhadap tafsir Fath al-Qadir

Pertama, menurut Husein al-Zahaby Imam al-Shawkani banyak menyebutkan riwayat-riwayat yang mawdu’ (palsu)maupun yang dha’if (lemah). Serta, ia tidak memberikan komentar terhadap riwayat-riwayat tersebut.

Sebagai contoh, ketika al-Shawkani menafsirkan surah al-Maidah ayat 55:………. الآية  إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ  dan surah al-Maidah ayat 67:  يَاأَيًّهَا الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مٍنْ رَبِّكً…….الآية ia menyebutkan riwayat-riwayat yang mawdu’ atas lisan kelompok Syi’ah. Dan ia tidak memberikan peringatannya bahwa riwayat tersebut adalah riwayat yang Mawdu’.

Kedua, menurut Husein al-Zahaby penafsiran al-Shawkani dalam kisah Nabi Yusuf dan Zulaikha, khususnya godaan yang dilakukan oleh Zulaikha terhadap Nabi Yusuf. Dalam penafsiran tersebut al-Shawkani menggunakan riwayat Israiliyyat. Bahkan, penafsiranya disebut khurafat oleh Muhammad al-Syahbah. Karena, sangat mustahil bagi seorang Nabi melakukan sebuah tindakan memalukan. Di mana, tindakan tersebut hingga menduduki istri orang lain, terlebih wanita tersebut merupakan istri dari seorang menteri yang menolong Nabi Yusuf. Sehingga jika tidak diberi keterangan maupun komentar terhadap penafsiran kisah ini, maka dapat membuat umat Islam ragu terhadap kesucian Nabinya.

Baca Juga  Dari Filologi Hingga Historisme-Fenomenologis: Perkembangan Studi Al-Qur’an di Barat
***

Ketiga, pandangan al-Shawkani terhadap ayat-ayat Mutasabih, sebagaimana diketahui sebelumnya bahwa al-Shawkani berakidah Salafi dan setiap yang ia sebutkan terhadap lafaz-lafaz di dalam Al-Qur’an. Ia umpamakan sebagai tasbiyah dan membawanya kepada makna hakikinya dan menyerahkan bentuknya bagaimana kepada Allah SWT.

Keempat, pandangan al-Shawkani terhadap masalah Al-Qur’an adalah makhluk. Menurut pandangan Huseyn al-Zahaby, bahwa al-Shawkani tidak puas terhadap pandangan, dan juga tidak puas terhadap pandangan Mu’tazilah dalam masalah kemakhlukan Al-Qur’an.

Melainkan, ia puas berada di antara para ulama untuk berdiri di atas dalam masalah ini. Maka, ia tidak memberikan pendapatnya secara tegas tentang hal ini. Dan ia mulai menyalahkan orang-orang yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah Qadim atau Makhluk.

Sebagaimana ia menafsirkan surah al-Anbiya’ ayat 2:   مَا يَأْتِيْهِمْ مِنْ ذِكْرٍ مِّنْ رَبِّهِمْ مُّحْدَثٍ إِلَّا اسْتَمَعُوْهُ وَهُمْ يَلْعَبُوْنَ dan telah disifatinya kataالذكر denganمحدثٌ dijadikan dalil dalam menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah baru. Karena maksudالذكر di sini adalah Al-Qur’an.

Pandangan ini disanggah bahwa tidak ada perdebatan mengenai hudutsnya (barunya) dari perpaduan suara dan huruf, kerena hal tersebut memang baru dalam nuzulnya (turunnya). Jadi, maknanya adalah baru diturunkan. Adapun perdebatan tersebut adalah dalam hal perkataan.

Editor: Yahya FR

Ahmad Agus Salim
24 posts

About author
Mahasiswa Magister IAT Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Tafsir

Tafsir at-Tanwir: Relasi Antar Umat Beragama

4 Mins read
Relasi antar umat beragama merupakan diskursus yang selalu menarik untuk dikaji. Khususnya di negara kita, hubungan antar umat beragama mengalami pasang surut….
Tafsir

Puasa itu Alamiah bagi Manusia: Menilik Kembali Kata Kutiba pada Surah Al-Baqarah 183

3 Mins read
Salah satu ayat yang amat ikonik tatkala Ramadhan tiba adalah Surah Al-Baqarah ayat 183. Kendati pernyataan itu terbilang asumtif, sebab saya pribadi…
Tafsir

Surah Al-Alaq Ayat 1-5: Perintah Tuhan untuk Membaca

2 Mins read
Dewasa ini, masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, tampaknya memiliki minat baca yang sangat rendah. Tidak mengherankan jika banyak orang terpengaruh oleh banyak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *