Perspektif

Filsafat Adalah Obat Masa Kini

3 Mins read

Sekali lagi, jagad maya kembali digemparkan dengan fenomena huru-hara disinformasi yang beredar. Belum lama kemarin heboh dengan hoaks vaksin Covid-19. Eh, sekarang digemparkan lagi oleh statement influencer yang sekaligus artis komika, yakni Pandji Pragiwaksono, yang menyebut bahwa, dua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia dicapnya sebagai organisasi elitis yang jauh dengan masyarakat.

Ditambah menurut Pandji, organisasi masyarakat, seperti FPI dinilainya lebih merepresentasikan elemen masyarakat, sehingga membuat kedekatan kepada masyarakat itu terjadi.

Oleh karenanya, jumlah anggota masyarakat yang masuk dan bergabung ke dalam FPI berjumlah banyak. Padahal, status operasional dari ormas tersebut sekarang sudah dicabut, sehingga menjadi salah satu organisasi yang terlarang.

Tak sedikit cacian serta serangan dari para netizen di medsos ditujukan kepada Pandji. Usut punya usut, ternyata klaimnya yang membuat heboh jagad maya, khususnya twitter itu bersumber dari pengutipannya kepada statement pakar sosiolog bernama Thamrin Tomagola. Sedangkan, setelah ditelusuri ke sumbernya langsung, malahan Pak Thamrin tidak merasa pernah ber-statement seperti itu.

Namun, Pak Thamrin juga menjelaskan bahwa dia pernah berkata mirip dengan itu, yang itu adalah hasil penelitian dari surveinya. Akan tetapi, konteksnya tidak general, melainkan hanya pada ruang lingkup area Jakarta saja.

Sedangkan Panji, dalam pernyataannya tidak menyebutkan kekhususan itu, sehingga memantik pemahaman netizen, bahwa dia berkata demikian sifatnya adalah general atau umum.

Kurangnya Literasi Informasi

Kalau melihat dari kasus tersebut, tentu bisa ditarik kesimpulan, pokok dari permasalahannya adalah pada kesalahan pengutipan, ketidak-komprehensifan Panji menyimak atau membaca sumber menjadi buah petaka bagi dirinya sendiri.

Memang, dari tahun ke tahun pasti ada saja kasus semacam ini. Tidak usah jauh-jauh, di sekeliling kita banyak dari mereka yang ketika mendapat broadcast informasi, baik melalui elektronik maupun langsung lewat warta suara, langsung diterima tanpa mau mempertanyakan ulang status kebenarannya.

Baca Juga  Rencana Konser Ambyar dan Sosok Lord Didi dalam Ingatan Pengetahuan

Mereka hanya mau praktisnya saja, sekali mendengar langsung buru-buru percaya, dan dengan bodohnya, informasi yang tidak jelas kebenarannya itu pun dibagikan ke teman atau sanak keluarga lain. Biasanya dikirim ke grup WhatsApp-nya masing-masing.

Naas, tradisi masyarakat Indonesia dalam bidang literasi dan nalar kritisnya dari masa ke masa nampaknya belum mengalami kenaikan yang signifikan. Justru terkesan menurun setiap tahunnya. Di mana letak permasalahannya? Dan apa kira-kira solusinya?

Mari pelan-pelan kita bahas. Mencermati data-data dari internet tentang besar dan potensi SDM (Sumber Daya Masyarakat) di Indonesia, memang masih terlampau rendah.

Dilansir dari survei kemampuan pelajar yang dirilis oleh Programme for International Student Assessment (PISA), pada Selasa (3/12) di Paris, menempatkan Indonesia di peringkat ke-72 dari 77 negara. Rendahnya angka tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari kualitas pengajar, sistem pendidikan, dan kualitas lembaga pendidikan.

Memang masih ada banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi dalam ruang lingkup pendidikan di Indonesia. Namun menurut saya, ada satu lini yang harus dicermati betul dan menjadi sorotan untuk didahulukan daripada lini-lini yang lain. Apa itu? Yakni metodologi pembelajaran, atau bisa juga disederhanakan menjadi implementasi pola pembelajaran.

Maksud saya, sudah sekian tahun model pembelajaran di Indonesia hanya melulu sifatnya satu pintu, yakni guru menerangkan, mengisi, bahkan mencekoki ke dalam wadah-wadah pemikiran murid. Tanpa memberikan space kepada murid untuk memilih kemauannya sendiri.

Metodologi Belajar Filsafat

Sudah sangat jarang model pembelajaran yang melatih murid untuk mempertanyakan sesuatu. Mengapa bisa begini? Mengapa bisa begitu? Atau mungkin pertanyaan yang sangat substansif, apakah benar seperti itu?

Mulai dari level bangku sekolah dasar, dan menengah saja, di mayoritas lembaga pendidikan, baik formal maupun non formal, secara praksisnya selalu saja memaksa murid untuk pasif. Murid hanya sebagai reseptor pengetahuan.

Baca Juga  Neo-Sufisme dan Efek Negatif Media Sosial

Jadi tidak heran, nalar kritis masyarakat Indonesia sudah masuk dalam kategori memprihatinkan. Akibatnya adalah, masyarakatnya jadi mudah terserang berita hoaks dan selalu gampang percaya terhadap sesuatu.

Sudah saatnya masalah itu diatasi, dengan membiasakan menerapkan pola berpikir yang sistematis, selalu skeptis (ragu) dengan kebenaran, dan selalu ingin mencari tahu sumber rujukan dari sebuah kebenaran.

Mungkin itu sedikit gambaran dari metodologi dalam berfilsafat. Nyatanya, apabila seseorang mempelajari dan mengimplementasikan materi-materi dalam filsafat, hal itu membuat seseorang itu menjadi jauh lebih cerdas, kritis, serta tidak gampang terjebak dalam kesalahan pemahaman, pemikiran, atau bahkan pengetahuan.

Karena memang mereka sudah dilatih sedemikian rupa untuk mempertanyakan dahulu sumber-sumber yang menjadi rujukan berita-berita yang didapat.

Sebagai contoh, dalam diri filsafat ada diskursus lagi bernama Filsafat Ilmu. Di mana dalam diskursus tersebut mempelajari tentang epistemologi ilmu (dasar-dasar ilmu), ontologi ilmu (hakikat ilmu), dan aksiologi ilmu (kegunaan ilmu).

Era Post Truth

Kalau ditarik pada era sekarang, sebagaimana meminjam teorinya Fazlur Rahman double movement, di mana era ini sudah masuk dalam era post truth, kebenaran di era ini tergantung pada opini seseorang yang paling berpengaruh atau paling berkepentingan.

Bukan hanya itu, hoaks semakin menyuburkan polarisasi masyarakat, karena meneguhkan keyakinan atau ideologi masing-masing kelompok. Setiap kelompok cenderung menolak bentuk penalaran berbeda, meski masuk akal atau objektif. Dan puncaknya, di era ini kebohongan semakin menyuburkan ideologi.

Lantaran menjamurnya permasalahan yang terjadi, menurut saya, tentu jika mempelajari filsafat di era ini akan sangat efisien dan relevan sekali sebagai obat untuk memberantas penyakit-penyakit tersebut, atau kalau boleh disingkat dalam satu buah penyakit bernama ‘taqlid buta pada kebenaran berita informasi‘.

Baca Juga  Baca Al-Qur'an di YouTube, Syiar atau Riya'?

Maka dari itu, sudah saatnya momentum tahun 2021 ini pola pembelajaran kita harus berhijrah. Bukan hanya berlatih mengulangi, menghafal, dan memahami apa yang dipelajari, tapi juga harus membiasakan untuk mempertanyakan kebenaran suatu pernyataan.

Sehingga, jika hal itu diimplementasikan mulai dari sekarang, niscaya nantinya akan meningkatkan kualitas SDM masyarakat Indonesia, dan bukan hal yang mustahil, di masa depan nanti Negara Indonesia akan menjadi negara maju, baik secara ekonomi, pendidikan, infrastukrur, atau pun teknologi.

Editor: Lely N

Yoga Irama
4 posts

About author
Mahasiswa Prodi Akidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds