Opini

Belajar Mengkritisi Otoritas dari Kasus Gus Elham dan Eksperimen Stanley Milgram

4 Mins read

Akhir-akhir ini kita sering menyaksikan kemunculan tokoh-tokoh berotoritas namun kontroversial di tengah masyarakat. Otoritas merupakan legitimasi pengaruh yang membuat seseorang dipercaya, didengar, dan diikuti. Terutama di tengah masyarakat, otoritas keagamaan sering kali menempati posisi yang sangat strategis. Hal ini mengakibatkan setiap ucapan dan tindakan mereka memiliki dampak sosial yang luas. Tidak mengherankan jika dalam politik lima tahunan, legitimasi para tokoh ini menjadi modal penting bagi para elit politik untuk meraih dukungan publik.

Namun, potensi masalah muncul ketika otoritas itu mulai bersentuhan dengan hal-hal yang menyinggung moral, atau bahkan sampai menimbulkan tindakan penyimpangan. Bayangkan, jika ada seseorang yang memiliki otoritas lebih tinggi di atas kita (dalam kacamata sosial), lantas dia meminta kita melakukan sesuatu yang bertentangan dengan moral kita, apa yang akan terjadi? tentu semua orang akan menjawab, Ya enggak lah, mana mungkin saya ngelakuin gitu”.

Atau dalam situasi lain bayangkan jika orang yang selama ini kita hormati ternyata melakukan tindakan yang dianggap melampaui batas. Bagaimana reaksi kita? Apakah kita akan mengecam? Atau menormalisasi dan menoleransi seolah-olah “ya sudah, mungkin ada niatan baik”? Atau malah, tanpa kita sadari, kita ikut membenarkan sesuatu yang sebenarnya tidak pantas?

Eksperimen Milgram

Terdapat sebuah penelitian tentang sifat manusia yang dilakukan oleh Stanley Milgram (1963). Ternyata sifat manusia lebih mudah mengikuti perintah hanya karena yang memberi perintah memiliki otoritas, bukan karena perintah itu benar. Stanley Milgram melakukan salah satu eksperimen tentang ketaatan (obedience) untuk mengetahui sejauh apa orang biasa rela menyakiti orang lain yang sama sekali tidak bersalah hanya karena mereka “diperintah.” Oleh orang yang memiliki otoritas.

Baca Juga  Tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, Masterpiece Imam Al-Baidhawi

Milgram memulai penelitiannya dengan memasang iklan di koran untuk mencari pria yang mau ikut penelitian di Universitas Yale. Ia memilih 40 relawan pria berusia 20 – 50 tahun dari berbagai profesi. Setiap peserta diberi pertanyaan untuk memastikan mereka sehat dan waras secara mental.

Di awal eksperimen, mereka diperkenalkan kepada peserta lain yang sebenarnya merupakan orang suruhan Milgram dan tahu bahwa eksperimen itu hanya rekayasa. Para relawan melakukan undian untuk menentukan peran sebagai murid  atau guru. Walaupun bagian ini sudah diatur : orang suruhan itu selalu menjadi murid, dan relawan selalu menjadi guru. Ada juga seorang “peneliti” yang memakai jas lab abu-abu, yang juga bagian dari eksperimen tersebut.

Terdapat dua ruangan yang digunakan dalam eksperimen tersebut. Satu ruangan untuk murid yang berisi kursi listrik, dan satu ruangan lainnya untuk guru (relawan) dan peneliti (sosok otoritas berjas lab). Ruangan yang kedua juga berisi generator kejutan listrik (electric shock generator) yang terhubung dengan kursi listrik di ruangan lainnya.

“Murid” diikat ke kursi yang dihubungkan dengan konduktor listrik. Setelah murid mempelajari daftar pasangan kata yang harus dihafal, “guru” (relawan sungguhan yang tidak tahu bahwa ini eksperimen palsu) mengujinya dengan menyebutkan sebuah kata dan meminta murid menyebutkan pasangannya dari empat pilihan jawaban.

Guru diarahkan oleh peneliti untuk memberikan kejutan listrik setiap kali murid membuat kesalahan. Tingkat kejutan tersebut meningkat setiap kali terjadi kesalahan. Ada 30 opsi sakelar pada generator kejutan, mulai dari kejutan ringan, 15 volt hingga mencapai voltase tinggi, 450 volt.

Murid dibuat sengaja memberikan banyak jawaban salah. Untuk setiap jawaban salah itu, Guru diperintahkan oleh peneliti untuk memberinya kejutan listrik. Di sinilah eksperimen menjadi temuan menarik. Ketika guru (relawan pria) menolak atau ragu untuk memberikan kejutan, peneliti berkata, “Jangan berhenti. Terus lakukan kejutan jika murid salah menjawab. Anda harus melanjutkan apa pun yang terjadi.”

Baca Juga  Sudahkah Kajian Keislaman Ramah Disabilitas?

Murid (yang sebenarnya hanya berpura-pura dan tidak benar-benar disetrum) merintih kesakitan, memohon kepada guru dan peneliti untuk berhenti. Namun peneliti (dengan jas lab yang memberi kesan otoritas) tetap memerintahkan guru untuk terus menyetrum, meskipun murid berteriak kesakitan.

Hasil eksperimen yang Mencengangkan

Hasil eksperimen ini bikin sesak dan mengelus dada, sebesar 66% peserta menekan semua sakelar hingga tingkat kejutan tertinggi. Dari semua 40 peserta, tidak satu pun berhenti pada saat si murid pertama kali memohon agar mereka berhenti. Meskipun para peserta benar-benar percaya bahwa mereka sedang menyebabkan rasa sakit yang parah, mereka tetap melanjutkan karena diperintahkan oleh figur yang memiliki otoritas.

Mengapa bisa terjadi demikian? Mengapa seorang begitu mudah dipengaruhi oleh orang yang tampak memiliki otoritas? Faktor apa yang mempengaruhi?. Dalam penelitiannya, Milgram menyatakan bahwa ada rasa kewajiban terhadap otoritas yang tertanam kuat dalam diri manusia. Kesimpulan Milgram: temuan dari penelitian ini adalah betapa kuatnya kecenderungan seseorang untuk melakukan hampir apa pun ketika diperintah oleh seseorang yang berotoritas.

Belajar dari Kasus Gus Elham

Pelajaran dari kasus Gus Elham yang viral karena gestur tidak pantas kepada anak-anak di panggung pengajian, mengajarkan kita mengapa kita perlu mengkritisi otoritas. Ketika seseorang diberi otoritas keagamaan dan ditempatkan pada posisi yang tinggi, manusia sering kali memiliki kecenderungan membenarkan atau menoleransi apa pun tindakannya.

Fenomena demikian menunjukkan betapa mudahnya manusia mematuhi perintah otoritas. Maka tak heran dalam beberapa kejadian, ketika seorang yang dianggap berpengaruh melakukan tindakan yang tidak pantas atau instruksi yang bersifat absurd. Namun, sebagian masih banyak yang menjadi anti-kritik, ada yang membela, ada pula yang menormalisasi sebagai bentuk pembenaran secara diam-diam, dan pada akhirnya menumpulkan kepekaan moral.

Baca Juga  Asal Usul Hukum Islam Awal Menurut Yasin Dutton

Padahal sikap patuh kepada seseorang tanpa berpikir menjadi hal yang tidak masuk akal jika membuat kita mengabaikan moralitas dan substansi perintah tersebut. Nabi SAW telah mengingatkan, “la tho‘ata li makhluuqin fi ma‘ṣiyatillah”, tidak ada kepatuhan kepada makhluk ketika perintahnya bertentangan dengan ajaran Allah SWT.

Dari sini kita belajar bahwa otoritas keagamaan memiliki pengaruh besar dalam budaya kita. Mengetahui fakta ini bukan berarti kita harus berhenti menghormati otoritas keagamaan. Kita tetap menghormati Kyai, para gawagis, nawaning, habaib, dan tokoh tokoh berpengaruh lainnya. Tetapi Ilmu tetap nomor satu, semua harus atas nama ilmu, sebagaimana yang sering disampaikan oleh Gus Baha. Prinsip ini juga sejalan dengan motto Royal Society di Inggris, “Nullius in verba”, jangan percaya hanya karena otoritas, percayalah pada eksperimen dan bukti.

Kita manusia sudah dibekali Tuhan dengan akal, dan akal itu diberikan untuk berpikir, menguji, dan membedakan mana yang benar karena ilmu, bukan karena siapa yang berotoritas mengatakannya. Mengkritisi bukan berarti suul adab, bukan pula tindakan yang dapat meruntuhkan institusi agama. Melainkan untuk menjaga marwah diri dan orang lain dan agar ruang keagamaan tetap kredibel, bermartabat, serta tidak rawan disalahgunakan (lagi).

Editor : Ikrima

Avatar
1 posts

About author
Dosen UIN KHAS Jember
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *